Fairness Doctrine, Kebebasan Pers, dan Kepentingan Pemilik Media
Fairness Doctrine (FD) adalah salah satu prinsip yang harus dipegang wartawan atau media massa dalam pemberitaan.
Secara harfiyah, Fairness Doctrine artinya ajaran keadilan, kejujuran, atau kewajaran.
Makna terminologis atau secara maknawi, Fairness Doctrine adalah prinsip keseimbangan (balance), covering both side (meng-cover pandangan kedua belah pihak yang terlibat dalam sebuah konflik arau perseteruan), juga kejujuran wartawan dalam mengungkap fakta, serta wajar (masuk akal, common sense).
Dalam buku Kamus Jurnalistik (Simbiosa Bandung, 2008), saya mengartikan Fairness Doctrine dengan “Doktrin Kejujuran” dengan dua makna:
(1) Asas pemberitaan yang mengajarkan informasi yang disampaikan harus mengandung kebenaran, sehingga wartawan tidak sekadar mengutip keterangan narasumber karena mungkin persoalan sesungguhnya yang lebih mengandung kebenaran terdapat di balik ucapan narasumber yang boleh jadi memang disembunyikannya.
Doktrin ini juga mengharuskan keseimbangan dalam pemberitaan atau penyiaran sebuah opini dan perspektif atas suatu kasus.
(2) Regulasi Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat (FCC, Federal Communications Commision) tentang penyiaran isu-isu kontroversial yang penting bagi publik secara jujur, setara, dan berimbang.
Jujur, setara, dan berimbang (honest, equal, and balanced) adalah “ruh” Fairness Doctrine.
Bagaiman wartawan atau media mampu menjaga “moralitas pemberitaan” demikian?
Tantangan terbesar biasanya datang dari pemodal, pemilik, atau owner media karena merekalah sejatinya yang memiliki “kebebasan pers” atau “kemerdekaan pers”.
Wartawan, seideal apa pun, tidak akan berdaya berhadapan dengan kepentingan owner. Bagaimana mungkin Metroo TV, misalnya, mengungkap “sisi gelap” Partai Golkar karena itu berarti berhadapan dengan “the big boss” Surya Paloh yang Dewan Pembina Partai Golkar.
Salahkah Surya Paloh jika menyensor pemberitaan demikian? Tentu tidak. Itu haknya dan tidak melanggar kode etik jurnalistik.
Yang melanggar kode etik itu jika berbohong, manipulasi. “Tidak memberitakan” bukanlah pelanggaran kode etik, paling banter dinilai melanggar “right to know” (hak untuk mengetahui) masyarakat.
Kembali ke soal FD. Doktrin ini, menurut catatan diberlakukan sepanjang sejarah FCC dan penerusnya, Komisi Radio Federal (FRC, Federal Radop Comission) hingga 1987 (Wikipedia).
Inti doktrin Fairness Doctrine, sebagaimana dikutip William L. Rivers dkk. (2003:4), sebagai berikut:
“Tidak cukup bagi penerima lisensi untuk sekada berjanji mau menyiarkan pandangan yang tidak disetujuinya; ia harus menyadarinya sebagai kewajiban untuk mendorong dan melakukan penyiaran berbagai pandangan atau pendapat yang saling berlawanan. Keadilan dalam pemberitaan takkan terwujud jika ia tidak memainkan peran aktif secara sadar untuk selalu berusaha menyajikan pemberitaan yang seimbang dengan mencakup berbagai sudut pandang yang berlainan”.
Dalam kasus Red Lion Broadcasting versus FCC (1969), Mahkamah Agung Amerika secara konstitusional menguatkan Fairness Doctrine, meski hal itu dianggap bertentangan dengan Amandemen Pertama (First Amandement) yang menjamin kemerdekaan pers –kongres tidak boleh membuat peraturan apa pun yang dapat menghambat kebebasan berbicara (freedom of speech) atau kebebasan pers.
Namun, kebebasan itu pun, sekali lagi, nyatanya hanya dimonopoli oleh para pemilik media atau memiliki akses langsung dan bebas kepada publik (Jerome Barron dalam William L. Rivers dkk., 2003:4).
Red Lion merasa benar, berdasarkan Amandemen Pertama, ketika menyiarkan apa saya yang mereka suka dan tidak menyiarkan apa yang tidak mereka inginkan.
Namun, mayoritas hakim di Mahkamah Agung Amerika menyatakan media juga harus membuka akses agar “pandangan atau suara masyarakat tetap terdengar.” (www.romeltea.com).*