Radio Dakwah dan Dakwah Radio

DASAR SIARAN RADIOBerbicara tentang dakwah dan radio kita harus membedakan antara “radio dakwah” dan “dakwah radio”.

Radio dakwah adalah sebuah stasiun radio yang visi, misi, dan semua program dan materi siarannya tentang dakwah (syiar Islam). Sedangkan dakwah radio itu aktivitas dakwah di media radio.

Radio dakwah diformat atau diprogram untuk syiar Islam. Semua programnya bermuatan atau bernuansa syiar Islam.

Lagu-lagu yang diputarnya lagu-lagu religi (nasyid dan pop religi), tidak ada lagu lain selain yang bernuansa religius. Semua acara non-lagu pun berisi dan berorientasi dakwah.

Ada juga radio dakwah yang “anti-musik”  –mengikuti dalil haram mutlak semua jenis musik. Tidak ada lagu yang diputar atau tidak ada siaran musik (song) di radio itu, semuanya “full” siaran kata (talk), berupa ceramah, dialog, dan sejenisnya.

Radio dakwah jenis ini tergolong “ekstrem”, bahkan “kaku”, dalam hal format radio dakwah.

Read More

Konsekuensinya, segmentasi radio dakwah demikian pun terbatas, mungkin sebatas jamaah ustadz yang mengisi siaran. Pendengarnya biasanya “hanya” kalangan yang “sudah Islami” atau “sudah memiliki kesadaran keislaman”. Namun, ada pula pendengar awam yang ingin memahami Islam.

Konsekuensi radio “full dakwah” tanpa musik, hanya berisi pengajian, ceramah, talkshow, dan monolog (narasi) keislaman, layaknya ustadz tengah mengajar para santrinya di pesantren, pendengarnya tidak akan banyak, tapi terbatas, kalangan tertentu, dan mad’u (objek dakwah) pun tidak bisa meluas kepada mereka yang “sekuler” atau tidak bisa menyentuh pendengar umum yang mendengarkan radio karena lagu.

Radio tanpa musik bisa dikatakan menyimpang “khittah radio” yang identik dengan musik (Radio is music!). Umumnya orang menyalakan radio untuk mendengarkan lagu. Sejarah radio pun menyebutkan asal-usul radio adalah “music box”, kotak musik yang memperdengarkan lagu.

Ada juga radio dakwah yang tergolong “moderat”. Sebagian kalangan menudingnya sebagai “mencampurkan hak dan batil”, yaitu radio yang bermisi dakwah, namun programnya lazimnya “radio umum”, seperti acara musik pop, dangdut, dan lain-lain, namun sarat sajian program keislaman, seperti insert renungan milsalnya tiap pergantian acara, insert dakwah tiga menit (narasi), ceramah dan dialog agama tiap ba’da Subuh dan jelang Magrib, juga mengemas acara dengan format musik lagu-lagu nasyid.

Karena bermisi dakwah, lagu-lagu pop dan dangdut yang diputar diseleksi ketat. Tidak boleh ada yang bernuansa cabul, SARA, dan “terlalu tidak Islami”. Lagu yang diputar sedapat mungkin bertema “netral”. Sebut saja lagu dangdut Rhoma Irama yang sarat dakwah atau lagu-lagu balada yang biasa bertutur tentang alam.

Format siaran radio dakwah “aliran moderat” ini tetap sarat nuansa Islam. Para penyiar harus memulai siaran dengan basmalah dan salam, mengakhiri dengan hamdalah, dan selama siaran harus sering berucap kalimah thayibah. Penyiar perempuannya wajib berjilbab.

Dengan model radio dakwah yang “moderat” ini, objek dakwah jauh lebih luas. Pendengar pun tidak merasakan sedang “didakwahi”, padahal “injeksi” nilai Islam terus disuntikkan kepada mereka di semua acara. Pesan dakwah secara diam-diam dan pelan-pelan sampai kepada pendengar “sekuler” yang sedang asyik mendengarkan lagu favoritnya.

 Dakwah di Radio

Dakwah di radio bagian dari da’wah bil lisan. Ada yang menyebutnya i’lam, yakni penyiaran Islam lewat radio atau televisi. Medianya tidak mesti radio dakwah. Radio “sekuler” pun dapat menyiarkan program dakwah atau menjadi tempat siaran dakwah, biasanya ba’da Subuh atau jelang Magrib (cermah dan dialog).

Dakwah radio atau dakwah melalui radio artinya memperlakukan dan memanfaatkan media paling populer di dunia ini sebagai channel, sarana, atau alat untuk mencapai tujuan dakwah.

Jenis program dakwah di radio, selain ceramah dan dialog Islam (talkshow), antara lain “insert” renungan tiap jam atau tiap setengah jam. Durasi maksimal satu menit, berupa paket “voicer” layaknya spot iklan.

Materinya terjemahan hadits, ayat Al-Quran, ungkapan sahabat Nabi Saw, nasihat ulama, atau mutiara kata Islami. Jadi, di tengah keasyikan menikmati –misalnya– lagu-lagu pop Indonesia, para pendengar “didakwahi” secara “tidak sadar”.

Para da’i dan lembaga-lembaga dakwah harus memanfaatkan radio untuk menebarkan risalah Islam. Pilihannya, mendirikan radio dakwah atau sekadar berdakwah di radio.

Jika mendirikan radio dakwah, saya lebih setuju dengan format moderat, yakni tetap memutar lagu-lagu “umum” –namun selektif– sebagai strategi mengumpulkan pendengar (mustami’/mad’u) sebanyak-banyaknya, lalu pesan-pesan dakwah pun menyapa kalangan luas.

Jika pilihannya berdakwah di radio, maka sang da’i harus dibekali ilmu dan teknik siaran (announcing skill) agar mampu siaran layaknya penyiar profesional. Lembaga-lembaga dakwah atau ormas Islam pun jangan “malas” jika diberi jam siaran. Pengalaman saya, sering jam siaran “jatah” ormas Islam kosong dengan alasan “tidak ada biaya transportasi” bagi sang da’i.

Alternatif lain, lembaga dakwah membuat paket-paket program religius, seperti drama radio, feature, atau sekadar insert/spot renungan Islami yang dikemas semenarik mungkin untuk disiarkan di radio.

Media radio  terbukti efektif sebagai sarana komunikasi massa yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan menembus batas, terlebih dengan adanya fasilitas streaming (internet).

Radio dakwah dan dakwah radio pun sangat prospektif mendatangkan iklan, khususnya produk-produk Islami. Tantangannya, bagaimana menyadarkan para pengusaha Muslim untuk beriklan di radio dakwah dan mensponsori dakwah radio.

Radio terbukti tetap diminati publik karena karakternya yang akrab, personal, menghibur –utamanya sarana hiburan musik, theater of mind, murah, serta portabel dan fleksibel –dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja, bahkan sambil melakukan aktivitas lain. Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).

Sebagian naskah di atas dikutip/dimuat di Majalah Hidayatullah edisi September 2011 dalam judul Antara Radio Dakwah dan Dakwah Radio.*

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment

  1. Perlu dipertimbangkan juga dari sisi lain. Contoh kasus dan ini benar-2 pernah terjadi, bila seorang Ustadz dalam sesi kajian di radio “moderat” ditanya apa hukum musik, kemudian beliau menjawab bahwa musik adalah haram, selanjutnya di sesi selingan diputarkan musik. Apakah radio itu bisa dianggap “menghargai” sang Ustadz? Apa tidak kasihan kepada penanya yang kebingungan? Apa tidak kasihan dengan Islam yang seolah-2 diolok-olok?