MEDIA massa adalah pendidik yang paling berpengaruh bagi publik. Salah satu fungsi media (pers) memang demikian, to educate, mendidik masyarakat agar melakukan sesuatu, bertindak benar, mematuhi aturan, bersikap baik, dan sebagainya. “Pers adalah guru bagi masyarakat,” kata Wilbur Schramm (1973), selain sebagai pengamat (watcher) dan forum dikusi (forum).
Salah satu peran pers dalam konteks ini adalah sebagai “guru bahasa”. Oleh karena itu, insan pers mesti berhati-hati dalam menulis atau menyampaikan informasi, termasuk cermat dalam berkata-kata atau memilih kata.
Salah satu kesalahan fatal wartawan, penyiar, atau presenter dalam berbicara adalah menggunakan kata-kata jenuh, mubazir, dan berlebihan, seperti kata-kata “dan juga” dan “sementara itu”. Perhatikan saja bagaimana di layar televisi atau siaran radio, sang presenter seringkali “latah”, mungkin tanpa sadar, mengobral kata “dan juga”.
Menurut aturan bahasa, “dan” dan “juga” dalam memiliki maka yang sama. Misalnya, “saya dan kamu” semakna dengan “saya juga kamu”. Jadi, kata “dan” tidak boleh diikuti kata “juga” karena hanya pemborosan, mubazir, juga tidak efektif-efisien. Pilih saja salah satu, “dan” atau “juga”, jangan dua-duanya diucapkan.
Ingat, salah satu prinsip bahasa jurnalistik/bahasa media adalah “hemat kata” (economy of word). Mengucapkan “dan juga” berarti tidak memenuhi prinsip tersebut. Saya tidak tahu, apakah sang presenter/penyiar memahami hal itu atau tidak.
Ungkapan lain yang sering ditulis dan diucapkan wartawan, presenter, atau penyiar adalah “sementara itu”. Simak saja sajian berita koran, radio, atau televisi. Masih sering kita dengar ungkapan itu meluncur deras dalam tulisan atau siaran berita. “Sementara itu” adalah ungkapan tanpa makna, karenanya disebut “kata jenuh” atau “kata penat” (tired word] atau “ungkapan klise” (stereotype). Kalaupun diartikan, maka “sementara itu” berarti “waktu yang sebentar itu” (sementara = janga waktu sebentar, tidak lama).
Menggunakan kata “sementara itu” adalah jalan pintas yang salah dalam merangkai dua topik berita atau dalam transisi (peralihan) berita. Ia adalah “perangkai fakta” (copuling pins) yang salah kaprah. Kemungkinan, ungkapan sementara itu digunakan karena kebodohan (ketidaktahuan) atau kemalasan mencari kata perangkai yang tepat.
Kata jenuh atau ungkapan klise, yakni ungkapan-ungkapan klise yang sering dipakai dalam transisi (peralihan) berita atau kata perangkai satu fakta ke fakta lain (coupling pins), yang umum digunakan selama ini antara lain: “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, ”dalam rangka”, “yang mana”, dan sebagainya.
Transisi adalah peralihan berita dari peristiwa satu ke peristiwa lain, misalnya dari berita olahraga sepakbola tentang Liga Inggris ke berita tentang Liga Italia. Untuk menyambungkannya yang paling sering digunakan Kata Jenuh seperti “Sementara itu”. Padahal, Kata Jenuh tersebut dapat dihilangkan karena tidak bermakna apa-apa.
Seorang wartawan NBC News, Edwin Newman, mengatakan, ketika mempelajari berbagai naskah yang ditulisnya pada awal-awal dia menjadi koresponden, dia mencoret setiap kata “sementara itu” dan mendapatinya tidak satu pun dari kata itu diperlukan.
Saya sebutkan satu contoh saja dari penggunaan kata “sementara itu” berikut ini dari Pikiran Rakyat edisi 7 September 2007 di rubrik Bandung Raya (hlm. 17) di bawah judul “Dada Deklarasikan Jagabaya”.
“Kapolwiltabes Bandung Bambang Suparsono mendukung pembentukan paguyuban tersebut. Bagi dia…. dst.
Sementara itu, Penasihat Utama Jagabaya, yang juga menjabat Kepala Satpol PP Kota Bandung, Priana Wirasaputra menjelaskan, agenda mendesak paguyuban adalah melaksanakan…”
Coba Anda hilangkan kata “sementara itu”, tidak akan berpengaruh ‘kan? Maka, wahai para jurnalis, “perangi” penggunaan kata “sementara itu”. Carilah kata perangkai yang tepat secara cermat, bukan menempuh jalan pintas yang salah. (www.romeltea.com).*