BANYAK media atau wartawan “terjerumus” ke dalam sisi gelap jurnalistik (the dark side of journalism) di tahun politik atau masa kampanye pemilu.
Saat Pilpres 2014. Metro TV “mengabdi” pada kubu Jokowi-JK. TV One menjadi “corong” kubu Prabowo-Hatta. Polarisasi juga terjadi di media cetak dan media online juga. Media “terbelah” menjadi dua kubu itu.
Satu kubu gencar memberitakan keunggulan dan kebaikan kubu Jokowi, seraya “menembak” sisi buruk kubu Prabowo. Demikian pula kubu lainnya, gencar membela Prabowo dan menyudutkan Jokowi dalam pemberitaannya.
Jurnalistik di Indonesia kian gelap di Pemilu 2019. Penyebabnya, sejumlah pemilik media terjun ke dunia politik dan mengandalkan medianya sebagai “corong politik”, bahkan menjadi media propaganda kepentingan politiknya.
“Pemilik Media Terjun ke Politik, Bencana Bagi Objektivitas Media,” kata kata pakar komunikasi dari Universitas Diponegoro Semarang, Turnomo Rahardjo.
“Lihat saja kondisi sekarang, sudah terlihat kelompok besar yang memonopoli media demi kepentingan kelompoknya,” katanya dilansir Republika.
“Pada praktiknya, pemilik media justru cenderung campur tangan dalam kebijakan menyangkut konten, demi mewujudkan kepentingan dan akhirnya berimbas pada independensi si jurnalis media bersangkutan,” katanya.
Ia menilai, media saat ini memang sarat akan kepentingan, terutama stasiun televisi swasta yang sudah menjadi ajang pertarungan wacana, ideologi, dan kepentingan dari kalangan kelompok tertentu.
Media televisi menggunakan gelombang elektromagnetik yang merupakan ranah publik. Seharusnya, televisi digunakan untuk memberikan informasi yang jujur dan berpihak pada kepentingan publik, bukan kelompok!
Media memang tidak bisa netral. Tidak ada kamus netralitas di dunia jurnalistik. Yang ada, independensi! Kebebasan pers, yaitu bebas mempublikasikan apa saja yang bernilai berita –aktual, faktual, penting, dan menarik.
Karena independensi itu pula, media bebas “memihak” atau condong membela satu pihak dan mengabaikan pihak lain.
Baca Juga: Kebebasan Pers Milik Kaum Kapitalis
Pengertian Sisi Gelap Jurnalistik
Sisi gelap jurnalistik adalah praktik jurnalisme yang menyimpang dari “khitah” jurnalistik: menyampaikan kebenaran, fakta, akurat, berimbang, dan demi kepentingan publik.
Sisi gelap jurnalisme terjadi saat wartawan/media melanggar kode etik jurnalistik dan prinsip “loyalitas kepada warga (publik)” sebagaimana ditegaskan di poin pertama dalam 9 elemen jurnalisme.
1. Jurnalisme Partisan
Jurnalisme partisan adalah sisi gelap jurnalstik yang utama. Selama Pilpres 2014 dan 2019, kita menyaksikan kebanyakan (kalau tidak semuanya) media terjerumus ke sisi gelap jurnalistik. Mereka berubah dari media jurnalistik menjadi media propaganda atau media partisan.
Perubahan haluan media itulah –baik karena dibayar mahal maupun karena dorongan ideologis– yang disebut “sisi gelap jurnalistik” (the dark side of journalism), yakni ketika media, wartawan, atau pers bukan lagi mengabdi pada kepentingan publik, tapi mengabdi pada kepentingan politik tertentu (jurnalisme partisan).
Para wartawan pun kehilangan idealisme. Setidaknya, terjadi “perang batin” dalam diri wartawan, ketika mereka harus menulis berita yang tidak sesuai dengan hati nurani. Ada “keterpaksaan” dalam menulis berita, suatu hal yang tabu bagi wartawan.
Jurnalisme partisan bertentangan dengan UU No. 40/1999 tentang Pers dan kode etik wartawan:
- Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu (UU Penyiaran Nomor 32/2002, Pasal 36 Butir 4).
- Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (Kode Etik Jurnalistik, Pasal 1)
Jurnalisme partisan mengedepankan kepentingan kelompok yang dibelanya, tanpa dilandasi konsep kerja jurnalistik berdasarkan fakta.
Dalam jurnalisme partisan, sedikit kesalahan kelompok yang tidak sepaham akan diberitakan dengan bombastis. Sebaliknya, kesalahan besar pada kelompoknya akan ditutup-tutupi atau “dimanipulasi” (framing).
Menurut Guru Besar Komunikasi Simon Fraser University (SFU) Kanada, Kathleen Cross, ketika para wartawan masuk ke wilayah politik seperti itu, mereka bukan saja menggeser kariernya, tapi juga mengubah idealismenya.
“When journalists move into political communications, they’re not just shifting their careers, they’re shifting their ideals,” katanya seperti dikutip Belinda Alzner dalam tulisannya di The Canadian Journal Project, “When Journalist go to the dark side”.
Cross menjelaskan, ideologi jurnalisme adalah “memegang kebenaran kepada kekuasaan” (hold truth to power) dengan menginformasikan aksi pemerintah atau warga.
Studi Weaver dan Wilhoit (1991-1996) menyimpulkan “wartawan Indonesia kurang menunjukkan kontribusinya dalam mengambil peran watchdog“.
2. Jurnalisme Korporat
Sisi gelap jurnalistik juga terjadi ketika muncul konsep jurnalisme korporat (corporate journalism) yaitu jurnalisme untuk kepentingan perusahaan.
Namun, sisi gelap jurnalistik dalam konteks bisnis itu “tidak sepanas” dan “tidak semerusak” saat jurnalistik dikendalikan oleh kekuatan dan kepentingan politik (jurnalisme partisan).
3. Jurnalisme Amplop
Ini sisi gelap jurnalistik yang sudah berlangsung lama, penyakit sulit disembuhkan di dunia jurnalisme. Ketika wartawan menerima suap atau amplop, maka kode etik dan objektivitas dilabrak.
4. Jurnalis Abal-Abal
Penyalahgunakan profesi wartawan untuk memeras atau mengancam juga bagian dari sisi gelap jurnalistik. Noda hitam di dunua jurnalisme ini sudah lama terjadi.
Media abal-abal dan wartawan gadungan (wartawan ampop, wartawan bodrex) masih merajalela, terutama di daerah.
5. Jurnalisme Kloning
Praktik tukar-menukar berita di kalangan wartawan juga bisa disebut sisi gelap jurnalistik. Praktik ini dikenal dengan sebutan “jurnalisme kloning”.
Jurnalis A minta dikirim naskah berita yang ditulis Jurnalis B karena Jurnalis A tidak hadir dalam konfrensi pers atau liputan sebuah peristiwa.
Naskah Jurnalis A yang sudah dikirim, diubah sedikit (rewrite) oleh Jurnalis B. Praktik “kloning berita” tak cuma dilakukan oleh dua wartawan, tetapi bisa dilakukan lebih dari dua jurnalis.
4. Jurnalisme Umpan Klik
Ini sisi gelap jurnalisme dalam praktik jurnalistik online. Wartawan tidak lagi berorientasi menyampaikan informasi, tetapi orentasi trafik, pageviews, dan iklan.
Baca: Jurnalisme Umpan Klik Akibatkan Degradasi Jurnalistik
Menurut Birmingham Blogging Academy, sisi gelap jurnalisme meliputi lima wilayah. The dark side of journalism should include five areas that damage the industry needlessly.
- “pay-for-play,” when a media outlet expects businesses seeking coverage to pay up front for ads.
- Media release journalism
- Lack of innovation.
- Lack of transparency
- Fake news alias hoax.
Demikian ulasan ringkas tentan sisi gelap jurnalistik (dark side of journalism) yang membuat publik kehilangan kepercayaan kepada media dan media pun kehilangan kredibilitas, terutama pada praktik jurnalisme partisan. Wasalam. (www.romeltea.com).*