TOLAK PLTSA
PLTSA (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang akan dibangun di kawasan Gedebage Bandung membahayakan lingkungan dan nyawa manusia. Walikot Bandung sudah “buta mata hati” sehingga tetap ngotot ingin membangunnya. Ia tidak mendapatkan informasi yang benar tentang PLTSa dari “informan ABS” di sekelilingnya, termasuk “ilmuwan bayarannya”.
TOLAK PLTSa!!!
PERNYATAAN SIKAP WARGA GRIYA CEMPAKA ARUM
Tentang Penolakan Terhadap Proyek PLTSa
PEMERINTAH dan DPRD Kota Bandung bersikukuh meneruskan rencana pembangunan pabrik sampah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang sejak semula ditentang warga sekitar, sejumlah pakar, dan para aktivis lingkungan hidup.
DPRD Kota Bandung menyatakan PLTSa tidak bisa dibatalkan karena sudah ditetapkan melalui rapat paripurna sebagai keputusan tertinggi dan tidak bisa ditawar lagi.
Menyikapi hal tersebut, dengan ini kami segenap warga Griya Cempaka Arum (GCA) dan sekitarnya, sebagai warga yang paling dekat dengan lokasi PLTSa, menyatakan TETAP MENOLAK pembangunan PLTSa di dekat permukiman penduduk dengan alasan sebagai berikut:
1. PLTSa berpotensi menebar bencana lingkungan dan nyawa manusia. PLTSa dengan menggunakan incinerator (mesin pembakar sampah skala besar) dapat menambah menjadi bencana, mengganggu kesehatan, dan menjadi beban polusi udara kota Bandung dan menghasilkan zat racun berupa dioxin yang membahayakan sistem syaraf dan menyebabkan kanker bagi warga sekitar dan warga Bandung pada umumnya.
Pengalaman PLTSa di China, dampak adanya PLTSa menimbulkan sebagian warga menderita penyakit syaraf otak karena polusi yang ditimbulkan terhadap warga sekitar. Selain itu, pada Oktober 2009, puluhan ribu penduduk Kota Pingwang, Provinsi Jiangsu, China selatan, memprotes PLTSa yang sedang dibangun karena terlalu dekat dengan tempat tinggal mereka. Pabrik PLTSa milik Perusahaan Pembakaran Sampah Wujiang, berjarak 0,6 kilometer dari Kota Pingwang dan 160 meter dari daerah pemukiman terdekat. Khawatir tentang pencemaran lingkungan dan masalah-masalah kesehatan terkait, penduduk setempat turun ke jalan untuk melakukan protes pada hari yang sama.
Menurut penduduk setempat, selama masa percobaan berjalan pada 19 Oktober 2009 pabrik sudah mengeluarkan bau busuk dan asap ke seluruh kota Pingwang. Pejabat setempat pun pada 22 Oktober 2009, karena kekhawatiran publik, menutup pabrik PLTSa.
2. PLTSa akan didirikan tepat di samping Stadion Gelora Bandung Lautan Api (BLA) bertaraf internasional sehingga akan merusak kenyamanan dan mengancam keselamatan pemain dan bobotoh Persib Bandung. Dapat dibayangkan bus pemain Persib dan rombongan bobotoh akan beriringan dengan truk-truk pengangut sampah.
Kejadian di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya tanggal 23 Juli 2012 bisa terjadi di Gelora BLA, yaitu ketika laga persahabatan antara klub sepabola Inggris, Queens Park Rangers (QPR), dan Persebaya diwarnai oleh bau sampah yang menyeruak ke seantero stadion karena berada di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo. Dunia internasional pun mengajukan syarat agar PLTSa di China tidak beroperasi selama Olimpiade Beijing tahun 2008, fakta ini menegaskan bahwa stadion kontradiksi dengan PLTSa (sumber racun).
3. PLTSa dibangun sangat dekat permukiman penduduk, yakni kompleks GCA dan permukiman lain di sekitarnya. Hal itu berarti mengancam nyawa ribuan warga jika sewaktu-waktu terjadi penyebaran gas beracun sebagai dampak negatif insinerator PLTSa.
PLTSa Gedebage sangat kontras dengan PLTSa di Singapura yang berdiri di area industri, di pinggir pantai, jauh dari kota, dan berjarak paling dekat 4-5 kilometer dengan permukiman penduduk sekitar.
4. Dari sisi anggaran, biaya pembangunan PLTSa yang mencapai Rp 562 milyar pada akhirnya hanya akan membebani APBD. Beban biaya jasa pengolahan (tipping fee) di luar biaya pengangkutan sampah yang akan dibebankan kepada warga juga sangat besar. Tipping fee PLTSa mencapai Rp 350.000 per ton per hari.
Jika sampah yang dibakar sebesar 700-1000 ton per hari, maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 245 hingga 350 juta per hari atau Rp 89,5 hingga 127,8 milyar per tahun selama 20 tahun, di luar biaya pengangkutan. Sangat dimungkinkan ke depan, karena PLTSa ini, biaya tarif sampah oleh Pemkot akan sangat besar dan membebani warga, dan keuangan kota Bandung bakal mengalami krisis.
5. Mekanisme lelang PLTSa mengandung cacat hukum dan menimbulkan kecurigaan adanya kolusi, sehingga warga mengimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan melakukan pemeriksaan terhadap PT BRIL sebagai pemenang lelang, pemkot Bandung sebagai penyelenggara, dan para anggota DPRD Kota Bandung sebagai pihak yang mengesahkan proyek PLTSa.
Penunjukkan PT BRIL tahun 2005 sebagai pemrakarsa PLTSa oleh Wali Kota Bandu mengabaikan belasan pilihan teknologi yang diajukan oleh tim ahli. Tahun 2007 PT BRIL membuat Feasebility Study dan Amdal yang bermasalah. Proses lelang tahun 2012-2013 menyisakan tiga perusahaan yang kemudian menetapkan PT BRIL pada bulan Juli 2013 sebagai pemenang.
6. PLTSa berpotensi mengakibatkan Bandung mengalami krisis air bersih karena tersedot oleh PLTSa yang membutuhkan 50 liter air per detik atau 4,32 juta liter perhari atau 129 juta liter air per bulan, setara dengan 540 truk tangki air per hari.
7. Untuk menangani sampah di Kota Bandung, kami mangusulkan agar dikelola secara terdesentralisasi melalui TPS masing-masing dengan proses 3 R sesuai prinsip Undang-undang Persampahan.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk MENEGASKAN KEMBALI PENOLAKAN terhadap Proyek Pembangunan PLTSa di dekat permukiman penduduk.
Bandung, 8 September 2013
Atas Nama Warga Griya Cempaka Arum
Forum RW GCA & Aliansi ART-P2SP
Ramram Mansur Ramdani (Forum RW GCA)
Muhammad Tabroni (Kordinator Umum ART-P2SP)
PLTSa dan Arogansi Penguasa
Setelah berita tentang kisruh “dialog” DPRD Kota Bandung dengan para pakar tentang pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS ditulis di media massa, telepon saya berdering terus-menerus, termasuk dari radio. Telepon tidak hanya dari Bandung dan Jawa Barat, tetapi juga dari Bali. Perlu kiranya dijelaskan apa yang telah terjadi. Dalam “dialog” itu beberapa hal saya pertanyakan dan saya anggap penting sebagai masukan bagi DPRD untuk pengambilan keputusan.
1. Mengapa Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan harus membayar Rp 51 miliar per tahun kepada PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) untuk pasokan bahan bakar? PD Kebersihan diharuskan memasok 500 ton sampah per hari kepada PT BRIL sebagai bahan bakar PLTS-nya dan membayar Rp 285.000 per ton sampah yang dipasok. Jumlahnya lebih dari Rp 51 miliar per tahun. Argumentasinya ialah PD Kebersihan membeli jasa dari PT BRIL untuk pemusnahan sampah itu. Dalam konsep mutakhir yang disebut ekologi industri kita tidak mengenal limbah yang harus dibuang atau dimusnahkan. Kita meniru alam yang tidak mengenal sampah. Limbah adalah sumber daya untuk proses lain. Jadi, seharusnya PT BRIL-lah yang harus membayar kepada PD Kebersihan untuk pasokan bahan bakar berupa sampah.
2. Tidak akan bangkrutkah PD Kebersihan? Karena tidak semua sampah Bandung dapat dimanfaatkan oleh PT BRIL, PD Kebersihan harus mengeluarkan biaya lagi untuk pembuangan sisa sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA).
3. Relakah rakyat membayar Rp 51 miliar ditambah dengan pembuangan sampah ke TPA? Biaya itu adalah uang rakyat.
4. Adilkah PD Kebersihan dikenai sanksi denda jika terlambat membayar, sedangkan PT BRIL tidak dikenai sanksi apa-apa jika terlambat mengolah sampah?
5. Mengapa teknologi waste-to-energy dengan membakar metan yang terbentuk secara alamiah dalam tumpukan sampah diabaikan? Teknologi ini telah berkembang pesat karena dipacu oleh isu perubahan iklim. Dengan membakar metan yang merupakan gas rumah kaca yang 20 kali lebih kuat dari CO2, PLTS-metan dapat membantu menangkal perubahan iklim. Sementara teknologi PLTS-insinerator yang digunakan PT BRIL menghasilkan CO2 dan menambah bahaya perubahan iklim. Teknologi PLTS-metan dapat dijual dalam kerangka Protokol Kyoto yang menghasilkan dollar. Sisa bahan organik yang masih ada dapat digunakan sebagai kompos. Hasil yang kita dapatkan ialah listrik, penangkal perubahan iklim, dan dollar dari penjualan pembakaran metan serta kompos. Teknologi ini sesuai dengan Bali Road Map, sedangkan PLTS-insinerator yang menghasilkan CO2 malah menjegal Bali Road Map yang diperjuangkan mati-matian oleh Indonesia dalam Konferensi mengenai Perubahan Iklim di Bali.
6. Mesin menghasilkan listrik untuk siapa: PT BRIL, PD Kebersihan, atau dibagi menurut formula tertentu? Tidak ada penjelasan.
7. Adakah jaminan bahwa mesin yang dibeli dari China itu baru? Katanya karena murah. China sedang memodernisasi diri dan menjual mesin tua yang tidak efisien dan mencemarkan lingkungan ke negara sedang berkembang. Mesin tua rawan gangguan. Kemungkinan besar kita membeli mesin murah ingin untung, tetapi malah buntung.
8. Mengapa dalam Kerangka Acuan ANDAL tidak disebutkan pengukuran background baseline dioksin dan rencana pemantauannya? Selama PLTS berjalan baik, tidak terbentuk dioksin, zat racun yang menakutkan. Akan tetapi, risiko terbentuknya dioksin selalu ada, misalnya pada waktu ada gangguan pembakaran sampah dan suhu turun di bawah 800 derajat Celsius. Karena itu, perlu dilakukan pengukuran dioksin sebelum PLTS mulai beroperasi dalam wilayah yang diperkirakan akan terkena asap PLTS. Wilayah ini dapat diperkirakan dengan Gaussian Dispersion Model ataupun model simulasi lain yang sesuai. Pengukuran itu harus dilakukan terus selama PLTS beroperasi sebagai pemantauan rutin.
9. Mengapa tidak ada rencana pengelolaan risiko kebocoran dioksin? Betapapun baik perencanaan dan modern sebuah mesin, selalu ada peluang terjadinya gangguan. Di Indonesia lebih-lebih lagi. Kita terkenal ceroboh, sampai-sampai pesawat terbang kita dilarang terbang ke Eropa. Beberapa negara mengeluarkan travel warning untuk tidak terbang dengan Garuda. Banyak insiden lepasnya zat racun terjadi di seluruh dunia, misalnya dari PLTN Amerika, Inggris, Jepang, dan yang sangat menghebohkan Chernobyl (Rusia). Selain itu dari pabrik di Donora (Amerika Serikat), Italia, dan yang paling mengerikan di Bhopal (India). Di Bhopal ribuan penduduk menjadi korban. Banyak di antaranya menjadi cacat sepanjang sisa umurnya dan banyak pula yang meninggal. Saat ada gangguan pada PLTS-insinerator, dapat terbentuk dioksin dalam kadar tinggi. Risiko ini tidak boleh diabaikan. Ilmu pengelolaan risiko telah berkembang pesat.
Itulah hal-hal yang saya pertanyakan. Terserah masyarakat menilai apakah informasi saya itu relevan dan berguna untuk pengambilan keputusan. Ataukah itu tidak relevan dan merupakan “sampah”, bahkan merupakan disinformasi yang menyesatkan? Ada anggota DPRD yang menyatakan, “Kalau begini caranya semua akan mengikuti pendapat Pak Otto”. Dia mengusulkan agar dialog dihentikan dengan dalih kurang persiapan. Jadi, dia ingin agar para pakar dipersiapkan dulu untuk memberikan informasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Cara interupsinya pun kasar, tidak sesuai dengan nilai sopan santun urang Sunda. Di antara para tamu yang mereka undang ada yang sudah berumur 82 tahun dan tidak diperlakukan sebagai tamu, tetapi diberangus. Mereka merasa berkuasa untuk membatasi kebebasan berpendapat warga kota sesuai dengan keinginan mereka.
Sungguh berbeda dengan pengalaman saya di DPR dan DPRD Jawa Barat. Ini juga berbeda dengan parlemen di luar negeri sewaktu saya diundang bertemu wicara. Pertanyaan dan sanggahannya tajam, tetapi serba sopan dan berlandasan kaidah ilmiah. Saya belajar dari mereka, mereka pun belajar dari saya.
Itulah dialog demokrasi sejati. Sangat berbeda dengan “dialog” demokrasi ala DPRD Kota Bandung. Para anggota tidak bisa menerima pendapat lain. Sebuah potret menyedihkan dari DPRD kota yang kita cintai ini.
Semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayah-Nya agar para anggota DPRD dapat berlaku sebagai layaknya urang Sunda, yaitu berdemokrasi dengan baik dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, golongan, dan partainya. Semoga mereka tidak alpa karena kekuasaan. Amin. (Surat Pembaca pakar lingkungan alm. Prof. Dr. OTTO SOEMARWOTO, Kompas, 26 Desember 2007).*
PLTSa Gedebage Urung Peroleh Amdal
Sidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage Bandung, Selasa (1/4), gagal menghasilkan keputusan yang berarti.
Sidang yang digelar oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kota Bandung ini tidak menghasilkan apa-apa. Dengan tidak adanya keputusan ini berarti proyek pembangunan PLTSa Gedebage urung memperoleh amdal. Tanpa adanya amdal maka proyek belum dapat dimulai pengerjaannya. ”Investor harus melakukan perbaikan-perbaikan dokumen lagi,” tutur Kepala BPLHD Kota Bandung, Nana Supriatna.
Di antaranya yang perlu diperbaiki adalah terkait pengelolaan limbah cair serta antisipasi dari pencemaran lingkungan yang meresahkan warga. Sidang sendiri berlangsung alot. Di luar Gedung Wahana PT Pos Indonesia di Jl Banda Bandung yang dipakai sebagai tempat sidang, puluhan warga yang mendukung dan menolak rencana pembangunan PLTSa menggelar unjuk rasa.
Di dalam ruang sidang suasana juga memanas. Puluhan wartawan dari media cetak dan elektronik sempat tidak diperkenankan masuk ke ruang sidang yang berada di lantai 8. Akibatnya terjadi debat antara wartawan dengan pihak panitia hingga kemudian wartawan pun akhirnya diizinkan masuk ruang sidang untuk melakukan peliputan.
Dalam pemaparannya Tim Amdal ITB menjelaskan berbagai kemungkinan kerusakan lingkungan jika PLTSa dibangun. Di antaranya turunnya kualitas air tanah serta terjadi amblasan tanah.
Kerusakan Lingkungan
Warga yang menolak berdalih akan terjadi kerusakan lingkungan yang parah di Kota Bandung jika PLTSa tetap dibangun. ”Operasional PLTSa butuh 1,7 juta liter air,” tutur perwakilan warga yang menolak, Roni Tobroni.
Warga yang menolak juga khawatir tempat tinggalnya terimbas oleh bau serta bisingnya proyek PLTSa. Warga yang menolak adalah warga yang tinggal di Perum Griya Cempaka Arum Gedebage yang letaknya tak jauh dari lokasi PLTSa.
Menanggapi hasil sidang, Wali Kota Bandung, Dada Rosada, bersikeras tetap melanjutkan proyek PLTSa. ”Kita butuh tempat pengolahan sampah untuk mengatasi masalah sampah di Kota Bandung,” tegas Wali Kota.
Pascabencana longsor sampah di TPA Leuwigajah beberapa waktu lalu, Kota Bandung mengalami kesulitan mencari lokasi TPA pengganti. PLTSa merupakan solusi untuk menangani sampah di Kota Bandung. Wali kota menyebutkan PLTSa sudah dimanafaatkan di negara lain. Singapura, misalnya, bahkan memiliki lima unit PLTSa. Seluruh unit PLTSa itu terbukti tidak merusak lingkungan. (www.sinarharapan.co.id).*
Walhi Jabar Tolak Pembangunan PLTSa Gedebage
BANDUNG – Rencana penanganan dan pengelolaan sampah yang dikembangkan Pemerintah Kota Bandung dengan membangun Pembangkit Tenaga Listrik Sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage mendapat penolakan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar. Pasalnya, teknologi yang dikembangkan Pemkot Bandung itu akan menimbulkan dampak kesehatan bagi masyarakat disekitar PLTSa.
Sekertaris Walhi Jabar, Afifi Rahmat mengatakan, teknologi PLTSa yang akan digunakan Pemkot Bandung itu akan menggunakan sistem insenerator atau pembakaran. Dengan teknologi itu, energi yang dihasilkan juga akan lebih besar dari yang diperoleh. Bahkan, pembakaran sampah untuk menghasilkan energi listirk tersebut akan menimbulkan gas berbahaya bagi kesehatan.
“Pembakaran itu akan menghasilkan gas-gas tertentu seperti dioxin yang berbahaya bagi kesehatan, karena menjadi pemicu kanker,” kata dia, Kamis (29/11/2007).
Ia menjelaskan, teknologi PLTSa yang rencananya akan dikembangkan Pemkot Bandung sebenarnya tidak layak untuk digunakan. Sebab, nilai kalor yang terdapat pada sampah Kota Bandung lebih rendah dari 4 ribu kj/kg. “Sampah kita basah. Jadi tidak layak digunakan untuk energi. Selain itu, dibutuhkan energi yang lebih besar untuk menghasilkan listrik yang banyak,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, untuk mengatasi sampah secara bersama, seharusnya Pemkot Bandung bisa membuat kebijakan insentif kepada produsen untuk memakai bungkus rama lingkungan. Selain itu, masyarakat juga harus mau bekerjasama sejak awal untuk memilah sampahnya langsung dari rumah.
“Sampah harus sudah dipilah, jarak ke pemukiman penduduk juga disesuaikan dengan aturan yang ada. Air lindi dari sampah juga harus dikelola dan tidak lupa angkutan sampahnya juga dibenahi,” kata Afifi
Ia juga berharap, pemerintah Jabar juga turun tangan dalam penanganan sampah yang terjadi di Kota Bandung untuk menciptakan konsep sistematis dan terintegratif. “Kita juga selalu mengadvokasi warga untuk meminta kepada warga agar memilah sampah mulai dari sumbernya,” tegasnya.
Ia menyebutkan, terkait dengan ancaman perubahan iklim, kelompok-kelompok pemerhati sampah di 30 negara dari seluruh dunia mendorong “Zero Waste for Zero Warming” sebagai solusi yang tepat untuk memotong dan melawan emisi gas rumah kaca dari pengolahan sampah melalui teknologi kotor.
Menandai Hari Aksi Global melawan Sampah dan Insinerasi (Global Day of Action against Waste and Incineration), pada tahun keenam ini, Afifi mendesak agar masyarakat memprioritaskan pengelolaan sampah dan pembiayaan yang memprioritaskan pencegahan timbulan sampah.
“Tidak lupa program 3R, mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur-ulang (recycling). Selain itu juga pengomposan sebagai alat yang kongkrit untuk menghemat energi dan menghindari emisi gas rumah kaca,” pungkasnya.
Sekedar mengingatkan, rencana Pemkot Bandung untuk mendirikan PLTSa di kawasan Gedebage akan terus berlangsung. Pemerintah Kota Bandung sendiri merencanakan untuk melakukan peletakan batu pertama di lokasi pembangunan PLTSa pada 8 Januari 2008 mendatang.
Dengan berdirinya PLTSa ini, Pemkot Bandung berharap, teknologi itu mampu menghasilkan energi sebesar 7 megawatt per jam. Energinya sendiri berasal dari sampah Kota Bandung sekitar 500 ton atau 2.300 meter kubik per hari. (www.okezone.com).*
Prof. Otto Pertanyakan PLTSa, Warga Tetap Tolak Pembangunannya
Pakar lingkungan hidup Prof. Dr. Otto Soemarwoto menilai ada ketidaktransparanan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kel. Rancanumpang Kec. Gedebage. Itu tersirat dari tulisan Otto yang mempertanyakan seputar PLTSa yang dibacakan warga dalam aksi menolak PLTSa di Kompleks Griya Cempaka Arum, Minggu (2/12). Unjuk rasa kemarin diikuti ribuan warga.
Otto berhalangan hadir sehingga menyerahkan tulisannya. Ia mempertanyakan tidak adanya studi pengelolaan risiko pencemaran dioksin dalam kerangka acuan projek itu. “PLTSa adalah pabrik yang mengolah sampah dan dikhawatirkan adanya zat pencemar dioksin dari mesin incinerator. Semua jenis mesin punya peluang mengalami gangguan,” tuturnya.
Gangguan dapat berupa kecelakaan yang menimbulkan peluang terjadinya pencemaran dioksin. “Kita ingat kecelakaan Bhopal. Risiko itu bisa juga terjadi di PLTSa. Dalam kerangka acuan, tidak disebutkan keharusan ada studi tentang pengelolaan risiko itu. Mengapa risiko itu tidak diteliti?” kata Otto sekaligus mempertanyakan jaminan mesin incinerator yang dibeli dari Cina.
Mengenai diolahnya sampah menjadi listrik, Otto mempertanyakan apakah sudah dilakukan kajian komparatif untung-rugi ekologi, ekonomi, dan sosialnya. Sebagian besar warga kota berpendapat, penyelesaian sampah hanya terlaksana dengan kombinasi berbagai teknologi (technology mix) yaitu pengelolaan di rumah tangga, pabrik pupuk kompos, dan penyadapan metan sebagai bahan bakar, serta pembangkit listrik. Namun, pemkot lebih memilih pembangkit listrik sebagai Projek Pembangunan Bersih (MPB). “Jika memang membangkitkan listrik, nanti listrik itu milik siapa? PT BRIL? PD Kebersihan?” ucapnya.
Otto tidak melihat dalam usulan PT BRIL tentang PLTSa, adanya fungsi membantu masyarakat dan pemkot. PD Kebersihan Kota Bandung harus memasok sampah 500 ton per hari dan membayar tipping fee kepada PT BRIL sebesar Rp 285.000,00/ton. Jika pasokan kurang dari 500 ton per hari, tipping fee tetap harus dibayar. Jika pembayaran terlambat, pemkot kena denda. “Bukan membantu, tapi membebani PD Kebersihan karena harus membayar tipping fee hingga Rp 4,275 miliar per bulan,” ucapnya.
Limbah B3
Pada kesempatan itu, Yuyun Ismawati, anggota GAIA (Global Alliance on Incinerator Alternatives/Global Anti-Incinerator Alliance) mengatakan, para pengambil keputusan sering terkecoh sektor industri yang mengagungkan insinerator. Selalu diuraikan, insinerator mengurangi volume sampah hingga 90%, bisa memperpanjang masa pakai TPA hingga 10 kali lipat. “Angka 90% mengacu pada perbandingan antara sampah yang masuk ke insinerator dan abu yang dihasilkan. Insinerator hanya mampu menghemat 60%-70% dan masa pakai bisa diperpanjang hanya 2,5 tahun-3 tahun. Bukan 10 tahun,” ujarnya.
Ia mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan bahaya keracunan dioksin kepada negara-negara berkembang yang telah dan akan memanfaatkan insinerator. Abu hasil pembakaran insinerator tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sehingga harus ditangani dengan tata cara penanganan limbah B3 (sesuai PP 85/1999 tentang Perubahan Atas PP No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 tabel 2 kode limbah D241).
“Pekerja di instalasi ini, dan masyarakat sekitar justru yang paling menderita karena dampak pencemar yang terpapar ke rantai makanan akan meracuni mereka secara perlahan,” ujarnya. (www.opinimasyarakat.com).*
PLTSa Singapura: Aman dan Jauh dari Pemukiman
AMAN dan jauh dari permukiman penduduk memang itulah kesan sekaligus kesimpulan yang bisa saya ambil, setelah berkesempatan berkunjung ke dua pabrik pengelolaan sampah di Singapura, 7 Desember lalu. Aman karena dengan mengunakan teknologi canggih (hitech), efek samping pengolahan sampah seperti gas berbahaya, dioksin, atau air lindi seperti dikhawatirkan banyak pihak, dapat dieliminasi atau dinetralisir. Gas atau asap yang tadinya berbahaya pun relatif aman setelah disaring dan dibuang ke udara melalui cerobong asap yang cukup tinggi, sekitar 150 meter.
Lagi pula, lokasi pabrik jauh dari permukiman, berada di kawasan khusus industri di bagian barat Singapura, dekat pantai, jauh dari pusat kota Singapura –butuh waktu sekitar 3 jam perjalanan darat dari pusat kota. Kawasan khusus industri ini jarang dikunjungi orang. “Kita sedang menuju ke kawasan yang orang bilang ‘tempat jin buang orok’, karena jarang orang ke sana,” kata local guide, Syafi’i, saat rombongan berada dalam bus menuju ke sana.
Pabrik pertama yang kami kunjungi adalah IUT Singapore PTE Ltd, di 99 Tuas Bay Drive Singapore. Di pabrik yang bisa dikunjungi di www.iutglobal.com ini, kami mendapat penjelasan tentang proses dan teknologi pengolahan sampah berupa recycling (daur ulang), composting (dijadikan kompos), dan incineration (pembakaran).
Secara umum, metode dan teknologi pengolahan sampah yang digunakan oleh IUT aman, tidak mencemari lingkungan, dan menguntungkan. Namun, lokasi pabrik ini jauh dari permukiman penduduk. “Jarak pabrik ini dengan permukiman penduduk terdekat sekitar 10 kilometer,” jelas S.K. Ashraf, Plant Manager IUT, ketika secara khusus saya tanyakan soal keberadaan warga di sekitar lokasi pabrik. Saya sempat guyon kepadanya bahwa di Indonesia nama Ashraf dikenal sebagai penyanyi dangdut.
Pabrik kedua yang dikunjungi adalah Senoko Incineration Plant, pabrik khusus pengolahan sampah dengan teknologi insinerasi (www.nea.gov.sg). Pabrik ini berlokasi di 30 Attap Valley Road Singapore, sekitar 30 menit perjalanan darat dari lokasi pabrik IUT, masih dekat pantai dan sama-sama jauh dari permukiman penduduk. “Lokasi permukiman dari pabrik ini berjarak sekitar 4-5 kilometer,” kata Teo Hock Kheng, General Manager Senoko, ketika secara khusus saya tanyakan soal keberadaan warga di sekitar lokasi pabrik.
IUT dan Senoko sama-sama menyerap tenaga kerja sekitar 150-160 orang, beroperasi nonstop 24 jam, para karyawan terbagi dalam 3 shift.
Ringkasnya, setelah mengamati secara seksama kedua pabrik sampah tersebut bersama sekitar 30 anggota rombongan –termasuk di dalamnya Walikota Bandung H. Dada Rosada dan Ketua DPRD Kota Bandung H. Husni Muttaqin, saya mendapat kesan dan kesimpulan: aman, hitech, bebas gas berbahaya, bebas polusi, ramah lingkungan, jauh dari permukiman penduduk, berlokasi di kawasan khusus industri di bagian barat Singapura, jarang dikunjungi orang, dekat pantai, tiga jam perjanalan mobil/darat dari pusat kota Singapura melalui highway (jalan tol), menyerap tenaga kerja sektar 150-160 orang, dan tidak diprotes warga –karena memang tidak ada warga yang bermukim dekat pabrik! (www.romeltea.com).*
Walhi Jabar Pertegas Tolak Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Bandung, [SuaraJabar.Com]– Walhi Jawa Barat kembali menegaskan sikapnya soal penolakan terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bandung. Dalam siaran pers yang dikeluarkan pada 18 Agustus 2013, Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengajukan sejumlah alasan ihwal penolakannya itu.
“Ada beberapa aspek yang menjadi alasan mengapa Walhi Jawa Barat menolak PLTSa diantaranya aspek prosedur kebijakan dan mekanisme lelang, biaya pembangunan dan beban tipping fee, penolakan warga, dampak lingkungan hidup dan pengalaman buruk di negara lain,” ujar Dadan.
Dijelaskannya, dari prosedur kebijakan daerah, pembangunan infrastruktur PLTSa di Gedebage Kota Bandung membutuhkan payung hukum berupa Perda tahun jamak karena pembangunan PLTSa dijalankan dalam kurun waktu lebih dari satu tahun anggaran. “Namun, saat ini, Pemerintahan Kota Bandung belum menyusun peraturan daerah yang mengatur pembangunan PLTSa dalam kontrak tahun jamak sementara MOU antara Pemkot Bandung dan PT BRIL pada tanggal 3 September 2013 akan disepakati dan tandatangani. Selain itu, sistem PLTS dengan Incenerator juga bertentangan dengan UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” paparnya.
Dari aspek mekanisme lelang/tender, Walhi Jabar menengarai adanya keanehan. Sebelum ditetapkan pada sebagai pemenang tender pada bulan Juli 2013, PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) ditunjuk sebagai pemrakarsa pelelangan pembangunan infrastruktur pengolahan sampah berbasis teknologi incinerator berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 568.1/Kep.101-Bappeda pada tanggal 3 Januari 2012. “Ini aneh. Berarti Pemkot dan PT BRIL sudah melakukan praktik lelang yang cacat prosedur peraturan lelang. Proses pelelangan tidak dilakukan secara transparan. Ada indikasi pemerintah Kota Bandung melakukan kebohongan publik selama proses lelang berlangsung,” tuding Dadan.
Walhi juga menilai, pembangunan PLTSa yang mencapai Rp. 562 milyar hanya akan membebani dana publik. Selain itu, beban biaya jasa pengolahan (tipping fee) diluar biaya pengangkutan sampah yang akan dibebankan kepada rakyat/warga juga sangat besar. Dijelaskan, tipping fee PLTSa kota Bandung mencapai Rp 350.000 per ton/hari. Jika sampah yang diangkut sebesar 700-1000 ton/hari maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 245 juta-350 juta perhari atau Rp 89,5 Milyar-127,8Milyar/bulan di luar biaya pengangkutan, biaya bottom ash-fly ash ke TPA. “Dari total sampah kota Bandung 1800 ton/hari, bagaimana dengan sisa sampah yang tidak bisa diolah? Sangat dimungkinkan ke depan, biaya tarif sampah oleh pemkot akan sangat besar dan membebani warga,” cetus Dadan.
Alasan ketiga penolakan Walhi Jabar menyangkut aspek lingkungan hidup, PLTSa dengan menggunakan incinerator dapat menambah menjadi bencana, mengganggu kesehatan dan menjadi beban polusi udara kota Bandung dan menghasilkan zat racun berupa dioxin yang membahayakan sistem syaraf. Selain itu, tipikal sampah kota Bandung yang kebanyakan merupakan sampah organik jika dibakar membutuhkan bahan bakar tambahan seperti batu bara. Menurut Walhi Jabar, sistem Incenerator menyaratkan sebuah sistem pengelolaan 3R (reduce, reuse dan recycle) yang ketat dari sumbernya. Bila tidak, inceneratornya akan cepat sekali rusak. “Sampai saat ini pengelolaan sampah di Kota Bandung dari awal hingga akhir tidak sesuai dengan pra syarat incinerator,” ungkap Dadan.
Di sisi lain, rencana proyek Pembangunan PLTS di Kota Bandung yang masih dalam evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) RI itu sejak awal telah mendapat penolakan warga sekitar lokasi PLTSa dan warga Bandung lainnya. Warga di pemukiman Griya Cempaka Arum (GCA) menyatakan penolakannya terhadap rencana pembangunan PLTSa bahkan warga di Cekungan Bandung pun menolak pembangunan PLTSa di Gedebage kota Bandung.
Walhi Jabar juga menilai, penerapan pengolahan sampah melalui PLTS dengan sistem Incenerator menuai kegagalan dan menimbulkan beban keuangan yang sangat besar bagi pemerintah. Pengalaman di Kota Harrisburg Pennsylvania AS, kegagalan penerapan PLTS incenerator telah menimbulkan beban pengeluaran anggaran yang cukup besar dan menimbulkan krisis keuangan kota. Dengan demikian, membakar sampah sama artinya dengan membakar uang. selain itu, pengalaman di Cina, dampak adanya incinerator menimbulkan sebagian warga menderita penyakit syaraf otak dan kanker karena polusi yang ditimbulkan terhadap warga sekitar PLTSa.
“Berdasarkan semua pertimbangan dan alasan di atas, maka Walhi Jawa Barat menyatakan menolak kebijakan dan proyek PLTS di Kota Bandung yang melibatkan PT BRIL termasuk menolak kebijakan pembangun PLTS yang direncanakan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan membatalkan proyek PLTS di Kota Bandung,” tegas Dadan.
Walhi Jawa Barat mengajak semua pihak untuk mendukung penolakan dan berpartisipasi aktif dalam mengurangi sampah dan melakukan upaya pengelolaan sampah dalam skala kecil di komunitas/wilayahnya masing-masing.*
SIAPA BILANG PLTSa CHINA AMAN?
Pada Oktober 2009, seperti diberitakan Epochtimes.com (28/10/2009), puluhan ribu penduduk Kota Pingwang, Provinsi Jiangsu, China selatan, protes terhadap pabrik pembakaran sampah (PLTSa) yang sedang dibangun karena terlalu dekat dengan tempat tinggal mereka pada 21 Oktober. Pihak berwenang setempat mengirimkan 3.000 polisi anti huru-hara untuk membubarkan kerumunan.
Pabrik pembakaran sampah, yang dimiliki oleh Perusahaan pembakaran Sampah Wujiang, yang hanya 0,6 kilometer dari Kota Pingwang dan 160 meter dari daerah pemukiman terdekat. Ada tempat penitipan anak, SD dan SMP dalam radius 0,6 kilometer, dengan pusat penitipan anak terdekat hanya 0,3 kilometer dari pabrik.
Khawatir tentang pencemaran lingkungan dan masalah-masalah kesehatan terkait, penduduk setempat turun ke jalan untuk melakukan protes pada hari yang sama. Menurut penduduk setempat, selama masa percobaan berjalan pada 19 Oktober pabrik sudah mengeluarkan bau busuk dan asap ke seluruh kota Pingwang.
Koran lokal Yangtse Evening News, yang dijalankan oleh negara, menerbitkan pemberitahuan dari pejabat setempat pada 22 Oktober mengatakan bahwa karena kekhawatiran publik, pabrik pun ditutup.
Penduduk setempat mengatakan pemerintah tidak meminta pendapat mereka sebelum membangun pabrik.
Penduduk lain dihubungi oleh The Epoch Times, seorang wanita bernama Chu, berkata, “Saya pasti menolak pabrik itu. Rumah saya hanya tiga mil jauhnya dari pabrik. Polusi sangat buruk dan berbahaya bagi kesehatan kami.
Asap dari pembakaran sampah mengandung zat-zat beracun yang dapat menyebabkan kanker. Pemerintah tidak mencari komentar publik sebelum mereka memutuskan untuk membangun pabrik. Ada banyak orang yang memprotes ketika pabrik sedang dibangun. ”
“Para pejabat pemerintah daerah semua tinggal di Kota Wujiang. Mereka sama sekali tidak peduli tentang kehidupan kami. Mereka mulai meminta pendapat kami hanya tujuh hari sebelum pabrik mulai beroperasi,” kata Chu.
Protes massa serupa terhadap pabrik pembakaran sampah telah terjadi di Beijing, Nanjing, Guangzhou dan tempat lain sebagai akibat dari masalah kesehatan.
Pabrik pembakaran sampah memainkan peran paling penting dalam emisi dioxin yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti kanker.
Sebuah laporan tahun 2005 dari Bank Dunia memperingatkan, jika China membangun pabrik pembakaran sampah (PLTSa) dengan cepat dan tidak membatasi emisi mereka, tingkat dioksin atmosfer di seluruh dunia bisa berlipat ganda.
Ahli lingkungan China juga menunjukkan, pencemaran lingkungan di China saat ini adalah serius; masyarakat dengan banyak limbah dan pabrik pembakaran sampah merupakan daerah berisiko tinggi untuk masalah kesehatan. (EpochTimes).
Maka, China saja menutup PLTSa karena masalah kesehatan, mengapa Bandung malah ngotot mendirikannya?