SIAPA sesungguhnya wartawan dan bagaimana karakternya?
Jawaban atas pertanyaan ini sudah ditemukan ketika Napoleon Bonaparte menggambarkan sosok wartawan sebagai berikut:
“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa, dan guru bangsa. Empat suratkabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet”.
Cerewet karena wartawan harus bertanya, menggali informasi sedalam dan sedetail mungkin tentang sebuah peristiwa atau masalah, untuk dilaporkan kepada publik.
Peliputan peristiwa pasti butuh wawancara. Untuk wawancara, wartawan ya harus cerewet, tanya terus.
Pengecam karena wartawan umumnya orang idealis. Secara langsung atau tidak langsung, eksplisit ataupun implisit, wartawan mengecam ketidakberesan, pejabat korup, masyarakat yang tidak disiplin atau tidak taat aturan.
Orang idealis senantiasa mengingkan semua berjalan pada relnya, sesuai dengan aturan, dan tidak menyukai berbagai penyimpangan.
Penasihat karena wartawan menjalankan fungsi mendidik (to educate). Mendidik pembacanya biar taat asas, mengendalikan pemikiran dan sikap mereka lewat tulisan.
Tanpa harus terkesan dan terasa menggurui, dengan menyajikan sebuah informasi penting dan menarik, sebenarnya wartawan sedang menjadi penasihat bagi banyak orang (pembaca).
Pengawas karena wartawan menjalankan peran sebagai pengawas kinerja pemerintah dan perilaku masyarakat (social control).
Wartawan adalah mata dan telinga pembaca/masyarakat. Semua peristiwa penting tidak luput dari pantauan wartawan, baik penting dalam pengertian menyangkut orang penting (public figur, pejabat) maupun menyangkut kepentingan umum.
Penguasa karena wartawan adalah pengendali arus informasi. Wartawan menentukan apa yang penting dan tidak; menentukan apa yang mesti dipikirkan oleh publik, bahkan mampu mengarahkan –langsung atau tidak langsung– bagaimana publik harus menyikapi sebuah masalah. Di sini berjalan agenda media (agenda setting).
Guru Bangsa, seperti penasihat, wartawan mendidik pembacanya dalam berbagai hal. Pesan yang dikandung sebuah informasi yang ditulis wartawan adalah didikan wartawan.
Ungkapan Napoleon “empat suratkabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” menunjukkan kekuatan media yang lebih dari senjata.
James Gordon Bennet, pendiri The New York Herald, mengatakan, wartawan adalah separuh diplomat dan separuh detektif (Lubis, 1963).
- Separuh diplomat artinya wartawan harus pandai bergaul dengan semua orang dari berbagai lapisan dan latar belakang yang berbeda dengan sifat dan mataknya yang berbeda pula.
- Separuh detektif berarti wartawan harus mempunyai hidung yang ‟panjang‟ agar mampu „mencium‟ berita (nose for news). Artinya, peka terhadap apa yang akan terjadi atau mungkin akan terjadi dan dimana terdapat sumbersumber berita.
Tentu, semua karakter itu ada pada diri wartawan profesional, yakni wartawan yang menguasai betul teknik jurnalistik, paham bidang liputannya, dan menaati kode etik.
Wartawan yang menjadi pemeras, pencari ”amplop”, atau menyalahgunakan profesinya, jelas bukan wartawan profesional.
Sebut saja mereka wartawan gadungan, wartawan bodreks, yang hanya merusak citra insan pers. Ada juga ”wartawan kuda tunggang”, yakni wartawan yang dikendalikan oleh seseorang (pejabat misalnya) dengan bayaran ”amplop”.
Wartawan haruslah loyal terhadap publik dan kebenaran. Kebenaran dalam dunia jurnalistik, parameternya adalah ”faktual”, sesuai dengan fakta, data, tidak ada yang dimanipulasi, apa adanya. Wasalam. (www.romeltea.com).*
Artikel menarik, ijin Copas Mas ya ..
Matur nuwun,
Ok, silakan, saya sudah cek… thanks telah menyebutkan sumber….
wa’alaikum salam wr wb……….
Assalamua’ikum pak Romel
ini Weblog punya kelompok saya
Citra Nisa Hanifah jurnalistik A sem 3
dan Agustriana jurnalistik A sem 3
Assalamualaikum kang Romeltea… abdi dhoni mahasiswa jurnalistik A smester lll.
Dari karakter kewartawanan yang seperti itu,, berarti wartawan bukan hanya sekedar mencari, mengolah dan mempublikasikan informasi atau berita aja dong.., selain itu juga wartawan bisa menjelma menjadi seorang kiayi, ustad ataupun guru yang senantiasa menjadikan media massa menjadi sarana untuk berdakwah, dengan informasi-informasi yang mendidik sehingga si pembaca terpengaruhi oleh tulisan para wartawan. Namun sayangnya…, momen ini jarang digunakan oleh mereka. Karna tidak sedikit wartawan yang ada di kita tidak berkomitmen dengan pekerjaannya itu. Kebanyakan keprofesionalan wartawan terhambat hanya oleh jumlah nominal yang tersembunyi dalam sehelai amplop. “gimana maooo… dakwah…?? Wong yang mau ngedakwah(di media)nya juga harus di dakwahin dulu.” Lebih parahnya lagi, penyakit Nyang satu ini, bukan hanya melanda kaum wartawan yang datang dari lingkungan umum saja. Namun wartawan yang “beriman” yang bermunculan dari komunitas-komunitas yang kental dengan agamanyapun terpatahkan keimanannya hanya dengan “salam tempel” mungkin komunitas-komunitas keagamaan seperti itu hanya prioritas aja dong..,? di jejel ku ilmu agama ongkoh,…., ku amplop oge ongkoh. Jadi nu salah saha?? Masa tukang bajigur lagi yang di salahkan. Wassalam.