Jadi wartawan, bagus tidak? Jawabannya dapat ditemukan dalam fungsi dan peran wartawan.
Tanya: Saya sudah bekerja sebagai wartawan selama tiga tahun. Sekarang saya dipercaya sebagai redaktur yunior. Suratkabar tempat saya bekerja cukup mapan, meski tidak sekelas BUMN, gaji lumayan dibanding karyawan perusahaan swasta lain.
Namun, ada beberapa hal yang membuat saya kecil hati. Keluarga dan teman saya, masing mengganggap pekerjaan yang saya tekuni tidak begitu baik masa depannya. Hal ini diperparah dengan masih kurang teraturnya manajemen di perusahaan tempat saya bekerja. Misalnya, pengangkatan karyawan tidak ada standar yang jelas.
Meski demikian, sebenarnya saya sangat mencintai pekerjaan ini. Sejak masih duduk di bangku kuliah saya sudah menginginkannya. Apa yang harus saya perbuat? saya sudah sering mengikuti tes penerimaan pegawai di perusahaan besar yang jauh lebih mapan, tapi selalu gagal. Atas sarannya saya ucapkan terima kasih. (RD). Fans.
Jawab: Masa depan yang baik tidak ditentukan oleh jenis perkerjaan, tapi oleh orang yang menjalankan pekerjaan itu sendiri. Apa pun pekerjaan kita, masa depan kita akan suram dunia-akhirat jika kita tidak profesional, jujur, dan disiplin dalam melaksanakan tugas.
Tentang “masa depan”, Allah Swt. jualah yang menentukan. Tugas kita adalah ikhtiar dan doa. “Kecil hati” adalah sikap mukmin yang lemah. Hanya orang kafir yang berputus asa dari rahmat Allah SWT.
Kata ustadz saya, seorang mukmin akan selalu optimistis, karena keimanannya merupakan modal kuat akan datangnya bimbingan dan pertolongan Allah Swt. Dia menjanjikan “akan memberikan rezeki dari arah tak terduga” bagi orang-orang yang bertakwa.
Sayang, Anda tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “tidak begitu baik masa depannya” sebagaimana anggapan teman dan keluarga Anda tentang pekerjaan sebagai seorang wartawan.
Namun saya menduga, mungkin arahnya ke soal materi, termasuk soal “masa pensiun”. Saya pikir, kalau soal “uang”, Anda sendiri mengatakan “gaji lumayan dibanding karyawan perusahaan swasta lain”. Itu artinya, Anda harus bersyukur.
Jika bersyukur, bukankah Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya? Lagi pula, bukankah dalam soal gaji/harta kita hendaknya melihat “ke bawah”, yang bergaji kecil, agar rasa syukur itu muncul dalam diri kita?
Satu lagi, bukankah dalam Islam yang namanya “kaya” itu bukan banyak harta (katsrotil ardi), melainkan “kaya jiwa” (ghinan nafsi)?
“Kekayaan jiwa” seorang wartawan, saya pikir, tidak perlu diragukan lagi. Pada era globalisasi-informasi sekarang ini, wartawan adalah pemain utama, subjek terpenting dalam menggali informasi, merekam peristiwa, dan menyebarluaskannya kepada publik.
Informasi yang sudah menjadi kebutuhan primer manusia sekarang ini, tidak akan tersedia tanpa wartawan. Melalui kerja jurnalistiknya, wartawan melakukan dakwah, menjadi juru dakwah laksana penceramah di mimbar mesjid –bahkan audiens dan pengaruhnya lebih massal dan sangat luas, memaparkan kebenaran (fakta), melakukan amar ma’ruf nahyi munkar, meluruskan perilaku yang menyimpang, dan mempengaruhi massa dengan tulisan-tulisannya.
Anda pasti tahu adagium ini: the new source of power is information in the hand of many. Maka, wartawan adalah profesi yang “powerful”.
Wartawan menjadi bagian dari “kekuatan keempat” (forth estate). Saya tidak pernah menemukan wartawan yang tidak “pede”.
Saya selalu melihat wartawan sangat bangga dengan pekerjaannya karena ia mengemban tugas sangat mulia: menginformasikan berbagai peristiwa (to inform), mendidik publik (to educate), menghibur orang banyak (to entertaint), dan melakukan pengawasan sosial (social control).
Bagi wartawan sejati, wartawan sudah merupakan “cara hidup”, bukan sekadar karier atau pekerjaan. Para wartawan, seperti Anda atau kita alami selama ini, menduduki barisan pertama dalam meliput berbagai peristiwa.
Publik hanya duduk-duduk di rumah, tapa harus bersusah-payah untuk mengetahuinya. Wartawanlah yang berjasa besar membuat mereka tahu, bahkan berpikir. Wartawan dibutuhkan siapa saja, mulai dari pejabat yang ingin popularitas, hingga rakyat tertindas yang ingin penderitaannya diperhatikan publik dan penguasa.
Ada ungkapan yang menunjukkan kehebatan wartawan dari Marry Mapes (dalam Ishwara, 2011:31): ”Journalism is not medicine, but it can heal. It is not law, but it can bring a bout justice. It is not the military, but it can help keep us safe”.
Jurnalisme (dunia wartawan) bukanlah obat, tapi dia dapat menyembuhkan. Jurnalisme buklanlah hukum tapi dia dapat membawa keadilan. Jurnalisme bukanlah militer, tetapi dia dapat membantu menjaga kita aman.
Jadi, saran saya, tetaplah dengan profesi Anda yang mulia itu, dan jangan disalahgunakan. Dengan menjadi wartawan, Anda tidak sekadar bekerja mencari nafkah bagi diri dan keluarga, tapi juga berbuat banyak untuk orang lain, bahkan berdakwah sebagaimana layaknya ustadz atau da’i, yakni Da’wah Bil Qolam.
Anda, kita, sebagai wartawan, bisa menjadi “penyambung lidah” para ulama, ilmuwan, cendekiawan, dengan reportase Anda. Nikmatilah itu, niatkan selalu sebagai ibadah, insya Allah berkah.
Jangan tergoda dengan “materialisme” yang menyesatkan yang memandang segala sesuatu, dari sudut materi-duniawi. Namun, semuanya kembali kepada Anda. Artinya, Anda jua yang menentukan. Wallahu a’lam. (www.romeltea.com)