Kontroversi Ba’asyir adalah judul buku yang saya tulis tahun 2003 bersama seorang teman yang bantu edit.
Judul lengkapnya: Kontroversi Ba’asyir: Jihad Melawan Opini ‘Fitnah’ Global. Penerbitnya Nuansa.
Saya “up” kembali melalui postingan ini mengingat kontroversi pembebasan Abu Bakar Ba’asyir yang kini “trending” dan jadi “isu panas” menjelang Pilpres 2019.
Berikut ini ringkasan bagian pengantar dan bab I tentang sosok Abu Bakar Ba’asyir yang menjadi salah satu “korban” perang global terhadap terorisme (global war on terrorism) yang dikampanyekan Amerika Serikat.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir populer sejak Amerika gencar memerangi terorisme sejak Tragedi WTC 11 September 2001.
Sasarannya kekuatan Islam yang dianggap sebagai ancaman bagi kepentingannya. Tokoh-tokoh dan organisasi yang didakwa sebagai teroris semuanya –ya semuanya– dari kalangan umat Islam.
Jauh sebelum Tragedi WTC yang misterius itu, AS sudah menjadikan terorisme sebagai instrumen kebijakan luar negeri untuk memukul setiap kekuatan Islam.
Sasaran utamanya saat itu adalah gerakan-gerakan Islam (harakah Islamiyah) di kawasan Timur Tengah, lalu menyasar pula kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Ormas Islam di Indonesia yang dibidik Amerika adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Ba’asyir.
Bidikan Amerika saat itu terhadap Indonesia dimulai dengan sinyalemen yang dilontarkan seorang pejabat AS –yang anehnya tidak disebutkan namanya– bahwa di Asia Tenggara ada tiga negara yang menjadi tempat beroperasinya jaringan Al-Qaidah, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Setelah itu, AS dan sekutu-sekutunya tampak terus mencari celah untuk melumpuhkan gerakan Islam Indonesia dengan dalih “terkait dengan jaringan Al-Qaidah”.
Mula-mula Laskar Jihad yang jadi tersangka sebagai bagian dari jaringan Al-Qaidah. Gerakan Islam yang fokus aktivitasnya membantu umat Islam di Ambon dan Poso itu dituduh menerima kucuran dana dari Usamah bin Ladin.
Tuduhan itu menghilang seiring adanya bantahan kuat dari Laskar Jihad dan karena tidak ada bukti. Riwayat Laskar Jihad pun tamat ketika dibubarkan oleh Panglimanya sendiri, Ustadz Ja’far Umar Thalib, setelah Sang Panglima mendekam dalam tahanan Polri dengan dakwaan menghina kepala negara dan melakukan hasutan.
Lalu muncul lagi isu bahwa jaringan Al-Qaidah ada di Poso. Tidak jelas organisasi mana yang jadi sasaran, namun isu itu pelan-pelan juga menghilang seiring banyak munculnya bantahan terhadap isu yang bersumber dari pernyataan Kepala BIN AM Hendropriyono itu.
Tidak berhenti di sana, dimunculkan lagi gerakan Islam yang menjadi tersangka sebagai bagian dari jaringan Al-Qaidah, yakni Majelis Muhajidin Indonesia (MMI).
Kemunculan MMI sebagai tersangka boleh dikatakan melibatkan kekuatan internasional, dalam hal ini Malaysia dan Singapura, serta tentu saja AS.
Status Amirul MMI, Ustadz Abu Bakar Baasyir, sebagai terpidana kasus penolakan asas tunggal Pancasila beberapa tahun silam, menyeret pemerintah Indonesia ke dalam kekuatan internasional yang memojokkan MMI dan citra gerakan Islam pada umumnya.
MMI dituduh punya kaitan dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin, setelah pada awal Januari 2002 lalu Polisi Diraja Malaysia menangkap 13 orang yang disebut sebagai anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Tiga di antaranya dikabarkan orang Indonesia. Tidak lama setelah itu, polisi Singapura juga menangkap 15 orang yang diduga punya kaitan dengan Al-Qaidah.
Dalam kampanye anti-terorisme globalnya, Amerika memunculkan sosok Usamah bin Ladin dengan Al-Qaidahnya –sebagai sosok teroris internasional– untuk membidik gerakan-gerakan dan aktivis Islam secara internasional.
Untuk tingkat regional Asia Tenggara, lebih khusus lagi Indonesia pada level negara, Amerika dengan dukungan pemberitaan media memunculkan sosok Abu Bakar Ba’asyir dan organisasi Jamaah Islamiyah (JI).
Media yang aktif membantu pencitraan Ba’asyir sebagai teroris antara lain Majalah Time (level internasional) dan Majalah Tempo (level domestik Indonesia).
Time menurunkan pemberitaan yang menuding keterkaitan Baasyir dengan jaringan terorisme internasional, bersumber dari informasi dinas rahasia Amerika Serikat (CIA). Dalam Time edisi 15 tertanggal 23 September 2002, Ba’asyir disebut-sebut memiliki hubungan dengan Omar Al Farouk yang dituding sebagai pimpinan tertinggi Al-Qaidah di Asia Tenggara.
Tempo, 28 Oktober-3 November 2002, dalam tulisan berjudul “Diakah Sang Imam?” menggiring opini bahwa benar ada Jama’ah Islamiyah, benar Abu Bakar Ba’asyir sang Imam Jama’ah Islamiyyah, benar Ba’asyir mengajarkan dan mendorong kekerasan (jihad) ke Maluku dan lain-lain, benar Ba’asyir menentang asas tunggal Pancasila, benar “diduga kuat” Ba’asyir adalah pelaku bom natal, dan benar Ba’asyir terkait dengan jaringan Al-Qaidah.
Ba’asyir Figur Pejuang Islam
Abu Bakar Ba’asyir lahir 64 tahun lalu dari sebuah keluarga sederhana di Desa Pekunden, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur.
Orangtuanya, Ba’asyir Abud, sehari-harinya adalah seorang pedagang. Mungkin ia tidak menyangka, juga keluarga dan teman-temannya, kalau pada usia sepuhnya sekarang ini, ia harus menghadapi cobaan sangat berat: dituduh sebagai teroris internasional. Namun tentu ia sejak awal menyadari, jalan dakwah yang ditempuhnya pasti berisiko, seperti adanya tuduhan tersebut.
Orang-orang dekatnya menyebut Ba’asyir sebagai pribadi sederhana –bahkan sangat sederhana, lembut, namun tegas dan kukuh dalam pendirian.
Bisa dikatakan, Ba’asyir tidak memiliki harta berharga apa-apa. Barang berharga yang dimilikinya barangkali hanya kitab-kitab agama dan seperangkat komputer. Ba’asyir tidak pernah memiliki rumah sendiri, bahkan kursi tamu sekalipun ia tidak punya, kecuali rumah yang disediakan oleh pihak Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, yang didirikan dan diasuhnya.
Di rumah sederhana itu ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.
Keteladanan seperti ditunjukkan Umar bin Abdul Aziz –yang tidak menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi– diperlihatkan Ba’asyir, ketika ia diberi “mobil dinas” Isuzu Panther oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ia tidak mau menggunakan mobil itu untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia hanya mau menggunakannya selama berkaitan dengan keperluan “dinas” dalam organisasi MMI.
Selain sederhana, Ba’asyir dikenal sebagai sosok lembut. Dalam dakwahnya, baik kepada para santrinya maupun kepada umat Islam pada umumnya, Ba’asyir tidak pernah mengajarkan radikalisme atau melakukan aksi kekerasan.
Seorang muridnya bahkan pernah mengira Ba’asyir sebagai penakut karena jauh dari kekerasan dan malah terlalu halus. Di Pesantren Al-Mukmin Ba’asyir mengajar Tafsir Al-Quran.
Lembut dalam sikap, tidak berarti lembek dalam pendirian. Ba’asyir adalah sosok tegas dan teguh dalam pendirian, terutama dalam hal perjuangan bagi pelaksanaan syariat Islam, baik pada tingkat individu maupun masyarakat dan negara.
Ketegasan pendiriannya antara lain terlihat, ketika ketika ia menjadi salah seorang penentang penerapan Asas Tunggal Pancasila masa rezim Orde Baru.
Ia menganggap penerapan asas tunggal itu merupakan suatu kezhaliman. Menurutnya, kalau sesuatu dipaksakan, lalu di mana lagi letak bebebasannya?
Ketegasan pendiriannya itu harus membuatnya divonis hukuman 12 tahun penjara. Ia melakukan banding dan kasasi. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mengharuskan Ba’asyir mendekam di penjara selama 9 tahun.
Dalam hal itu pun Ba’asyir bersikap tegas: menolak eksekusi. Ia mengatakan, Amerika Serikat berada di balik eksekusi itu. Sebelum vonis kasasi dijatuhkan, Ba’asyir memilih hijrah ke Malaysia dan menetap di sana hingga tahun 1998.
Ba’asyir menjalani pendidikan dengan nyantri di pondok pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Lulus tahun 1963, Ba’asyir melanjutkan studinya di Fakultas Dakwah Universitas Islam Al Irsyad Solo.
Ba’asyir tercatat sebagai santri dan mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi. Ketika masih nyantri di Ponpes Gontor, Ba’asyir menjadi ketua Pemuda Islam Indonesia (GPII) Cabang Gontor (1961). Di Solo, ia tercatat sebagai sekretaris Pemuda Al-Irsyad, lalu Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), salah satu organ Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Pada tahun 1969, Ba’asyir bersama beberapa orang lainnya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis).
Sejak awal Ba’asyir memilih medan dakwah bagi perjalanan hidupnya. Ia memulai kiprah dakwahnya, ketika tinggal menumpang di rumah seorang pedagang Pasar Klewer Solo yang memberinya “pekerjaan”, yaitu membangun dan mengajar sebuah Madrasah Diniyah di Pasar Klewer.
Dalam dua tahun, madrasah yang diasuh Ba’asyir sudah populer di masyarakat dan jamaahnya bertambah besar. Madrasah pun dikembangkan menjadi sebuah pesantren dengan nama Al-Mukmin. Aktivitas dakwah Ba’asyir mulai meluas sejak pendirian pesantren itu. Ia memberikan “Kuliah Zhuhur” di serambi Masjid Agung Solo.
Jamaahnya antara lain para pedagang Pasar Klewer yang belakangan menjadi semacam sumber dana bagi kegiatan dakwah Ba’asyir dan teman-temannya.
Di antara pedagang itu ada seorang pedagang batik bernama Abdullah Sungkar yang kemudian menjadi pasangan Ba’asyir puluhan tahun dalam berdakwah. Abdullah Sungkar itulah yang dituduh sebagai pendiri Jamaah Islamiyah, organisasi yang kini berada dalam urutan 88 “daftar organisasi teroris” versi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan urutan 35 dalam “daftar organisasi teroris” versi Amerika Serikat.
Nama Ba’asyir kian populer. Setiap bulan ia aktif dalam diskusi yang diikuti para ulama dari seluruh Solo. Kealiman, kefasihan, dan kesalihannya membuatnya kian populer di kalangan ulama Solo dan umat Islam pada umumnya. Pesantren Al-Mukmin di sekitar Pasar Klewer pun dianggap kurang lagi memadai bagi sosok Ba’asyir yang sudah begitu kondang dan memiliki banyak jamaah.
Pada tahun 1972, bersama lima orang ulama –yaitu Abdullah Sungkar (yang belakangan dituduh sebagai pendiri Jamaah Islamiyah), Yoyok Raswadi, Abdul Kohar Haji Daeng Matesi, Hasan Basri, dan Abdullah Baradja– Ba’asyir merintis berdirinya pondok pesantren di Desa Ngruki dan diresmikan tahun 1974. Namanya sama dengan madrasahnya di Klewer, Al-Mukmin. Pesantren lama dialihfungsikan menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam. Aktivitas Ba’asyir pun berpusat di Ngruki sepenuhnya.
Ba’asyir mulai “bermasalah” ketika ia menjadi salah satu tokoh yang menentang penerapan asas tunggal Pancasila. Ia pun menjadi “target operasi” rezim Orde Baru.
Tahun 1978, Ba’asyir bersama rekannya, Abdullah Sungkar, ditangkap dan dipenjarakan dengan dakwaan makar karena menolak asas tunggal. Selama empat tahun dalam penahanan, Ba’asyir berulang kali dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain.
Pada awalnya dia ditahan di Makodim Solo, kemudian dipindah ke tahanan Kodam IV Diponegoro di Semarang. Tidak lama kemudian Ba’asyir kembali dipindah ke penjara Mlaten Semarang, terus ke Pati, dan terakhir penjara Solo.
Pada tahun 1982, Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar diadili di Pengadilan Negeri Sukoharjo. Jaksa menuntutnya hukuman 9 tahun penjara. Tapi majelis hakim malah memvonisnya 12 tahun penjara potong masa tahanan.
Ba’asyir pun kemudian mengajukan perlawanan ke tingkat banding hingga kasasi. Tak lama kemudian putusan kasasi MA turun dan mengganjarnya hukuman sembilan tahun penjara. Ba’asyir akhirnya memilih untuk hijrah ke Malaysia. Di sana dia tetap konsisten berada di jalur dakwah Islamiyah.
Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Ba’asyir berjualan madu, haba saodah atau biasa disebut jinten item, dan sejenis bumbu yang di Malaysia disebut runcit. Selain itu, Ba’asyir juga menerima imbalan ala kadarnya dari ceramah atau pengajian-pengajian yang diberikannya.
Tahun 1999, setelah rezim Orde Baru tumbang, Ba’asyir kembali ke Indonesia dan terpilih sebagai Amirul (pemimpin) MMI yang dideklarasikan pada tahun itu juga di Yogyakarta.
Selama di Malaysia (1985-1998), Ba’asyir menjadi “pendakwah lepas” di pengajian-pengajian, dengan misi pemurnian ajaran Islam dalam konsep dan pelaksanaan, bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kelompok pengajian itulah yang belakangan dicap pemerintah Malaysia sebagai KMM (Kelompok Militan Malaysia, Kumpulan Mujahidin Malaysia) atau “Malaysian Mujahideen Group”.
KMM disebut-sebut sebagai kelompok yang diduga terlibat dalam perampokan, pembunuhan, dan kekerasan lain, seperti pemboman tempat-tempat ibadah non-Muslim di Malaysia dan negara-negara lain.
KMM juga dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang dituduh mempunyai rencana besar untuk mendirikan negara Pan-Islam di wilayah Asia Tenggara dan dituduh berada di belakang pemboman di Legian Bali, pada 12 Oktober 2002.
JI diisukan bertujuan mendirikan pemerintahan Islam di Malaysia, Indonesia, dan Filipina melalui (aksi) kekerasan. JI diisukan punya pendirian, bahwa pemerintah tiga negara yang ada sekarang adalah tidak Islami dan dipimpin oleh orang-orang kafir.
Ketika terjadi Tragedi WTC di New York Amerika Serikat, 11 September 2001, KMM menjadi target operasi intelijen dan aparat keamanan Malaysia dan Singapura.
Puluhan aktivis KMM ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Malaysia dan Singapura, dengan tuduhan terkait dengan jaringan Al-Qaidah yang divonis AS sebagai teroris internasional pelaku peledakan WTC 11 September 2001, menyusul propaganda AS yang menyebutkan tiga negara di Asia Tenggara –Malaysia, Filipina, dan Indonesia– sebagai tempat adanya jaringan teroris internasional.
Nama Ba’asyir mulai muncul ketika Malaysia dan Singapura menyebutkan para aktivis KMM itu dipimpin oleh tokoh-tokoh dari Indonesia. Bahkan, Menteri Senior Singapura, Lee Kwan Yew, kepada rakyatnya menyatakan bahwa “Singapura masih berisiko menjadi sasaran serangan teroris karena masih berkeliarannya pemimpin-pemimpin sel ekstrem di Indonesia”.
Tuduhan Lee diberitakan suratkabar Singapura, The Straits Times (18 Februari 2002), dan dikutip sejumlah media massa Indonesia.
Sebelumnya, The Straits Times (9 Januari 2002) mengutip koran Berita Harian Malaysia memberitakan, tiga orang Indonesia yang menjadi pimpinan “kelompok militan” tersebut adalah Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Samad, Hambali alias Nurjaman Riduan Isamuddin, dan Mohamad Iqbal A. Rahman alias Abu Jibril. Mereka disebutkan berasal dari Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Bahkan, untuk membuktikan tuduhan itu, Polisi Diraja Malaysia dikabarkan sampai menugaskan beberapa anggotanya secara informal di Solo, “daerah kekuasaan” Ba’asyir. Sumber di kepolisian menduga, mereka menggunakan visa turis atau memakai payung kerjasama perdagangan Jawa Tengah dengan Malaysia yang telah disepakati hampir dua bulan silam. Mereka bertugas memantau aktivitas pimpinan MMI, yang diincar adalah Ba’asyir. Polisi Diraja Malaysia mengincar Ba’asyirr karena selama di Malaysia ia dianggap terlibat dalam gerakan KMM (Detikcom, 10 Januari 2002).
Dari Malaysia itulah kisah “perburuan” Ba’syir dimulai, hingga “gongnya” ditabuh Majalah Time yang memuat “bocoran rahasia” intelijen Amerika Serikat CIA berdasarkan pengakuan Umar Al-Faruq. Ba’asyir pun ditahan Mabes Polri atas tuduhan terlibat dalam kasus-kasus pengeboman Natal 2000, rencana pembunuhan Presiden Megawati, dan menjadi bagian dari jaringan Al-Qaidah.*
Kalau saja tidak menjadi Amirul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mungkin Abu Bakar Ba’asyir tidak akan menjadi “target utama operasi” Amerika Serikat dan sekutunya dalam kampanye anti-terorisme internasional.
Pasalnya, organisasi yang dipimpinnya (MMI) merupakan salah satu ormas Islam yang dicap sebagai “organisasi Islam fundamentalis” yang sangat ditakuti Barat dan kalangan sekuler.
Dalam sebuah acara jumpa pers, Ba’asyir sempat mengemukakan garis perjuangan MMI. Menurutnya, MMI meniru perjuangan Rasulullah dalam rangka menegakkan Islam, yaitu dakwah dan jihad. Dakwah memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada orang Islam dan non-Islam tentang persoalan syariat. “Saya tidak pernah mengajarkan kekerasan,” katanya.
Menurutnya, MMI hanya membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. “Yang salah tetap kita salahkan menurut ukuran syariat. Yang benar menurut Al Quran kita katakan benar, yang salah kita katakan salah. Itu yang dinilai keras,” jelasnya. “MMI tidak pernah berbuat anarkis, hanya dakwah.”
Bukan hanya karena visi dan misinya hendak menegakkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga MMI sangat bersemangat dan vokal membela kepentingan umat Islam dan membuat miris Amerika Serikat dan antek-anteknya.
MMI pernah mengeluarkan pernyataan sikap mengutuk Israel dan AS, mengutuk Presiden AS George W. Bush, dan menuntut Bush dan PM Israel Ariel Sharon diseret ke Mahkamah Internasional untuk diadili sebagai pelaku teroris terbesar di abad millenium ketiga.
Secara formal, MMI menyatakan tidak ingin mendirikan negara Islam, meskipun berniat menegakkan syariat Islam di Indonesia. Penegakan syariat Islam ini tidak harus berhadapan dengan kekuasaan negara. Bagaimana cara terbaik untuk menegakkan syariat Islam tanpa harus menumpahkan darah dan berbenturan dengan kekuasaan akan menjadi salah satu agenda utama dalam Kongres I Mujahidin Indonesia.
MMI dibentuk dalam Kongres I Mujahidin Indonesia tanggal 5-7 Agustus 2002 di Yogyakarta. Pentolannya adalah para tokoh Islam yang dicap “garis keras”, seperti –selain Ba’asyir– Prof. Dr. Deliar Noor dan para mantan tahanan politik (tapol) aktivis Islam semisal Ir. Sahirul Alim MSc dan Irfan S Awwas (mantan tapol Yogyakarta), Nur Hidayat (mantan tapol Lampung) dan Dr Mursalim Dahlan (mantan tapol Bandung).
Irfan S Awwas terpilih sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin (Lajnah) yang pertama. Lajnah merupakan badan pelaksana dari keputusan Ahlul Hali wal Aqdi. Tugasnya menyusun rencana kepengurusan Lajnah dan kemudian disahkan oleh Ahlul Halli wal Aqdi (Majelis Pertimbangan Tertinggi) yang beranggotakan 36 orang.
Beberapa tokoh Islam yang menjadi anggota Ahlul Hali wal Aqdi adalah Prof Dr Deliar Noor, KH Mawardi Noor, KH Ali Yafie, Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, KH Siddiq Amin, KH Alawy Muhammad, Ustad Abdul Qadir Baraja, dan Prof Dr Abdurrahman A Basalamah.
Lajnah diharapkan dapat segera membentuk jaringan antaranggota aliansi melalui perwakilan-perwakilan wilayah. Tujuannya untuk mempercepat sosialisasi pelaksanaan syari’ah Islam di daerah-daerah yang mayoritas berpenduduk Islam.
Posisi Ba’asyir adalah Ketua Badan Pekerja Ahlul Halli wal Aqdi yang berkedudukan di Yogyakarta dan bertugas melaksanakan tugas sehari-hari Ahlul Halli wal Aqdi Majelis Mujahidin.
Wajar jika Ba’asyir dijuluki sebagai salah satu tokoh Islam Indonesia. Wajar pula, baik ketika ia berada di RSU Muhammadiyah Solo maupun RS Polri Keramat Jati Jakarta, sejumlah tokoh ormas dan parpol Islam menjenguknya.
Setidaknya, Prof. Dr. Din Syamsuddin (Sekum MUI Pusat), Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah), KH Zainuddin MZ (Ketua Umum DPP PPP Reformasi), Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) ZA Maulani, kalangan DPR, dan ormas kepemudaan Islam seperti Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan lain-lain menjenguk Ba’asyir sebagai ungkapan solidaritas atau simpati.
Kunjungan sejumlah tokoh dan aktivis organisasi Islam itu merupakan indikasi kuat Ba’asyir kini tampil sebagai figur pejuang Islam yang memiliki banyak pendukung dan simpatisan.
Dukungan dan simpati itu pun bisa jadi merupakan ungkapan “protes” terhadap pemerintah yang dianggap bertindak tidak adil. Ringkasnya, kunjungan itu merupakan ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam pandangan pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Magelang, Mashuri Maschab, kunjungan tokoh parpol kepada Ba’asyir juga merupakan wujud protes terhadap cara polisi melakukan upaya paksa terhadap Ba’asyir.
Kunjungan itu juga bukan sekadar solidaritas, tetapi menujukkan ketidaksukaan kepada pemerintah, terutama polisi. Menurutnya, upaya paksa memindahkan Ba’asyir dari RSU PKU Muhammadiyah Solo ke RS Polri Kramat Jati Jakarta, telah menimbulkan kemarahan umat Islam.
Upaya paksa polisi itu semakin menurunkan kepercayaan sebagian besar rakyat terhadap kemandirian pemerintah yang sudah berada di bawah bayang-bayang pemerintah negara asing (AS).
Dengan demikian, dukungan terhadap Ba’asyir menjadi simbol perlawanan umat Islam terhadap pemerintah yang dinilai tunduk pada tekanan Amerika. Dalam hal ini kasusnya sama dengan Usamah bin Ladin. Umat Islam mancanegara menyuarakan dukungan terhadap Usamah, bukan sekadar karena Usamah pejuang Islam, tapi lebih merupakan ungkapan penentangan terhadap kezaliman Amerika yang semena-mena menyerang Afghanistan.
Ketokohan Ba’asyir juga tampak pada bergabungnya tiga kelompok pengacaca –Tim Pengacara Muslim (TPM), Pusat Advonasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Paham), dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI)– menjadi penasihat hukum atau pengacara Ba’asyir.
Tokoh senior pengacara Indonesia, Adnan Buyung Nasution, bahkan menjadi ketua tim pembela dengan nama Tim Pembela Abu Bakar Ba’asyir (TPABB).
Menurut Adnan Buyung Nasution, nama TPABB dinilai para pengacara lebih tegas dan profesional. Pemikiran yang mendasari terbentuknya tim itu adalah kenyataan bahwa tuduhan kepada Ba’asyir bukanlah persoalan orang muslim saja, tetapi persoalan yang lebih besar dan prinsipil menyangkut harkat dan martabat sebagai bangsa Indonesia. Dalam kasus Ba’asyir, kesan adanya campur tangan pihak asing sangat kuat sekali.
Jumlah pengacara yang siap membela Ba’asyir bahkan terus bertambah. Sejumlah lembaga lain yang menyatakan bergabung dengan TPABB antara lain Asosiasi Advokasi Indonesia (AAI), LBH Nahdlatul Ulama, dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), juga ada beberapa orang dari Ikadin dan PBHI.
Dukungan para ulama dan umat Islam terus mengalir kepada Ba’asyir. Di Yogyakarta, ribuan umat Islam se-Yogyakarta menggelar tablig akbar untuk membela Ba’asyir.
Selain diikuti sejumlah ormas Islam, tablig bertema “Pembelaan Umat Islam” itu, juga dihadiri massa dari beberapa partai politik Islam, yakni Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Tablig Akbar itu digagas oleh Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI) dan Forum Silaturahmi Remaja Masjid (FSRM) Yogyakarta. Massa dari MMI yang menamakan diri Laskar Mujahidin ikut andil dalam aksi tersebut.
Di Surakarta, ribuan massa pendukung Ba’asyir sempat mendatangi Mapolwil Surakarta. Massa gabungan laskar dan santri tersebut menuntut agar Ba’asyir dibebaskan.
Aksi berawal ketika sekitar 500 orang dari berbagai elemen –antara lain Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Brigade Hizbullah– mendatangi Mapolwil.
Sebelumnya, mereka menggelar orasi di Taman Sriwedari. Setelah itu mereka long march sejauh sekitar satu kilometer menuju Mapolwil.
Massa kian membesar ketika sekitar 1.500 santri Ba’asyir dari Ponpes Al-Mukmin Ngruki juga mendatangi Mapolwil. Mereka dikawal oleh puluhan anggota Laskar Mujahidin. Mereka juga menuntut pembebasan Ba’asyir dan menolak Perppu Antiterorisme yang mereka nilai hanya akan menjadi legitimasi pemberangusan tokoh-tokoh Islam dan gerakan Islam di Indonesia.
Ribuan pendukung Ba’asyir itu baru membubarkan diri, setelah mengamini sumpah yang diucapkan Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar di Bandung. Dalam sumpahnya, Kapolri siap menerima azab dunia dan akhirat, jika memang ada tekanan asing dalam kasus Ba’asyir.
Mabes Polri pun jadi sasaran aksi. Massa dari Gerakan Pemuda Islam (GPI) melakukan aksi di sana untuk menolak penahanan Ba’asyir.
Dalam aksinya, mereka juga membawa kepala kambing berwarna hitam sebagai simbol bahwa Polri sudah melakukan pengambinghitaman terhadap Ba’asyir. Dalam aksinya, mereka meminta agar Polri dan pemerintah tidak menahan aktivis-aktivis Islam. Merena menyatakan, dengan ditahannya para aktivis Islam, maka pemerintah sudah menjadi boneka Amerika.
Maka, Ba’asyir kini menjadi figur sentral para aktivis Islam. Bagi umat Islam, ia adalah sosok pejuang penegak syariat Islam. Bagi AS dan sekutunya, ia adalah sosok teroris.
Kehebatan Ba’asyir bahkan ditunjukkan ketika ada kasus razia (sweeping) WNI Muslim di Australia. Sejumlah WNI Muslim di negeri Kanguru itu dirazia dan diinterogasi oleh intel Australia (AISO) hanya karena mereka “pernah mendengarkan ceramah Ba’asyir” atau pernah mengikuti pengajian di mana Ba’asyir menjadi pemateri.
Alasan itu setidaknya diakui atase pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Clerk Cunningham. Ia menyatakan, penggeledahan yang terjadi di Australia tidak terbatas pada WNI ataupun umat Islam saja. Tetapi juga dilakukan kepada seluruh orang-orang yang menurut laporan intelejen terkait dengan Jama’ah Islamiyah, di mana orang-orang tersebut juga “pernah mendengarkan pidato” Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut sumber diplomatik, sejak 27 Oktober 2002 sudah 20 keluarga Muslim asal Indonesia yang menjadi korban penggeledahan ASIO. Sebanyak tiga orang di antaranya adalah mahasiswa Indonesia.
Pada pekan pertama dilancarkan operasi tersebut, yakni 27 Oktober 2002 sampai dengan 2 November 2002, tercatat 16 keluarga Muslim Indonesia yang digerebek. Sampai saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang non-Muslim. Kuasa Usaha Sementara pada Kedutaan Besar RI di Canberra –Imron Cotan—mengemukakan, pada tingkat permukaan, razia itu tampak mengalami jeda. Padahal, razia diperkirakan terus berlanjut di berbagai tempat.
Pemikiran-pemikiran dan sikap Ba’asyir yang komitmen dengan ajaran Islam yang “lurus” dan “tegas” memang bisa memiriskan Amerika dan kaum sekuler. Simak saja serpihan pemikirannya ketika ia menggelar jumpa pers, 18 Oktober 2002, dan dalam wawancara pers (Republika, 20 Oktober 2002).
Tentang terorisme, ia melihat sebenarnya akar masalah segala pertentangan di dunia yang disebut teror itu adalah pertentangan antara hak dan batil, antara Islam dan kafir.
“Jadi ada usaha-usaha orang kafir untuk memadamkan cahaya Islam dengan menggunakan kamuflase-kamuflase yang disebut teror,” katanya.
“Oleh karena itu, Saudara boleh lihat bahwa definisi teror dimonopoli oleh Amerika. Yang disebut teror oleh mereka adalah semua penegak, mujahid yang akan menegakkan syariat Islam. Termasuk diri saya ini. Jadi saya akan dikorbankan itu bukan karena memerintahkan orang mengebom. Saya jadi korban karena saya ingin menegakkan syariat Islam dengan sempurna.”
Ba’asyir berpendapat, yang ditakuti oleh “musuh-musuh Allah itu” adalah tegaknya syariat Islam, sehingga apa yang disebut teror oleh Amerika adalah orang Islam. Ia menilai, Al-Qoidah –yang ia ragukan keberadannya— adalah organisasi buatan Amerika. Kemudian dibuat lagi istilah organisasi Jamaah Islamiyah yang ada di Asia Tenggara. “Itu untuk menjaring orang-orang Islam yang masuk dalam golongan itu adalah teroris. Lalu dibuat peristiwa pengeboman,” tegasnya.
Tentang bom di Bali, Ba’asyir mengecamnya. Baginya, Bali itu wilayah orang non-muslim, sehingga banyak mereka yang sebenarnya tidak bersalah jadi korban.
“Mereka tidak memerangi Islam, hanya datang untuk bersenang-senang menjadi korban,” katanya. “Itu memang tujuannya untuk membikin suatu opini bahwa benar-benar di Indonesia ini ada teror. Selain itu, mereka bertujuan untuk membentuk opini bahwa pelaku teror itu adalah orang Islam, sehingga yang dibom itu tempatnya orang kafir baik di Bali maupun di Manado.”
Kalau kita mau berpikir jernih, kata Ba’asyir, teroris di dunia ini yang sebenarnya adalah Amerika dan Israel. “Itu mudah dibuktikan,” tegasnya. “Anak SD saja bisa. Amerikalah yang banyak membunuh orang tak bersalah, bangsa Afganistan dengan kejam, merusak rumah-rumah mereka. Israel juga membunuh bangsa Palestina dengan kejam.”
Ba’asyir menyatakan, Islam itu mengutamakan perdamaian, selalu mengajak kepada perdamaian, baik kepada sesama Muslim maupun yang lain. Mencacai-maki suatu kaum itu tidak boleh. Memaksa orang kafir untuk masuk Islam tanpa kesadaran juga tidak boleh. Allah SWT memberi kelonggaran kepada umat Islam yang berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang tidak memerangi Islam. Nabi Saw sendiri menyatakan, barangsiapa yang memerangi kafir dzimmi (orang kafir yang tunduk pada hukum Islam), maka itu berarti beliaulah musuhnya. “Itu semua bukti-bukti bahwa Islam mengajak kedamaian,” kata Ba’asyir.
Tetapi, masih kata Ba’asyir, kalau Islam diperangi, maka Islam akan membela diri. Ketika syariat Islam diganggu, dihalangi, maka pada saat itulah umat Islam harus membela diri. Apabila halangan atau rintangan itu dalam bentuk argumen, maka Islam akan membela diri dengan argumen. Tapi kalau tantangan itu berupa fisik, maka umat Islam akan membela secara fisik pula. Jadi itulah yang namanya jihad. Jadi ketika umat Islam sudah berjihad dengan fisik, maka itulah permusuhan dengan orang kafir. “Dan kalau sudah seperti itu berarti saling bunuh,” imbuhnya.*
Kasus Ba’asyir sungguh unik.
Ia ditahan polisi atau menjadi terdakwa berkat kesaksian seorang sosok kontroversial, Omar Al-Faruq, yang dimuat majalah Time. Al-Faruq mengatakan Ba’asyir terlibat dalam kasus pengeboman Natal 2000 dan upaya pembunuhan Presiden Megawati.
Kronologisnya, pertama-tama Ba’asyir disebut-sebut pemerintah Malaysia dan Singapura sebagai salah satu “pemimpin sel teroris”. Lalu MMI yang dipimpinnya diisukan terkait dengan organisasi Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.
Untuk menciptakan kesan bahwa benar ada kaum “Islam militan” di Indonesia, utamanya dari kalangan MMI, media massa AS gencar mengekspose “Islam militan” di Indoensia, dengan fokus Yogyakarta dan Solo yang menjadi basis MMI.
Isu penangkapan Ba’asyir pun berembus.
Klimaksnya adalah “nyanyian” Omar Al-Faruq yang disebut-sebut sebagai pemimpin tertinggi jaringan Al-Qaidah di kawasan Asia Tenggara. Al-Faruq ditangkap di Bogor, 5 Juni 2002, secara diam-diam oleh intelijen dan diekstradisi ke Amerika Serikat, juga secara diam-diam. Saat diinterogasi CIA, Al-Faruq dikabarkan mengungkapkan berbagai kasus teror bom di Indonesia, termasuk upaya pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri. Al-Faruq menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir sebagai aktor di balik teror bom Natal 2000 dan usaha pembunuhan Megawati.
Hasil interogasi CIA kemudian dipublikasikan majalah Time dan dikutip berbagai media massa, termasuk media massa nasional.
Para pengamat Indonesia meragukan pengakuan Al-Faruq, bahkan beberapa pengamat menduga Al-Faruq adalah agen CIA yang disusupkan ke Indonesia. Mabes Polri kemudian mengirimkan tim ke AS untuk menginterogasi Al-Faruq. Seiring dengan itu, Menkopolkam dan Polri mengeluarkan pernyataan, “nasib” Ba’asyir bergantung pada hasil penyelidikan tim Polri tersebut.
Maka, ketika tim Polri itu pulang ke tanah air, dan menyatakan apa yang diberitakan Time 90% benar atau valid, Polri pun bergerak menangkap Ba’asyir. Sejumlah kalangan menyayangkan sikap Polri yang menangkap Ba’asyir hanya dengan bukti adanya pengakuan seorang Omar Al-Faruq.
Anehnya, ketika banyak pihak mengusulkan agar Al-Faruq didatangkan ke Indonesia untuk dikonfrontasikan dengan Ba’asyir, Polri terkesan enggan menanggapi usulan itu. Yang berkembang kemudian adalah dugaan, bahwa penangkapan Ba’asyir adalah pesanan AS.
Omar Al-Faruq telah berjasa menjebloskan Ba’asyir kedalam tahanan Polri. Masuk akal jika Al-Faruq dicurigai sebagai agen CIA yang disusupkan ke Indonesia untuk mengobok-obok gerakan Islam di tanah air dan membidik tokoh-tokohnya.
Yang tidak masuk akal, jika ada seorang aktivis Islam yang mau menjadi pengkhianat terhadap mitra seperjuangannya dalam Islam. Artinya, jika Al-Faruq seorang aktivis pejuang Islam, pastilah ia akan melindungi Ba’asyir, membantah keterlibatannya dalam aksi-aksi teror, demi terus berlangsungnya syiar dakwah Islamiyah di tanah air.
Tidak ada alasan bagi Al-Faruq untuk buka mulut dan membeberkan berbagai kasus, meskipun ada tekanan atau paksaan dan siksaan. Karena bagi pejuang Islam, tekanan dan paksaan, bahkan pembunuhan, adalah risiko perjuangan, bahkan mati syahid merupakan idaman. Ingat apa yang dikemukakan Sayyid Quthb, ketika ia berada di tiang gantungan rezim sekuler Mesir: “Hidup mulia atau mati syahid” (Isy kariman au mut syahidan).
Yang lebih membuat geram kalangan umat Islam adalah proses penangkapan Ba’asyir yang terkesan memaksa. Ulama sepuh itu dipaksa pindah dari RSU Muhammadiyah Solo ke RS Polri Keramat Jati Jakarta.
Sempat terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan massa pendukung Ba’asyir. Muhammadiyah pun berang karena proses pemindahan itu diwarnai insiden pengrusakan jendela RSU Muhammadiyah Solo. Polri minta maaf, Muhammadiyah menerima.
Ba’asyir berada dalam genggaman Polri. Ada yang janggal, ketika tiba-tiba Polri menyoal status kewarganegaraan Ba’asyir. Polri mengaku mendapat masukan dari imigrasi bahwa kewarganegaraan Ba’asyir bisa dicabut.
Kabidpenum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Polisi Prasetyo, mengaku memperoleh informasi bahwa Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM sedang mempertimbangkan untuk mencabut status kewarganegaraan Ba’asyir.
Tapi anehnya, pihak imigrasi –sebagaimana dikemukakan Kepala Humas Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM, Ade Endang Dahlan, kepada detikcom, tidak tahu-menahu tentang itu.
Dikatakan, imigrasi juga tidak mempunyai kewenangan mencabut kewarganegaraan Ba’asyir bahkan tidak mempermasalahkan soal kewarganegaraannya. Menurut Ade, tidak ada aturannya bahwa imigrasi mengurus kewarganegaraan seseorang, termasuk Ba’asyir.
Dalam pandangan Ketua Tim Pembela Abu Bakar Ba’asyir (TPABB) Adnan Buyung Nasution, karena tidak bisa membuktikan keterlibatan Ba’asyir dalam kasus pengeboman, polisi panik dan memunculkan masalah kewarganegaraan.
Menurutnya, kalau seperti itu, pemerintah akan mudah mengekstradisi seseorang tanpa perlu ada perjanjian dan itu adalah permainan intelijen. Buyung juga menyatakan, negara telah bertindak fasis jika menghapus kewarganegaraan seseorang secara sewenang-wenang atau bukan melalui keputusan pengadilan. “Seseorang tak bisa begitu saja hilang kewarganegaraannya, apalagi hanya diputuskan oleh suatu instansi,” katanya.
Kengototan Mabes Polri mempersoalkan kewarganegaraan Ba’asyir tampaknya tidak tanpa alasan. Diduga, hal itu adalah bagian upaya untuk mendeportasi Ba’asyir ke negara yang membutuhkan, seperti Singapura dan Malaysia.
Jadi, ada kemungkinan Ba’asyir diboyong ke salah satu dari dua negara itu yang tahun lalu mengumumkan catatan intelijen bahwa Ba’asyir terlibat serangkaian terorisme. Ba’asyir sendiri mengaku punya firasat akan dikirim ke luar negeri. Namun ia tidak menyebutkan negara mana yang membutuhkannya.*
Penangkapan, penahanan, dan penetapan Ba’asyir sebagai tersangka teroris jelas merugikan citra Islam dan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, utamanya karena Ba’asyir seorang ulama, pengasuh pesantren, aktvis dakwah, dan pemimpin sebuah organisasi Islam.
Wajar jika Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), seperti dikemukakan Ketua Tanfidziyah MMI Irfan S. Awwas, mengingatkan bahwa penangkapan Ba’asyir yang dilakukan secara sewenang-wenang mengindikasikan bahwa Presiden Megawati telah menciptakan musuh baru, yakni umat Islam dan rakyat Indonesia. Irfan menilai, penangkapan Ba’asyir hanyalah untuk kepentingan AS.
Di mata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, bisa jadi Ba’asyir hanya menjadi “kambing hitam” dari tekanan-tekanan internasional yang menginginkan implementasi dan dukungan terhadap anti-terorisme yang digembar-gemborkan oleh AS.
“Walaupun secara konstitusi kita harus mempertahankan Presiden Mega, namun kita harus mengkritisi kebijakan Mega agar tetap independen menjaga kedaulatan dan menolak intervensi dari pihak asing,” tegas Syafi’i mengingatkan.
Syafii khawatir, kalau nanti ternyata penangkapan Ba’asyir tidak ada bukti, iItu hanya sekedar menyenangkan Presiden AS George W. Bush. Menurutnya, pemerintahan Megawati saat ini memang tidak efektif dan tidak mempunyai ketegasan dalam berbagai hal, termasuk dalam menangani Ba’asyir, yang kini telah menjadi tersangka dalam upaya pembunuhan terhadap Presiden.
Informasi soal upaya pembunuhan itu sendiri berdasarkan dari dokumen CIA berdasarkan pengakuan orang yang dianggap sebagai anggota jaringan Al-Qaidah, Omar Al-Faruq.
Menurut Syafii, agar proses pemeriksaan Ba’asyir berjalan lancar, pihak kepolisian harus mendatangkan Omar Al-Faruq ke Indonesia untuk dikonfrontir dengan Ba’asyir. Syafi’i juga mendukung permintaan Ba’asyir agar Omar Al-Faruq didatangkan ke Indonesia, dengan pertimbangan pengakuan pria yang disebut-sebut tokoh penting Al-Qaidah di Asia Tenggara itu bisa saja bias dan mengada-ada.
Dengan mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia, akan meredam kemarahan dan sikap antipati para pendukung Ba’asyir terhadap polisi, mengingat Ba’asyir adalah seorang tokoh spiritual dan mempunyai banyak pendukung.
Desakan agar Polri bisa mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia juga dikemukakan Ketua Harian KISDI yang juga anggota DPR Komisi I, Ahmad Soemargono. Menurutnya, pengakuan Al-Faruq harus dibuktikan dengan kehadirannya secara fisik di Indonesia. Jika tidak, penangkapan Ba’asyir sangat tidak adil. Soemargono juga menduga adanya rekayasa dari pihak-pihak tertentu untuk menangkap Ba’asyir.
Dalam pandangan Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) ZA Maulani, kasus Ba’asyir adalah batu ujian di bidang penerapan hukum, politik luar negri, dan harga diri bangsa.
“Jika pemerintah tidak mampu lolos dari ujian itu, maka Indonesia akan semakin terpuruk dan tercabik-cabik,” katanya.
Dikatakan, kasus Ba’asyir adalah ujian apakah Indonesia akan mampu menerapkan politik luar negri bebas aktif, tanpa terpengaruh oleh intervensi dan tekanan dari pihak mana pun, dan untuk kepentingan apa pun.
Maulani juga meminta agar Al-Faruq tetap bisa didatangkan di Indonesia untuk diminta keterangan ataupun dikonfrontir dengan Ba’asyir.
“Jika pemerintah tidak mampu melakukannya, maka segala tuduhan terhadap Baasyir itu harus gugur. Jika tetap diteruskan, maka dzalim itu namanya,” tegasnya.
Ba’asyir, masih menurut ZA Maulani, hanya sebagai korban konspirasi Amerika Serikat untuk memperkokoh hegemoninya di dunia. Semua yang dituduhkan kepada umat Islam dan tokoh-tokoh Islam merupakan upaya AS untuk menekuk Indonesia sebagai negara dengan mayoritas masyarakat Islam terbesar di dunia. “Amerika tidak rela kalau Indonesia tidak tunduk di ketiaknya,” katanya.
Demikian kutipan buku Kontroversi Ba’asyir. Kontroversi tentangnya terjadi sejak penahanan hingga pembebasan. Wasalam. (www.romeltea.com).*