Prinsip Jurnalistik: Independen, Netral, Akurat, Jujur, Benar!

Prinsip Jurnalistik (Journalism Principles) adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya) atau dasar jurnalisme yang menjadi pedoman wartawan atau media dalam bekerja.

Prinsip jurnalistik merupakan pedoman etis para wartawan yang berlaku universal. Prinsip-prinsip ini lalu dituangkan dalam kode etik jurnalistik yang dirumuskan dan ditetapkan masing-masing organisasi profesi wartawan. Di Indonesia, prinsip jurnalistik berupa kode etik ditetapkan oleh Dewan Pers.

prinsip jurnalistik

 

Prinsip jurnalistik dikemukakan para ahli, akademisi, dan praktisi. Terpopuler adalalah prinsip jurnalistik yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam rumusan “Elemen Jurnalisme” (The Element of Journalism) dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers, 2001).

Sembilan Elemen Jurnalisme

  1. Kewajiban jurnalisme pertama adalah (berpihak) pada kebenaran.
  2. Loyalitas (kesetiaan) pertamanya kepada warga (publik).
  3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
  4. Para praktisinya (jurnalis/wartawan) harus menjaga independensi dari objek liputannya.
  5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan.
  6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi.
  7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
  8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
  9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.

Baca Selengkapnya: Sembilan Elemen Jurnalisme

Read More

Lima Prinsip Inti Jurnalisme

Menurut Ethical Journalism Network, ada lima prinsip inti (five core principle of journalism):

1. Kebenaran dan Akurasi (Truth and Accuracy)

Jurnalis tidak selalu bisa menjamin ‘kebenaran’, tetapi mendapatkan fakta dengan benar adalah prinsip utama jurnalisme.

Kita harus selalu berusaha untuk akurasi, memberikan semua fakta yang relevan yang kita miliki, dan memastikan bahwa fakta-fakta itu telah diperiksa. Ketika kita tidak bisa membenarkan informasi, kita harus mengatakannya.

2. Kemandirian (Independence)

Jurnalis harus suara independen; kita tidak boleh bertindak, secara formal atau tidak resmi, atas nama kepentingan khusus baik politik, perusahaan atau budaya.

Kita harus menyatakan kepada editor kita – atau audiensi – afiliasi politik kita, pengaturan keuangan atau informasi pribadi lainnya yang mungkin merupakan konflik kepentingan.

3. Keadilan dan Ketidakberpihakan (Fairnees and Impartiality)

Sebagian besar cerita memiliki setidaknya dua sisi. Meskipun tidak ada kewajiban untuk menyajikan setiap sisi dalam setiap bagian, cerita harus seimbang (balance) dan menambah konteks.

Objektivitas tidak selalu mungkin, dan mungkin tidak selalu diinginkan (dalam menghadapi misalnya kebrutalan atau tidak manusiawi), tetapi pelaporan yang tidak memihak membangun kepercayaan dan kepercayaan diri.

4. Kemanusiaan (Humanity)

Wartawan seharusnya tidak membahayakan. Apa yang kami publikasikan atau tayangkan mungkin menyakitkan, tetapi kita harus waspada terhadap dampak kata-kata dan gambar kita pada kehidupan orang lain.

5. Akuntabilitas (Accountability)

Tanda profesionalisme dan jurnalisme yang bertanggung jawab adalah kemampuan untuk membuat diri kita bertanggung jawab. Ketika kita melakukan kesalahan, kita harus memperbaikinya dan ekspresi penyesalan kita harus tulus, tidak sinis.

Kita mendengarkan keprihatinan audiens. Kita mungkin tidak mengubah apa yang ditulis atau dikatakan pembaca, tetapi kita akan selalu memberikan solusi ketika kita tidak adil.

Panduan Perilaku Jurnalis AJI

Prinsip jurnalisme secara detail dikemukakan Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) dalam Pedoman Perilaku Jurnalis, selain kode etik jurnalistik AJI.

1. Prinsip Independensi

Independensi mensyaratkan jurnalis terbebas dari tekanan/pengaruh apapun di luar kepentingan publik dan hati nurani si jurnalis ketika mencari dan menyampaikan informasi kepada publik. Sikap independen dapat ditunjukkan antara lain dengan:

  1. Menghindari pengaruh pihak luar redaksi dalam menentukan topik, angle, narasumber, dan isi berita.
  2. Menghindari campur tangan pemilik terhadap isi fakta yang akan dimuatnya dalam berita.
  3. Menghindari pengaruh marketing/iklan dalam menentukan topik, angle, narasumber dan isi berita.
  4. Tidak mencari iklan atau merangkap jabatan di bagian bisnis.
  5. Menghindari hubungan sosial yang terlalu akrab dengan nara sumber atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi narasumber, kecuali untuk hubungan sosial yang lazim (seperti menghadiri undangan resepsi, melayat, dan semacamnya).
  6. Tidak meliput kegiatan bisnis, politik, sosial dan budaya yang dia jalankan.
  7. Tidak menjadi pengurus partai politik.
  8. Tidak meliput organisasi tempat dia menjadi anggota (kecuali kegiatan organisasi profesi dan serikat pekerja tidak bertentangan dengan semangat jurnalisme).

2. Prinsip Imparsialitas

Impartialitas artinya tidak memihak, jujur, adil, netral. Sikap imparsialitas wartawan dapat ditunjukkan dengan cara sebagai berikut:

  1. Dalam membuat berita, jurnalis tidak boleh memihak pada salah satu subjek (baik itu dalam konflik politik, hukum, ekonomi dan sosial.
  2. Laporan berita yang bersifat faktual tidak boleh dibubuhi opini pribadi jurnalis.
  3. Jurnalis menghindari penggunaan bahasa yang bernuansa opini (misalnya sesuatu “baik”, “buruk”, “jahat”, “gagal”, “cantik”, dan “bodoh”).
  4. Jurnalis menghindari jargon atau gaya bahasa yang mengaburkan arti sebenarnya , seperti eufimisme dan sarkasme. Jurnalis tidak  memberi labeli/stigma terhadap subyek berita. Misalnya: istilah “kafir” untuk non-muslim, istilah “fundamentalis”, atau “gerakan pengacau keamanan”.
  5. Jurnalis menghindari favoristisme pada salah satu tokoh, organisasi, artis, kelompok bola yang dia liput
  6. Jurnalis tidak boleh menggunakan predikat yang bernuansa kultus individu seperti “habib”, “ustad”, “tokoh idola”, “artis kesayangan”, “pejuang”, dan sebutan-sebutan lainnya.
  7. Untuk menghindari bias, jurnalis menggunakan istilah-istilah yang obyektif (terukur/dapat diverifikasi): berapa kira-kira tingginya seseorang, bukan menyebutnya dengan “jangkung” atau “cebol”.
  8. Jurnalis menghindari pemilihan angle dan penggunaan istilah yang menimbulkan prasangka, baik itu suku agama, ras dan sebagainya. Misalnya: pria sipit, pria keriting, negro, dan sebagainya.

3. Prinsip Fairness

Jurnalis harus menunjukkan sikap fair dalam bertugas, yang itu antara lain bisa ditunjukkan dengan cara berikut ini:

  1. Mewawancarai semua pihak yang berkonflik/bersaing jika meliput suatu masalah yang terkait konflik/ persaingan di segala bidang (politik, hukum, bisnis, sosial).
  2. Memberi kesempatan kepada subyek berita yang dituduh untuk memberi tanggapan atau klarifikasi atas berita yang memojokkan dia.
  3. Harus ada minimal tiga upaya sungguh-sungguh” untuk mewawancarai pihak yang dituduh atau dirugikan dalam suatu berita. Upaya itu meliputi, menghubunginya melalui telepon, pesan pendek, mention di twitter, mengonfirmasinya secara langsung di rumahnya.
  4. Balance dalam sebuah pemberitaan tidak harus dikutip sama panjangnya, namun yang utama adalah fakta-fakta dan opini yang substansial sudah dimasukkan. Dalam hal tidak ada konflik/persaingan, asas keseimbangan tetap diperlukan dengan cara memberikan ruang untuk pandangan alternatif yang bisa berasal dari pengamat.
  5. Liputan harus proporsional, tidak melebih-lebihkan hal-hal yang tidak relevan atau di luar isu pokok, dan tidak mengecilkan hal-hal yang penting untuk kepentingan publik. Menyebutkan narasumber dengan identitas SARA termasuk hal yang tidak relevan dan kerap bisa .
  6. Setiap fakta harus ditempatkan dalam konteks yang benar.
  7. Tidak melakukan plagiarisme, termasuk praktik yang selama ini dikenal sebagai kloning. Jika mengutip atau mengambil bahan dari sumber lain, ia harus menyebut sumbernya secara jelas.
  8. Harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat, bila perlu disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Hak jawab dan hak koreksi diberikan secara proporsional.
  9. Bila peliputan yang dilakukan dengan cara khusus, misalnya menggunakan hidden camera melakukan rekonstruksi atas sebuah peristiwa, atau cara lain untuk liputan investigasi, jurnalis harus memberikan penjelasan dalam pemberitaannya.

4. Prinsip Tidak Beritikad Buruk

Tidak beritikad buruk adalah salah satu pedoman penting yang harus diperhatikan jurnalis dalam menjalankan profesinya. Sikap itu antara lain bisa ditunjukkan dengan:

  1. Tidak memberitakan hal-hal yang tidak jelas sumbernya.
  2. Tidak memberitakan hal-hal yang belum diverifikasi kebenarannya.
  3. Tidak memberitakan hal-hal yang diketahuinya tidak terjadi/tidak ada, atau mengarang, atau menambah dan
    mengurangi fakta.
  4. Tidak menuduh seseorang melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan tanpa didukung fakta dan sumber yang jelas.
  5. Tidak berniat menjatuhkan seseorang atau lembaga dengan terus-menerus memberitakan secara negatif orang atau lembaga tersebut tanpa didukung fakta dan sumber yang jelas.

5. Prinsip Akurasi

Akurasi merupakan salah satu rukun dasar kerja jurnalistik. Untuk menjaga akurasi, jurnalis harus memverifikasi semua informasi awal, menguji silang informasi dengan sumber lain, dan melakukan riset latar belakang/konteks informasi tersebut.

Prinsip akurasi tak hanya menuntut setiap infomasi itu jelas sumbernya (faktualitas), tapi juga menuntut kebenaran (truth) informasi tersebut secara substansi.

Sebisa mungkin, jurnalis seharusnya mendapatkan informasi dari tangan pertama dengan berada langsung di lokasi kejadian, atau bila itu tak mungkin, dengan mewawancarai orang yang berada di lokasi kejadian (pelaku, korban, atau saksi mata).

Mengejar akurasi. Akurasi tak selalu mudah dicapai. Disiplin verifikasi adalah kuncinya. Verifikasi meliputi pengecekan atau klarifikasi, pengujian, pembuktian, dan konfirmasi.

Jurnalis harus membedakan sumber informasi tangan pertama dan tangan kedua. Kesalahan pada satu laporan sering kali didaur ulang pada laporan berikutnya. Berita yang sudah terlanjur tayang bisa segera basi atau bahkan keliru, karena itu harus selalu diperbarui. Urusan kecil seperti tanggal, nama, atau jabatan juga harus selalu dicek ulang.

Akurasi kerap kali lebih dari sekadar pertanyaan bagaimana memperoleh fakta dengan benar. Akurasi juga menuntut penyajian fakta dan informasi sesuai dengan konteksnya.

Jika menyangkut isu kontroversial, perlu dipastikan bahwa fakta dan opini yang relevan telah dipertimbangkan. Jika yang dilaporkan rawan gugatan, reporter dan dewan editor harus membayangkan bagaimana bisa mempertanggungjawabkan laporan mereka di pengadilan.

Ketika menyiarkan ulang berita dari kantor berita luar negeri, tak cukup mengandalkan satu kantor berita. Soalnya, tingkat akurasi laporan kantor berita juga bergantung pada kapasitas dan kredibilitas kantor berita, biro, dan para reporter\korespondennya.

1. Mengoreksi kesalahan.

Jurnalis harus berhati-hati agar tidak menerbitkan informasi—termasuk foto dan gambar– yang keliru, menyesatkan, atau terdistorsi. Ketika kekeliruan fakta yang serius terjadi, media/jurnalis penting untuk secepat mungkin mengakui dan mengoreksinya.

Mengatakan apa yang keliru dan memuat versi koreksinya sekaligus merupakan cara paling efektif dalam meralat
kekeliruan. Bila kasusnya rawan digugat atau dipidanakan, ralat yang segera dan proporsional bisa menjadi bahan pembelaan di pengadilan.

2. Bahasa yang akurat.

Dalam membuat laporan, jurnalis tak cukup hanya menyajikan substansi yang benar. Jurnalis juga harus menggunakan bahasa secara jujur, misalnya dengan menghindari penggunaan kata/istilah yang melebih-lebihkan. Salah satu caranya adalah dengan menghindari kata sifat seperti jahat, kejam, atau sadis.

3. Melaporkan data statistik.

Data dan laporan statistik harus digunakan secara hati-hati dan sesuai konteks. Memang, perlu waktu untuk memahami konteks itu. Tidak mudah pula menyampaikan konteks dari angka statistik dengan kata-kata singkat.

Perlu kerja keras reporter dan editor. Sumber dan tahun data statistik juga harus dicantumkan dengan jelas, agar khalayak bisa memberi penilaian dan mengecek ke sumber aslinya.

4. Reka ulang kejadian.

Laporan/berita yang dibuat berdasarkan reka ulang kejadian harus diberi keterangan yang jelas. Ini penting agar khalayak tak menganggap apa yang mereka lihat atau dengar sebagai urutan fakta yang benar-benar terjadi.

Rekonstruksi juga tak boleh ditayangkan dengan cara mendramatisasi peristiwa atau dengan cara sensasional.

5. Menggunakan ilustrasi/infografis.

Gambar ilustrasi dan infografis sangat membantu pembaca/pemirsa memahami peristiwa atau kasus
yang rumit. Tapi, penyederhanaan dalam bentuk ilustrasi/infografis jangan sampai menyesatkan khalayak seolah-olah mereka melihat adegan/peristiwa yang riil.

6. Komentar pengamat.

Komentar atau pendapat ahli/pengamat kerap diperlukan untuk memberi konteks, memperjelas, atau memprediksi
konsekuensi dari sebuah peristiwa/kasus. Tapi, komentar apa pun harus menghormati kebenaran faktual. Komentar atau pendapat ahli tak boleh dipakai untuk memanipulasi opini atau kesan khalayak.

Untuk itu, jurnalis harus memilih ahli/pengamat yang memiliki pengetahuan yang memadai atas sebuah peristiwa serta memiliki data pendukung atas komentarnya.

Demikian prinsip jurnalistik yang dijelaskan Pedoman Perilaku Jurnalis AJI.

Prinsip Fairness Doctrine

Fairness Doctrine (Doktrin Kejujuran) adalah salah satu kaidah jurnalistik atau prinsip pemberitaan. Doktrin Kejujuran mengharuskan wartawan tidak percaya begitu saja (skeptis) tentang sebuah fakta.

Fairness Doctrine mengajarkan agar wartawan, sebelum menulis berita, benar-benar melakukan verifikasi, cek dan ricek, atas kebenaran sekaligus “kemasukakalan” sebuah peristiwa.

Wartawan harus melakukan verifikasi apakah sebuah fakta itu benar-benar “masuk akal” alias bisa diterima akal sehat.

Contoh penerapan Fairness Doctrine dalam jurnalistik adalah berita 3 Polisi di Kota Bandung ditusuk seorang pengendara sepeda motor saat razia.

Satu orang –sekali lagi: satu orang— pengendara sepeda motor, menusuk tiga polisi sekaligus? Apakah ini masuk akal? Kok bisa?

Apa selemah itu polisi kita? Apa polisi tidak dibekali ilmu bela diri sehingga tidak mampu menepis serangan pisau tersebut? Ini tiga orang lho! Tiga orang!

Sekali lagi, apa peristiwa ini masuk akal? Jika ya, benar adanya, maka –sekali lagi– selemah itukah polisi kita? Boro-boro membela masyarakat, membela dirinya saja tidak bisa? Bagaimana ini?

Serentetan pertanyaan di atas menjadi pertanyaan saya, mungkin Anda juga. Kok bisa ya? Lemah bener polisi kita!

Di sinilah Fairness Doctrine berlaku. Wartawan harus mampu menggali informasi sedetail mungkin, bagaimana proses kejadiannya (pengembangan unsur HOW dalam 5W+1H), agar pembaca, masyarakat, mengerti, memahami, dan peristiwa atau berita tersebut masuk akal.

Unsur HOW dalam berita tersebut, yang menjelaskan proses kejadian, adalah kalimat “Polisi saat itu, langsung melakukan pengejaran. Kendaraan pelaku berhasil dihentikan. Saat akan ditangkap, pelaku malah mengeluarkan sebuah pisau belati. Tak ragu, pelaku langsung menusukan pisau itu. “Tiga anggota terkena tusukan,” ujarnya.

Mestinya, wartawan skeptis, dan menggali lebih dalam dalam lagi, kok bisa? Bagaimana detail kejadiannya? Tiga orang polisi sekaligus ditusuk satu pengendara sepeda motor!

Jika wartawan mampu mengungkapkan detail kejadiannya, maka berita itu menjadi masuk akal dan memenuhi kaidah Fairness Doctrine.

Doktrin Kejujuran juga mengajarkan agar wartawan kritis dan cerdas (smart), tidak nrimo begitu saja pernyataan yang dikemukakan narasumber.

Demikian ulasan tentang prinsip jurnalistik yang menjadi pedoman kerja wartawan. Wasalam. (www.romeltea.com).*

 

Related posts