Posting saya berjudul “Para Dokter Harus Miliki Keterampilan Komunikasi” mendapat respons dari kalangan dunia kedokteran.
Seorang dokter gigi “gaul” sekaligus penyiar dan blogger dari Mojokerto menyebarkan posting itu kepada para koleganya sesama dokter.
Respons “lebih serius” datang dari sebuah lembaga medis di Jakarta. Lembaga itu mengaku tertarik dengan posting tersebut, sekaligus “minta referensi” pakar komunikasi yang bisa menjadi instruktur pelatihan komunikasi untuk para dokternya. “… atau Bapak sendiri barangkali bisa menyampaikan sesi ini?” tanyanya via email.
Hubungan berlanjut via telepon. Saya pun menyusunkan draft materi pelatihan komunikasi efektif dokter-pasien. Soal diterima atau tidak, bukan soal, yang penting dengan memberikan bantuan “alakadarnya” itu saya sudah mendapat berkah tambahan pengetahuan seputar kaitan antara komunikasi dan kedokteran.
Komunikasi Dokter dan Pasien
Ketika menyusun draft proposal itu, saya melakukan “studi literatur” di Google. Hasilnya, ringkasnya, seperti pointer di bawah ini.
1. Komunikasi efektif antara dokter dan pasien merupakan komponen yang sangat penting agar dapat menumbuhkan kepercayaan pasien.
2. Komunikasi efektif dapat mengurangi keraguan pasien, menambah rujukan pasien baru, meningkatkan loyalitas pasien, dan tumbuhnya praktik layanan dokter pribadi.
3. Kurikulum kedokteran berorientasi secara intensif pada teknik, kurang bahkan tidak memerhatikan “faktor sosial”, yakni hubungan personal dengan pasien berupa komunikasi.
4. Komunikasi yang baik mempunyai pengaruh yang bagus terhadap pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Sebaliknya, tidak lancarnya komunikasi dapat menuai banyak masalah, bahkan tak jarang berakhir di ranah hukum.
5. Persoalan utama dalam kasus sengketa medik adalah kurang baiknya hubungan yang terjadi antara dokter dan pasien. Komunikasi merupakan kunci dalam membuka hubungan yang baik dan profesional antara dokter dan pasien.
6. Komunikasi merupakan kunci utama dalam melakukan pengobatan yang baik dan benar. Karena yang kita obati itu manusia, untuk itu yang kita sentuh adalah hatinya (pasien) terlebih dahulu. Maka, disiplin berkomunikasi merupakan modal khusus untuk menyentuh mereka (dr. Yulius Efendi, SpKJ).
7. Komunikasi merupakan faktor yang membentuk image terhadap rumah sakit atau tempat praktik dokter (dr. Hendro Riyanto, SpKJ, MM).
8. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): pelayanan kesehatan oleh dokter atau tenaga kesehatan di Indonesia masih buruk.
Menurut survei tentang pelayanan dokter yang pernah dilakukan oleh YLKI pada 2009, pelayanan yang kurang bagus dari para dokter bukan kualitas secara keilmuan, melainkan kemampuan komunikasi dari para dokter atau tenaga kesehatan yang harus lebih ditingkatkan.
Hampir 80 persen pasien atau koreponden merasa dokter tidak memberi penjelasan yang lebih jelas sehingga informasi yang didapatkan oleh pasien tidak maksimal.
Jika ilmu kedokterannya bagus, tapi tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik, tidak akan berjalan efektif (Republika, 21 Januari 2010).
9. Salah satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan kebiasaan berobat ke luar negeri adalah hubungan dan cara berkomunikasi dokter-pasien di negara kita yang sangat mengecewakan.
10. Data Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta: terdapat 99 kasus pengaduan terhadap profesi dokter dari tahun 1998-2006 (8 tahun).
Hal yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien.
11. WHO: kriteria dokter yang baik adalah “comunicator”, mampu mempromosikan gaya hidup sehat melalui penjelasan dan advokasi efektif.
12. Kasus Prita Mulyasari seharusnya bisa dicegah bila ada komunikasi yang baik antara pasien dan dokter (Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran IDI Cabang Jakarta Barat, Prof dr. Budi Sampurna, SH, SpF, DFM).
Mestinya 11 saja, biar pas seperti tim sepak bola, namun harus 12, yang satunya adalah pelatih atau manajer.
Nah, ke-12 hal itu cukup kuat kiranya untuk mendasari digelarnya pelatihan komunikasi bagi para dokter, bahkan pengadaan dan penambahan mata kuliah ilmu komunikasi bagi para dokter, khususnya komunikasi efektif dan komunikasi interpersonal.
Pak dan Bu Dokter, jangan melulu mendalami teknis kedokteran.
Ingat Pak/Bu Dokter, yang ibu obati itu manusia, punya rasa, punya hati, dan harus “disentuh” dengan komunikasi.
Eh, ada bocoran nih…! Katanya, kadang dokter itu suka “babaledogan” kalo ngasih obat, maksudnya “uji coba” obat karena dia tidak tahu pasti obat yang pas.
Bener ‘gak tuh?
Kalo bener, pasien jadi kelinci percobaan dong! Semoga tidak benar ya. Mari kita komunikasikan dengan dokter atau silakan dokter komunikasikan dengan pasien untuk “tabayun” alias konfirmasi dan klarifikasi. Wasalam. (www.romeltea.com).*