Kang, saya termasuk pembaca setia sebuah situs berita Islam. Saya salut, meski update beritanya masih minim, tapi situs itu jujur dan transparan dalam menyebutkan sumber berita, seperti berita2 yang akang bikin.
Tapi kenapa ya kang, di situs Islam lain, seperti …, …. (censored!) , sumber itu jarang disebutkan secara terus terang, kaya diumpetin gitu kang, di bagian akhir berita. contohnya : (mrd/ansr/), (ln/iol), (sa/tlgrph), dan sebagainya.
Pendapat akang? Nuhun. Jazakillah kang… Abdul Majid Muhlis
Jawaban:
Kok, jazakillah…? Jazakallah kali, saya ‘kan pria, sejati lagi… he he…. Jazakillah buat wanita, jazakallah buat pria, begitu kata ustadz saya, artinya sama: semoga Allah membatas (kebaikan) Anda.
Soal sumber berita, bagi saya wajib banget dicantumkan secara jelas, biar pembaca bisa mengecek langsung. Media Barat tuh sering gak jelas sebutkan sumber, misalnya “sebuah situs Islamis menyatakan….”. Mungkin, takut promosiin tu situs kali ya…
Padahal, kita mah fair saja, misalnya saya kutip berita dari Jerusalem Post, ya sebut saja begitu, tidak “sebuah situs milik orang Israel…”.
Soal inisial di akhir naskah berita seperti [(mrd/ansr/), (ln/iol), (sa/tlgrph)], tanya langsung dong ke admin/redaksi situsnya, kenapa “ngumpetin” sumber gitu? Kayay “takut ketahuan” aja, he he..!
Ajakan saya, yuk ah kita fair dalam menyebutkan sumber berita. Soalnya, kode etik jurnalistik juga memerintahkan begitu, “demi kesetiakawanan profesi”.
Kan kita juga “marah” kalau dijiplak atau dikutip tapi “diumpetin” nama media kitanya. Misalnya, cuma disebut (wrnisl/mel) atau (wi/mel). Kecuali, disebutkan jelas di tubuh berita. Misalnya, “… seperti dikutip warnaislam.com”, baru di bagian akhir ditulis (wi).
Penyebutan sumber berita juga berkaitan dengan konsekuensi hukum, jika ada penuntutan dari objek berita, misalnya pencemaran nama baik atau koreksi/hak jawab.
Jadi, kalau berita itu salah, ‘kan kita tinggal bilang, kami ngutip dari situs ini kok…! Meskipun, biasanya yang ngutip juga suka dituntut juga karena turut menyebarluaskan berita salah itu.
Kuy ah! Kita jujur dan transparan. Semoga ke depan, situs-situs berita mana pun gak mesti ngutip atau nerjemahin berita dari luar, tapi punya koresponden sendiri di mancenagara.
Kita juga kudu hati-hati nerjemahin atau nyadur berita. Selain harus pas, logis, paham kasusnya, syukur-syukur kuasai “background information”-nya, kita juga mewaspadai “hidden agenda” sebuah berita dan istilah-istilah yang digunakan, terutama berita-berita dari situs atau media Barat.
Hati-hati, jangan sampai ikut-ikutan nyebarkan “virus” propaganda anti-Islam. Misalnya, hati-hati menggunakan istilah “teroris”, “radikal”, “Islamis”, “jihadis”, “moderat”, “garis keras”, dll. Media kita juga suka seenaknya aja tuh, bikin istilah “keluarga teroris”, misalnya… “keluarga teroris dibawa oleh polisi….”.
Pokoknya, jangan sampai berita yang kita tulis merusak citra Islam dan kaum Muslimin deh. Ingat lho, sekarang era perang pencitraan. Semoga saya juga mampu berhati-hati dalam menulis berita/artikel. Amin…! Wasalam. (www.romeltea.com).