“Sstt…Facebook Islami Tak Hanya ‘Jualan’ Sarana Pertemanan Saja Lho”, “Alhamdulillah, Komunitas Muslim British Columbia Bangun Masjid Pertama”, “Gawat… Wilders Siapkan Buku tentang Islam”.
Judul-judul berita di atas bisa ditemukan di situs republika.co.id. Saya menyebutnya “judul berita centil” atau “genit” –untuk tidak mengatakan “lebay”.
Secara jurnalistik, judul-judul tersebut bisa dikatakan mengandung opini atau “mencampuradukkan fakta dan opini”. Kata-kata “Sttt… lho”, “Alhamdulillah”, dan “Gawat…” menggambarkan opini wartawan.
Boleh?
Menurut kode etik jurnalistik sih tidak boleh. Mestinya “datar” saja, seperti “Facebook Islami Tak Hanya ‘Jualan’ Sarana Pertemanan”, “Komunitas Muslim British Columbia Bangun Masjid Pertama”, dan “Wilders Siapkan Buku tentang Islam”. Lebih “netral” ‘kan?
Namun, kini era media sosial. Praktik jurnalistik pun terpengaruh. Wartawan akhirnya menulis judul berita gaya status update media sosial seperti contoh-cotoh judul di atas.
“Media sosial mempengaruhi bahasa resmi,” tulis Akademi BBC. Bahasa informal, percakapan, atau slang, sering muncul di situs berita atau media resmi karena pengaruh percakapan media sosial.
BBC mengambil contoh penggunaan kata “kalo” (kalau) dalam judul berita: “Saya ambil cuti kalo nyalon pilgub.”
BBC memberi catatan, bila kebiasaan memakai kata semisal kalo dan nyalon diteruskan atau bahkan menjadi kebiasaan, pembaca bisa menganggap media tidak serius atau penulis berita tidak memahami kaidah bahasa. Nah lho!
Trends pembuatan judul berita menggunakan kata penunjuk “ini” atau “ini dia” dan kata seru “wow” atau “asyik” merupakan dampak media sosial.
Dampaknya, kini media online berlomba-lomba merebut perhatian pembaca. Gaya bahasa iklan pun menjadi pilihan sejumlah media dalam menulis judul berita. Maka, mewabahlah jurnalisme umpan klik.
Baca: Judul Umpan Klik (Click Bait)
Wasalam. (www.romeltea.com).*