MASA depan mahasiswa jurnalistik itu cerah. Kalau dikatakan tidak cerah, di samping mungkin saya berdosa karena mempengaruhi Anda (mahasiswa jurnalistik) untuk bersikap pesimistis, mungkin juga akan banyak mahasiswa jurnalistik yang “mengundurkan diri” dan pindah jurusan.
Di Jurusan Jurnalistik UIN Bandung ini, Anda dibina dan membina diri untuk menjadi seorang ahli komunikasi, khususnya menjadi seorang jurnalis (wartawan) andal.
Dunia pers sekarang ini, lagi marak dengan bermunculannya media-media baru, seiring terbukanya kran “kemerdekaan pers” yang dijamin UU No. 40/1999.
Itu berarti, era informasi kian terasa. Dewasa ini, informasi merupakan “komiditi primer” yang dibutuhkan orang, seiring dengan makin canggihnya teknologi komunikasi, sehingga lazim dikatakan bahwa peradaban pada masa ini merupakan “peradaban masyarakat informasi”.
Bahkan, informasi bukan hanya kebutuhan, melainkan juga dapat menjadi “sumber kekuasaan baru” (the new source of power).
Teknologi informasi dapat menjadi alat terpenting untuk manipulasi dan alat kendali pemikiran dan perilaku publik.
Teori Agenda Setting menegaskan: “Apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat”.
Itulah sebabnya, wartawan atau media dijuluki sebagai “kekuatan keempat” (the fourth estate) karena peran dan pengaruhnya –membentuk “opini publik” (public opinion) yang mempengaruhi sikap dan perilaku massa, lalu terbentuknya “agenda publik” (public agenda), “agenda politik” (political agenda), dan “kebijakan public” (public policy).
Menjadi pendapat umum, siapa yang menguasai informasi dialah penguasa masa depan. Sumber kekuatan baru masyarakat bukanlah uang di tangan segelintir orang, melainkan informasi di tangan banyak orang (The new source of power is not money in the hand of a few, but information in the hand of many).
Kalaupun nanti Anda tidak bekerja di bidang pers, didikan selama di Jurusan Jurnalistik UIN Bandung akan cukup untuk mengantarkan Anda menjadi penulis, komunikator yang baik, atau “komunikator profesional”.
Syaratnya, Anda serius dan khyusu’ dalam perkuliahan. Apalagi banyak instansi, swasta maupun pemerintah, memiliki media komunikasi internal, semacam jurnal, buletin, majalah (inhouse magazine, company magazine), dan media online (corporate website).
Di sanalah Anda dapat unjuk kemampuan sebagai ahli komunikasi. Dunia pers adalah lapangan kerja yang selalu terbuka menerima karyawan baru.
Kemampuan menulis sekarang ini menjadi sesuatu yang dikejar. Dengan memiliki kemampuan menulis, seseorang bukan saja dapat mendapatkan penghasilan (honor), sebagai penghasilan sampingan atau bahkan utama (berprofesi sebagai penulis), melainkan juga dapat aktif sebagai “propagandis”, pembentuk opini umum lewat tulisan-tulisannya, melakukan da’wah bil qalam, menyebarluaskan ilmu atau pemikirannya, dan tentunya turut mewarnai muatan informasi media massa.
Visi Baru Mahasiswa
Kembali ke pernyataan awal, ahli komunikasi itu masa depannya cerah. Namun harus diingat, kecerahan masa depan itu tetap saja tergantung pada bagaimana Anda, di Jurusan Jurnalistik UIN Bandung ini, mempersiapan masa depan itu.
Karena itu, di sini saya akan mengajak Anda menentukan visi baru mahasiswa secara umum, kemudian visi mahasiswa komunikasi secara khusus. Itu semua demi mengajak Anda mendesain masa depan yang cerah tadi.
Mahasiswa kini tentu berbeda dengan yang dulu. Tantangan dan relitas sosial-politik masa kini juga berbeda dengan yang dulu.
Untuk itu, mahasiswa kini perlu memformat visi baru, sekaligus melepaskan diri dari belenggu “warisan” angkatan-angkatan mahasiswa tempo dulu (‘28. ‘45, ‘66).
Namun, semangat juang demi kebenaran dan keadilan, dinamisme, aktivisme, kritisisme, dan kreativisme mereka patut tetap ditanamkan dalam jiwa mahasiswa sekarang.
Sebagai alternatif, di sini bisa didiskusikan format atau “paradigma profesionalisme” sebagai cara menyalurkan dinamisme, aktivisme, dan idealisme mahasiswa.
Paradigma ini berarti “desain aktivitas atas dasar bidang kajian yang digeluti”. Selanjutnya, akumulasi aktivitas tidaklah selalu dilihat dalam format angkatan.
Ia bisa menyebar, independen, atau terikat secara struktural.
Dengan demikian, yang terlihat bukanlah selalu kumpulan mahasiswa, melainkan individu mahasiswa yang lebur sebagai unsur masyarakat di mana ia bisa terlibat di dalamnya. Kekuatannya adalah ilmu atau keterampilan yang dimiliki mahasiswa yang ia dapat di bangku kuliah.
Dengan kemampuan analisis dan keterampilannya, ia dapat terlibat dalam pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat.
Ia berusaha terlibat mengubah tatanan masyarakat yang dirasakan kurang ideal, mulai dari pola berpikir hingga tataran operasional kerja-kreatif karikatif. Sebagai contoh atas pelaksanaan visi tersebut, kini banyak mahasiswa yang aktif di LSM dan forum-forum kajian, beraktivitas dalam pemberdayaan masyarakat lemah atau dalam “proses penyadaran” masyarakat. Meskipun tidak sedikit pula mahasiswa yang sudah “pragmatis-hedonis”.
Visi Mahasiswa Komunikasi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, sebagaimana mahasiswa bidang ilmu lainnya, dituntut mampu dalam dua hal.
Pertama, mendalami ilmu yang dikajinya.
Kedua, menjalankan fungsi sebagai “kekuatan moral” (moral force) dan “agen perubahan sosial” (agent of social change).
Untuk yang pertama, mahasiswa jurnalistik dituntut a.l. memiliki kemampuan atau keterampilan (skills) reportase dan menulis berita, feature, dan artikel.
Ia juga dituntut mampu mengelola dan mengembangkan usaha penerbitan pers. Manfaatkan media kampus (student paper) sebagai ajang penajaman skills jurnalistik.
Jika perlu, atau tidak ada fasilitas praktek di jurusan Anda, bentuk saja kelompok dan buatlah “media komunitas”, seperti buletin, mading, atau blog.
Bersamaan dengan itu, ia dapat memenuhi tuntutan yang kedua, yakni berjuang demi kepentingan masyarakat dan mengekspresikan gagasan serta kepedulian sosialnya. Artinya, ia dapat berjuang demi kepentingan kaum tertindas dan menentang status qou melalui jalur media massa (ghazwu al-fikr).
Dengan demikian, sebagai pelaksanaan visi baru berupa “paradigma profesionalisme” di atas, mahasiswa jurnalistik dapat berjuang di bidang “proses penyadaran dan pencerahan pemikiran” kepada masyarakat banyak, sekaligus menyampaikan aspirasi masyarakat dan menyalurkan idealismenya. Ia pun dapat menjadi “humas” atau “seksi publikasi” pergerakan mahasiswa dengan kemampuan khusus –yakni ilmu jurnalistik– yang didapatnya di bangku kuliah.
Karier Jurnalistik
Secara das solen, mahasiswa jurnalistik dididik atau dikader untuk menjadi jurnalis, bekerja di dunia pemberitaan (pers).
“Bekerja dalam dunia pemberitaan sudah harus dianggap sebagai cara hidup (way of life), dan bukan sebagai karier saja,” kata John Tebbel, Profesor Jurnalistik di Universitas New York, AS, dalam bukunya, Opportunities in Journalism Carreers.
Pekerjaan ini, masih kata Tebbel, tidak hanya membutuhkan komitmen, tapi juga kemauan dan tekad untuk menjadi orang tertentu, yakni seseorang yang bisa menjadi “pengamat terlatih” terhadap ragam peristiwa.
Tebbel lalu menyebutkan “karakteristik orang-orang suratkabar”, seperti memiliki rasa ingin tahu yang konsumtif tentang dunia dan segala hal di dalamnya.
“Orang yang sama sekali tidak tertarik pada hal-hal dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya, sebaiknya jangan menekuni bidang ini,” katanya.
Hal senada dikemukakan Coleman Hartwell dalam Do You Belong In Journalism?:
“Seseorang yang tidak mengetahui cara untuk mengatasi masalah dan tidak mempunyai keinginan untuk bekerja dengan orang lain, tidak sepantasnya menjadi wartawan. Hanya mereka yang merasa bahwa hidup ini menarik dan mereka yang ingin membantu memajukan kota dan dunia yang patut terjun di bidang jurnalistik”.
Jam kerja wartawan 24 jam sehari. Ia bekerja sepanjang waktu dan kadang-kadang bekerja di tempat bahaya atau terancam bahaya.
Merekalah yang memburu berita (fakta atau kejadian), meliput berbagai peristiwa, dan menuliskannya untuk dikonsumsi orang banyak.
“Di mana terjadi suatu peristiwa, wartawan akan berada di sana,” kata M.L. Stein dalam Bagaimana Menjadi Wartawan (1993), “seperti mata dan telinga para pembaca suatu harian.”
Wartawan adalah suatu profesi yang penuh tanggungjawab dan risiko. Karenanya, ia harus memiliki idealisme dan ketangguhan.
Wartawan bukanlah dunia bagi orang yang ingin bekerja dari jam sembilan pagi hingga lima sore setiap hari dan libur pada hari Minggu. Tidak ada seorang pun tahu kapan kebakaran atau bencana lain akan terjadi.
Karena itu pula, untuk menjadi wartawan, seseorang harus siap mental dan fisik.
Wartawan juga adalah seorang profesional, seperti halnya dokter atau pengacara. Ia memiliki keahlian tersendiri yang tidak dimiliki profesi lain (memburu, mengolah, dan menulis berita). Ia juga punya tanggung jawab dan kode etik tertentu –kode etik jurnalistik. (www.romeltea.com).
Materi Ceramah pada Acara Masa Orientasi Mahasiswa Baru Komunikasi Jurnalistik UIN SGD Bandung, Jumat, 30 November 2007. Bahan kajian lebih mendalam: ASM. Romli, Jurnalistik Terapan: Panduan Kewartawanan dan Kepenulisan (Baticpress, 2001); ASM. Romli, Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam (Rosdakarya, 2003): M.L. Stein, Bagaimana Menjadi Wartawan (Rineka Cipta, 1993); John Tebbel, Karier Jurnalistik (Dahara Prize, 2003).