“Pembaca cenderung membaca apa yang memang ingin dibacanya, bukan apa yang seharusnya dibaca.” (William L. Rivers dkk. dalam Media Massa dan Masyarakat Modern [2003:12]).
HAMPIR setiap hari saya membaca koran. Halaman pertama yang saya baca adalah rubrik olahraga, yakni berita sepak bola Liga Inggris dan Liga Italia.
Saya penggemar MU dan AC Milan. Liverpool dan AS Roma berada di peringkat kedua. Jangan tanya mengapa saya menjadi fans keempat tim itu karena saya sendiri masih mencari tahu alasannya (?).
Setelah rubrik itu, baru saya membuka halaman depan, headline, lalu berita-berita politik dan berita lokal Bandung. Rubrik lain saya baca setelahnya. Untuk rubrik “berat”, seperti opini, biasanya saya baca malam hari, sambil tiduran, bersaing dengan mendengarkan radio dan menonton televisi.
Untuk acara televisi, saya suka berita, film (bukan sinetron), dan acara komedi. Untuk acara radio, saya suka mendengarkan program musik, khususnya mixing lagu, tanpa suara penyiar dan minim iklan. Saya kurang suka acara radio yang penyiarnya “banyak omong”. Makanya, saat saya sendiri siaran, saya memilih “minim bicara banyak lagu”, talk less music more.
Itulah perilaku saya sebagai konsumen media, khalayak, publik, atau audiens.
Bagaimana dengan Anda?
Saya yakin, umumnya perilaku kita sama sebagai konsumen media: kita cenderung membaca, mendengar, dan menonton apa yang memang ingin kita baca, dengar, dan tonton, bukan apa yang seharusnya kita baca, dengar, dan tonton –seperti kata William L. Rivers dkk yang saya kutip di awal tulisan ini.
Dengan pola perilaku konsumen media yang umumnya demikian, maka salah satu tantangan pengelola media –programmer, produser, atau redaktur—adalah “menerka” keinginan dan kebutuhan publik: apa yang mereka inginkan dan butuhkan; apa yang menarik bagi mereka? (www.romeltea.com).*