Menimbang Jurnalisme Militan – Pers Bawah Tanah (Underground Press)
WARTAWAN selalu punya “informasi rahasia” (off the record) yang tidak dipublikasikan di medianya.
Wartawan selalu punya informasi penting, namun sering tidak bisa ditulis di medianya, baik karena faktor off the record tadi maupun (utamanya) karena kebijakan redaksi medianya (editorial policy).
Jadilah si wartawan “ngebatin” karena menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri dan “kalangan terbatas”.
Di pihak lain, pembaca selalu ingin “tahu lebih” tentang sebuah isu aktual.
Mereka cenderung “tidak puas” hanya mengetahui sebuah informasi dari yang disajikan media, apalagi jika mereka tahu media tersebut dimiliki kelompok kepentingan politik tertentu.
Bagaimana menyiasatinya? Tak lain, sang wartawan bisa membuat blog, personal blog, dan menumpahkan semua informasi yang ia miliki di sana, tentu dengan tetap mempertimbangkan etika dan “dampak”.
Demikian pula, pembaca bisa membuat “komunitas blogger” atau bahkan menerbitkan media alternatif dan mengembangkan jurnalisme warga (citizen journalism).
Jurnalisme Militan: Pers Bawah Tanah
Jika bermunculan blog atau media semacam itu, sebagai alternatif dari media yang ada, jadilah ia Jurnalisme Militan, yaitu “pers bawah tanah” (underground press) sebagai opsi untuk mempublikasikan berita atau gagasan yang tidak dipublikasikan media konvensional.
Istilah “jurnalisme militan” dan “pers bawah tanah” dikemukakan William L. Rivers dkk. dalam buku Media Massa & Masyarakat Modern (Prenada Media, 2003:10). Rivers dkk menilai jurnalisme militan sebagai tantangan bagi dunia jurnalisme konvensional.
Jurnalisme militan muncul di Amerika di akhir 1960-an berupa media-media garis garis keras yang memperjuangkan ideologi tertentu.
Jurnalisme militan muncul karena ada yang tidak dapat dipenuhi oleh jurnalisme konvensional.
“Koran bawah tanah ini menampung berbagai gagasan atau pandangan yang tak termuat di koran biasa,” kata Rivers.
“Jadi paling tidak, koran jenis ini menawarkan perspektif baru”.
Jurnalisme militan “alternative to other media”, apalagi media-media mainstream sekarang banyak dimiliki oleh kalangan yang punya ikatan dengan kekuatan politik tertentu.
Baca: Sejarah dan Geografi Underground Press
Media yang dimiliki oleh kalangan yang “tidak independen” akan bias dalam pemberitaan, setidaknya ia akan “menyembunyikan” fakta atau informasi yang merugikan citra kekuatan politik tersebut. Wasalam. (www.romeltea.com).*