Dalam berbagai kesempatan pelatihan jurnalistik, saya hampir selalu mengingatkan peserta agar menaati kode etik jurnalistik.
Salah satu kode etik wartawan itu adalah “tidak boleh mencampurkan fakta dan opini”.
Tegasnya, wartawa tidak boleh memasukkan opininya dalam menulis berita. Kalau mau beropini, ya… tulis saja artikel.
Yang sering “melanggar” kode etik tersebut biasanya wartawan olahraga, khususnya sepak bola.
Dalam menulis berita, mereka sering menulis berita, misalnya, “Tim A Permalukan Tim B” atau “Tim B Dipermalukan Tim A”.
Kata “mempermalukan” (artinya: membuat seseorang jadi merasa malu) atau “Dipermalukan” (dibuat merasa malu) jelas opini atau paling tidak interpretasi wartawan. Ia yakin, dengan kalah dalam suatu pertandingan, sebuah tim merasa malu atau dipermalukan. Pihak yang menang mempermalukan pihak yang kalah.
Saya sebut penulisan kata “mempermalukan” atau “dipermalukan” sebagai opini wartawan karena biasanya tidak ada narasumber yang mengatakan “saya merasa malu” atau “saya merasa dipermalukan”.
Wartawan hanya menduga –dan dugaan ini sebenarnya sangat berdasar alias kuat— pihak yang kalah pastinya merasa malu. Namun, ternyata tidak selalu demikian! Ada kok pecundang yang merasa tidak dipermalukan.
Contoh teraktual dalam kasus itu adalah kemenangan tim sepak bola Barcelona (Barca) atas Real Madrid dalam pertandingan sepak bola Liga Spanyol. Barca menang 5-0. Madrid kalah. Wartawan pun “beramai-ramai” menulis berita, seperti, “Barca mempermalukan musuh abadinya itu (Madrid) dengan skor mutlak 5-0 di Nou Camp” atau judul “Fantastis, Barca Permalukan Madrid” (Liputan6.com).
Jelas, kata “fantastis” dan “permalukan” adalah opini/interpretasi wartawan. Dapat dibayangkan, betapa sakit hatinya pihak Madrid dan pendukungnya membaca berita tersebut dan betapa senangnya pendukung Barca membaca berita tersebut.
Bukti bahwa kata “dipermalukan” adalah opini wartawan adalah pernyataan pelatih Madrid, Jose Maurinho. Diberitakan Liputan6, “Mourinho Tak Terima dengan Kata ‘Dipermalukan’. Ini kutipannya:
“Satu tim bermain sangat bagus (Barcelona), satu lagi sangat buruk. Satu pantas menang, satunya lagi pantas kalah,” papar Mourinho bisa menerima kekalahan tersebut. Tetapi, “Dipermalukan Tidak. Sederhana saja dalam menerima kekalahan ini, kami hanya bermain tidak bagus.”
Nah, jelas ‘kan, “permalukan” bukan fakta, tapi opini. Buktinya, Maurinho menolak dikatakan “dipermalukan” dan tidak ada pernyataan narasumber (pihak Madrid) yang mengaku “merasa malu atau dipermalukan”.
Opini dalam Berita Olahraga Boleh
Namun demikian, memasukkan opini dalam penulisan berita dibolehkan di dua jenis berita, yakni berita olahraga dan berita hiburan, asalkan tetap mengacu pada fakta.
“Dalam penyajian berita olahraga, ada sedikit perbedaan yang bisa ditampilkan oleh wartawan, yakni dalam segi opini. Wartawan olahraga boleh memasukkan opininya ke dalam berita dengan catatan tidak men-judge dan bersifat hanya memburukkan objek berita,” kata Ketua Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI) Pusat, Raja Parlindungan Pane, dalam sebuah acara di Pekanbaru.
“Penyajian opini ini adalah unsur lain dalam menyajikan berita olahraga yang menarik, selain kedemokratisan (tidak memihak, red) berita, transparansi, dan fakta berita adalah unsur-unsur penting.”
”Pers adalah penyampai informasi yang sekaligus memiliki fungsi mendidik, menghibur, dan sebagai kontrol sosial di masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan berita lainnya, berita olahraga bisa memuat opini wartawan, asal tidak menjudge sang atlet,” tutur Raja Pane seperti diberitakan Hallo Raiu.
Terpaksa
Contoh lain “pelanggaran” kode etik berupa pencampuran fakta dan opini adalah berita tentang kerusuhan aksi demonstrasi.
Jika polisi menembakkan gas air mata atau membubarkan demonstran, wartawan bisanya menulis: “polisi terpaksa menembakkan gas air mata”.
Siapa yang mengatakan “terpaksa”? Jelas, itu opini/interpretasi wartawan jika tidak ada pernyataan pihak polisi yang mengatakan “kami terpaksa…”. Bisa jadi, polisi malah “merasa ikhlas”, menunggu-ngungu momentum, atau “merasa senang” menembakkan gas air mata!
Hemat saya, secara “teori”, penggunaan kata “permalukan” dan “terpaksa” dalam sebuah berita, jika bukan kutipan pernyataan narasumber, jelas itu opini wartawan.
Namun, pelanggaran ini “agak bisa dimaafkan” karena penggunaan kata itu lebih merupakan interpretasi ketimbang opini.
Interpretasi adalah pendapat berdasarkan fakta. Opini adalah pendapat berdasarkan penilaian subjektif, bahkan bisa jadi merupakan fitnah atau tanpa dasar.
Namun, sebaiknya memang wartawan menahan diri untuk tidak larut dalam peristiwa saat menulis berita. Pertahankan objektivitas. Toh, inti berita adalah informasi.
Jadi, saya pikir, cukup dengan berita, misalnya, “Barca Kalahkan Madrid 5-0” atau “Polisi Tembakkan Gas Air Mata”. Memang sih, “unsur sensasinya” tidak ada, tapi bagaimana jika pendukung Madrid “ngamuk” gara-gara kata “permalukan”? Itulah pentingnya kode etik.
Demikian ulasan ringkas dan contoh tentang opini dalam penulisan berita jurnalistik. Wasalam. (www.romeltea.com).*