Semua media massa hakikatnya melakukan kebohongan, setidaknya karena satu hal: membesar-besarkan, mendramatisasi, mengecilkan fakta, atau menyisihkan fakta-fakta tertentu. Kebohongan demikian merupakan sebuah risiko, sekaligus “bisa dimaafkan” (forgivable), karena masih dalam konteks jurnalisme.
“Kelompok militan Hamas menyerang Israel…”; “Kaum militan Islam di Selatan Thailand melakukan serangan ke pos keamanan…”; “Kelompok teroris Al-Qaidah terus diburu…”; “Keluarga teroris datangi Polri…”; “Kelompok radikal Islam melakukan protes”; “Ulama garis keras memprotes tayangan televisi”; “Kaum separatis Filipina Selatan”; “Kelompok pemberontak Chechnya menyerang pasukan Rusia…”
Kalimat seperti di atas belakangan sangat akrab di telinga dan mata kita. Jika tidak memiliki background information atau pengetahuan yang memadai sebelumnya, kita akan “terjebak” pada propaganda media (berita propagandistik) semacam itu. Mayoritas pembaca menjadi korban manipulasi informasi dan kalimat-kalimat tendensius seperti itu.
Kata-kata yang digarisbawahi di alinea kedua bukan fakta, melainkan opini atau interpretasi, kecuali kata-kata itu adalah kutipan pembicaraan atau pernyataan narasumber. Jika kata-kata itu disusun oleh wartawan sendiri, berarti ia sudah memasukkan opini dalam berita.
Wartawan yang taat pada kode etik –khususnya mengenai “pencapuradukan fakta dan opini”—tidak akan menulis kalimat seperi di atas, yakni tidak mencantumkan kata-kata yang digarisbawahi! Membuangnya atau menggantinya dengan kata-kata yang “netral”.
Parahnya, opininya itu merupakan penjulukan (labelling) yang akan berpengaruh pada citra pihak yang dilabelinya. Apakah Hamas menamakan dirinya militan? Apakah para pejuang kemerdekaan di Selatan Thailand menyebut dirinya militan Islam? Apakah Al-Qaidah menamakan dirinya teroris? Apakah ulama yang diberitakan itu menyebut dirinya ulama garis keras?
Jika tidak –dan memang tidak— maka julukan itu adalah opini wartawan dan ini sebuah kebohongan! Wartawan yang jujur cukup menyebut Hamas, ulama, sekelompok orang, atau gerilyawan, tanpa embel-embel apa pun. Bukankah cukup dengan menulis: “Kelompok Hamas menyerang Israel?” Kenapa harus diembel-embeli kata “militan”?
Kasus tadi sekadar contoh, betapa sulit menemukan kejujuran dalam pemberitaan media massa. Apalagi kini masanya “perang informasi”, era propaganda, dan media menjadi bagian dari alat perjuangan politik, termasuk dalam hal “pembunuhan karakter” (character assasination), “pembanguan citra” (image building), “invasi pemikiran” (ghozwul fikr), dan justifikasi tindakan kepada publik.
Semua Media ‘Berbohong’
Semua media massa hakikatnya melakukan kebohongan, setidaknya karena satu hal: membesar-besarkan, mendramatisasi, mengecilkan fakta, atau menyisihkan fakta-fakta tertentu.
Kebohongan demikian merupakan sebuah risiko, sekaligus “bisa dimaafkan” (forgivable), karena masih dalam konteks jurnalisme. Dunia pemberitaan media massa memiliki rumusan tersendiri: berita adalah rekonstruksi peristiwa melalui simbol, kata-kata dan/atau gambar.
Dengan keterbatasan ruang (kolom) dan waktu (durasi), banyak fakta harus tersisihkan setidaknya berdasarkan “teori” piramida terbalik –sangat penting, penting, kurang penting, tidak penting.
Itulah sebabnya, The press and the media do not reflect reality, they filter and shape it! Apa yang disajikan media adalah “relaitas kedua” (second reality) atau “realitas semu” (pseudo reality) yang sudah ditambah, dikurang, atau “dibumbui” dengan permainan kata-kata atau sensasi tertentu agar menarik perhatian publik.
Yang tidak bisa dimaafkan adalah jika kebohongan itu disengaja, misalnya dengan memanipulasi fakta, memutarbalikkan fakta, mendistorsi kebenaran, melanggar prinsip fairness doctrine, atau melanggar kode etik jurnalistik, misalnya asas praduga tak bersalah, berimbang (balance), check and recheck (tabayun, konfirmasi, klarifikasi, verifikasi data), dan mencampurkan fakta dan opini (wartawan) dalam berita.
Selain itu, wartawan tidak mungkin tidak subjektif dalam menulis berita. Persepsi wartawan tentang suatu peristiwa, baik dari sisi nilai berita (news value) maupun perspektif ideologisnya, sangat berpengaruh pada pilihan angle (sudut pandang) peristiwa yang ia tulis.
Dari segi teknis, subjektifitas juga terjadi, ketika wartawan menentukan peristiwa yang harus diliput dan fakta yang harus dipilih dan dipilahnya dalam penulisan berita. Oleh karena itu, jangan berharap ada objektivitas murni dalam sebuah berita media massa. Objektivitas di media massa adalah “objektivitas yang subjektif”.
Agenda-Media Setting
Setiap media massa memiliki agendanya sendiri, sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Visi-misi media massa adalah “company philoshopy” yang menjadi “basic values” yang harus ditaati para wartawan dalam menulis berita. “Nilai-nilai dasar” baik yang sifatnya ideologis, politis, maupun ekonomis, menjadi acuan dalam penyusunan “editorial policy” sebuah media massa.
Editorial Policy adalah kriteria layak-tidaknya sebuah berita dipublikasikan yang dalam dunia komunikasi massa disebut gatekeeping, yakni “a series of check point” yang dijaga oleh para gatekeeper (para redaktur rubrik).
Sebuah berita harus melalui ”gate” tersebut sebelum sampai ke publik. Artinya, lolos-tidaknya sebuah peristiwa diberitakan (menjadi berita) bergantung pada hasil pengecekan tersebut, belum lagi ditambah “selera” redaktur yang subjektif.
Secara teroritis, setiap media memiliki “agenda-media” yang disetting sejak awal. Agenda dan gatekeeping itulah yang “mengendalikan akses kita terhadap berita, informasi, dan hiburan” (Wilson).
Dalam perspektif teori komunikasi (massa) dikenal dengan “agenda-media setting theory” (Maxwell McCombs and Donald L. Shaw [1973]):
“The Agenda-Setting Theory says the media (mainly the news media) aren’t always successful at telling us what to think, but they are quite successful at telling us what to think about”.
Agenda Setting juga didefinisikan sebagai proses di mana media massa menentukan apa yang kita pikirkan dan cemaskan (the process whereby the mass media determine what we think and worry about). Walter Lippmann (1922) menegaskannya: the media dominates over the creation of pictures in our head; the public reacts not to actual events but to the pictures in our head.
Secara praktis, Agenda-Setting menentukan apa yang harus diberitakan sehingga menjadi “agenda publik” (public agendas), yakni isu utama yang menjadi bahan pembicaraan; diharapkan agenda publik nantinya menjadi “agenda kebijakan” (policy agenda) atau mempengaruhi “agenda politik” (political agenda) para pembuat kebijakan, yang pada akhirnya menentukan kebijakan publik (public policy).
Sebagai contoh, disinyalir, gencarnya pemberitaan hasil survei yang menunjukkan “partai politik Islam tidak akan laku dalam Pemilu 2014” karena media massa punya agenda: pengerdilan Parpol Islam!
The Media agenda is the set of issues addressed by media sources and the public agenda is the issues the public consider important (Miller, 2005).
Demikianlah, semua pemberitaan media melalui proses tertentu yang “dibingkai” (framing) berdasaran agenda-media, sehingga menimbulkan pengaruh dan interpretasi tertentu dan menciptakan “opini publik” (public opinion). Opini publik itulah yang mengendalikan pemikiran dan sikap masyarakat terhadap isu tertentu.
Maka, sadarlah, kita sudah dibohongi media massa, minimal oleh kebohongan yang “forgivable”! Karenanya, jangan terlalu percaya atau sepenunya yakin pada pemberitaan media, minimal jadilah “pembaca kritis”.
Lebih jelas tentang kebohongan media, jadilah penulis, wartawan, pengelola media massa, atau setidaknya “think like a journalist“. Idealnya, berpihaklah pada kebenaran dan publik.
Dalam kamus media massa, parameter utama kebenaran adalah faktual –sesuai dengan fakta atau kenyataan—dan “doktrin kejujuran” (fairness doctrine). Maka, junjunglah kebenaran dan kejujuran itu, minimal dengan tidak memelintir fakta. “Fact is sacre!” menjadi pedoman baku para jurnalis profesional. Wasalam. (www.romeltea.com).*
Copyrights © ASM. Romli . www.romeltea.com. Referensi: Asep Syamsul M. Romli. Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan & Kepenulisan, Batic Press, Bandung, 2003; “Agenda Setting Theory”, www.wikipedia.org; McCombs, M.E. (1982), “The Agenda-Setting Approach” In Nimmo, D. & Sanders, K. (Eds.), Handbook of Political Communication. Beverly Hills, CA.: Sage.