Oleh Olivia Berliana Apriliani
Perkembangan informasi tak dapat dibendung. Era digitalisasi mendorong setiap manusia untuk menciptakan berbagai lapak yang dapat menguntungkan pribadi dan lingkungan sekitarnya. Mulai dari berniaga, membuka platform pendidikan, hingga menjadi content creator.
Kini peluang terbuka bagi siapa pun yang ingin berkembang dan menyongsong karier. Tinggal bagaimana cara kita hidup dan menghadapi segala bentuk tantangan di era digital yang tidak dapat dibilang mudah.
Ketelitian akan setiap informasi yang beredar menjadi salah satu dari sekian banyaknya upaya yang harus dilakukan demi kesehatan informasi yang kita konsumsi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi valid di tengah tsunami informasi adalah dengan meraup informasi yang berasal dari media mainstream.
Media mainstream adalah media yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers. Segala bentuk proses pengelolaan informasi oleh media mainstream, umumnya telah disesuaikan dengan prosedur dan tata kelola yang tertuang dalam Undang Undang Pers.
Dewasa ini, kemampuan menganalisis dan sikip kritis terhadap sebuah informasi memang harus diperketat. Tidak hanya akibat post truth yang merajalela, namun juga akibat sisi gelap jurnalistik yang semakin pelik.
Post truth ialah salah satu ancaman sekaligus tantangan yang cukup besar di era digital ini. Dilansir dari laman Kementrian Keuangan Republik Indonesia, post truth didefinisikan sebagai sebuah situasi kebohongan merajalela dan meluap sebagai kebenaran.
Post truth diciptakan dengan cara menyenggol emosi atau perasaan dari target publiknya. Informasi yang beredar di era ini cenderung lalai dan bahkan abai terhadap data dan fakta yang valid.
Singkatnya, informasi dalam era post truth tidak memiliki sumber informasi yang dapat dipercaya. Hal ini bisa kita saksikan pada saat pemilihan presiden tahun 2019. Fenomena tersebut berhasil menjadi salah satu bukti masif dari perkembangan era post truth di tanah air.
Semua orang memiliki peluang untuk membuat sekaligus menyebarkan berita bohong. Kita tau bahwa di era ini, siapa pun tanpa terkecuali bisa saja melakukan perbuatan yang tidak pantas terlebih dalam hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyampaian informasi.
Bahkan, wartawan atau jurnalis yang biasa dinilai sebagai sesosok orang berpengalaman dan terpercaya, loyal terhadap tanggung jawab serta instansinya, menomorsatukan kepentingan masyarakat, jujur, dan berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik, nyatanya tidak seindah yang diagungkan.
Masih banyak “oknum” wartawan yang membual belaka di balik topengnya sebagai wartawan. Sebagian wartawan cenderung sangat idealis atas keuntungan pribadi, dibandingkan dengan tanggung jawab penuhnya untuk memberikan informasi yang hangat nan sehat kepada masyarakat.
Wartawan Amplop
Menyinggung beberapa kasus yang menunjukkan sisi gelap jurnalistik, acap kali kita dengar sebutan wartawan amplop dan wartawan bodrex. Hal ini diperkeruh dengan hadirnya wartawan gadungan, wartawan tanpa surat kabar, wartawan pemeras, dan sebagainya yang berujung pada buruknya citra wartawan di Indonesia.
“Budaya amplop” yang umumnya kita artikan sebagai pemberian upah kepada wartawan, baik itu dalam bentuk uang maupun barang, menciptakan banyaknya fenomena wartawan bodrex yang datang bergerombol dan melakukan pemerasan terhadap sumber informasi atau pihak yang bersangkutan, dalam sebuah kegiatan atau instansi tertentu.
Salah satu kasusnya terjadi pada 25 Februari 2022. Sekelompok wartawan gadungan diamankan polisi karena melakukan pemerasan kepada pemilik toko jejaring di Bantul.
Mirisnya, sekelompok wartawan ini diduga merupakan keluarga inti yang telah menyiasati rencana untuk melakukan pemerasan tersebut. Jelas, hal ini bukanlah sesuatu yang umum dilakukan oleh wartawan professional, sebab wartawan yang profesional ialah mereka yang mengelola dan menyampaikan informasi secara seimbang (balance), tidak berat sebelah atau memihak kepada salah satu pihak (cover both side), dan memegang teguh doktrin kejujuran (Fairness Doctrine).
“Budaya amplop” menggiring pada buruknya performa kerja wartawan, budaya ini juga menyebabkan bobot berita yang dimuat menjadi anjlok. Budaya “amplop” sendiri biasanya ditujukan untuk beberapa hal seperti uang tutup mulut, uang untuk menaikkan informasi ke media supaya naik daun, ucapan terimakasih, dan sebagainya.
Padahal, naik atau tidaknya suatu informasi di sebuh media, tidak berada dibawah tangan wartawan, melainkan langsung berada diranah instansi media yang bersangkutan.
Memang, budaya ini adalah salah satu ciri wartawan yang berada di negara berkembang. Albert L. Hester dalam Handbook for Third World Journalist (diterjemahkan dengan judul Pedoman untuk Wartawan, USIS, 1987), menuturkan bahwa budaya “amplop” ini pada hakikatnya tercipta akibat minimnya permodalan industri pers sehingga pers belum mampu memberikan imbalan atau upah yang layak bagi wartawannya.
Kasus Plagiarisme
The dark of journalism juga dapat kita temukan dalam ranah plagiarisme. Nyatanya, plagiarisme tidak hanya ditemukan dalam ranah akademik. Dalam dunia jurnlistik terlebih di era media yang semakin berkembang, plagiarisme meruak tanpa adanya sanksi tegas dan hukuman yang jelas.
Bahkan, hal ini masih terbilang cukup tabu meskipun pada dasarnya bobot kerja secara professional dari setiap jurnalis sudah disajikan dalam Kode Etik Jurnalistik.
Dilansir dari salah satu artikel Telum Media, kejadian plagiarisme pernah dialami oleh Abraham Pratama yang bekerja sebagai salah satu jurnalis di BBC News.
Pada 2016, Abraham mengalami kasus plagiarisme pertama, kasus ini selesai dengan permintaan maaf dan ganti rugi dari pihak yang berangkutan.
Disusul kasus kedua dimana seluruh liputan dan karya tulis milik Abraham dikutip seluruhnya. Mirisnya, hal ini tdak ditindaklanjuti dengan tegas, pihak terkait hanya mencantumkan nama Abraham dan mengatakan bahwa informasi yang bersangkutan telah lebih dulu terbit di media tempat Abraham bekerja.
Tidak ada kata maaf, kasus kedua yang dialami Abraham berlalu tanpa sanksi yang memuaskan. Berbeda dengan kasusnya ditahun 2016, yang selesai karena dibantu divisi hukum tempat ia bekerja.
Lain halnya dengan kasus Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Paulus Tri Agung Kristanto. Plagiarisme terhadap karyanya dilakukan oleh rekan kerja yang kerap beliau jumpai di lapangan.
Dua kasus ini harusnya sudah mampu menggambarkan betapa jahatnya ranah plagiarisme. Alih–alih mencari inspirasi dari karya orang lain, mereka yang berkinerja buruk malah mencuri inspirasi dari hasil liputan wartawan lain.
Bukan karena tidak berkompeten, Paulus menuturkan bahwa meruaknya plagiarisme dalam dunia jurnalistik adalah karena wartawan itu sendiri yang malas. Ditambah dengan sanksi pelaku yang belum jelas asal mulanya, kasus yang tidak mendapatkan perhatian secara layak, tabu, hilang, dilupakan, dan pelakunya bisa lolos tanpa kendala, jelas mendorong pertumbuhan plagiarisme semakin merajalela.
Dalam hal ini, perhatian dari pemerintah dan beberapa pihak terkait diperlukan secara masif agar bobot berita yang minim tidak merugikan masyarakat yang membacanya.
Peliknya tantangan dalam dunia jurnalistik menggambarkan tantangan kedepan yang tentunya akan jauh lebih besar.
Dewasa ini, kita dituntut untuk cerdas dalam menghadapu dunia digital, cerdas dalam memilah, memilih, dan bersikap atas sebuah informasi. Sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepatutnya kita bertanggung jawab lebih atas kesehatan informasi yang kita konsumsi.
Tentang Penulis
Olivia Berliana Apriliani adalah Staf of Outreach, External Relations AIESEC in UNAND 2022
Mahasiswi Ilmu Komunikasi. Email: oliviaberpriliani@gmail.com olivia.apriliani@aiesec.net