Tulisan ini membahas pengertian netralitas media atau media netral. Netralitas tidak dikenal di dunia jurnalistik. Semua media tidak netral. Yang ada adalah independensi.
Netralitas media menjadi sorotan banyak pihak menjelang Pemilu 17 April 2019. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan mengingatkan media massa agar netral.
Bawaslu Jabar, misalnya, menegaskan netralitas media itu mutlak dalam proses penyelenggaraan pemilu 2019. Bawaslu telah melakukan kerjasama dengan Komisi Pemilihan Umu (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers untuk mengawali netralitas media.
Selama pemilu media harus berperan netral, tidak memihak kepada salah satu peserta pemilu yang memberikan keuntungan kepada peserta pemilu tersebut (Pikiran Rakyat).
Netralitas media, terutama media televisi, hampir “dipastikan” ternoda alias sulit terjaga dengan dipilihnya bos Republika, Erick Thohir, sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin.
Diplihnya Erick kian memperpanjang daftar pengusaha atau pemilik media yang ada di kubu Jokowi vis a vis Prabowo-Sandiaga.
Erick adalah pendiri dan pemilik Mahaka Group yang memiliki empat media daring, empat media cetak, dan empat media berbasis broadcasting, seperti Jak TV, Gen FM, Harian Republika, Parents Indonesia, dan republika.co.id.
Sebelum Erick, sudah ada Hary Tanoesoedibjo (Ketua Umum Perindo) yang juga bos MNC Media yang memiliki RCTI, GTV, Koran Sindo, Okezone, INews TV, dan sejumlah media elektronik lain.
Ketua Umum Partai Nasdem sekaligus pimpinan Media Group, Surya Paloh, sudah lebih dulu ada di kubu Jokowi. Media Grup membawahkan Media Indonesia dan Metro TV.
Lihat: Peta Konglomerasi Media di Indonesia
Tak pelak, media-media besar atau media mainstream akan berpihak kepada kubu Jokowi, secara terang-terangan maupun “samar-samar”, secara halus maupun “kasar”.
Praktis, kubu Prabowo-Sandiaga hanya bisa mengandalkan kekuatan media sosial untuk mengimbangi pemberitaan media mainstream yang lebih banyak pro-Jokowi.
Media-media yang dipimpin Erick Tohor, Surya Paloh, dan Harry Tanoe “secara teori” tidak akan bisa menjaga netralitas. Media-media itu akan berpihak kepada kubu Jokowi, minimal dengan cara memberitakan hal-hal bagus Jokowi-Ma’ruf, tidak memberitakan hal-hal buruk tentang Jokowi, serta tidak memberitakan hal-hal bagus dari kubu Prabowo.
Saya sudah menulis soal netralitas media ini di tiga postingan sebelumnya, yaitu Sisi Gelap Jurnalistik, Fairness Doctrine, dan Kebebasan Pers Milik Kapitalis.
Tulisan ini akan fokus ke pengertian netralitas media. Saya berpegang pada pendapat, tidak ada media yang netral, tidak ada netralitas media, yang ada adalah independensi media.
Pengertian Netralitas Media
Netalitas berakar kata netral (neutral). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian netral adalah tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak).
Netralitas media artinya ketidakberpihakan media.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary dalam (Shafaat, 2008: 15) menyebutkan, pengertian netralitas adalah keadaan tidak membantu salah satu pihak dalam ketidaksepakatan, kompetisi, dan sebagainya.
Bisakah media bersikap netral? Adakah media yang netral?
Saya berpendapat, media tidak bisa netral dan tidak ada yang netral. Semua media berpihak. Yang ada adala independensi media, yaitu kebebasan media untuk berpihak.
Secara ideal dan formal, media diharuskan berpihak kepada pembaca atau publik.
Keberpihakan media terutama ditentukan oleh kebijakan redaksional (editorial policy), yaitu kriteria layak-tidaknya sebuah berita dipublikasikan atau disiarkan.
Kebijakan redaksional meliputi sikap politik media. Tiap media memiliki sikap yang berbeda dalam sebuah isu atau peristiwa. Implementasinya berupa “framing”. Contoh aktual bagaimana media menyikapi Aksi Bela Islam 212.
Media Selalu Berpihak
William L. Rivers dkk. dalam Media Massa & Masyarakat Modern (Prenada Media,2003:10) menegaskan ketiadaan “netralitas media” alias tidak ada media (jurnalistik) yang netral.
Ditegaskan, pers atau media “selalu” berpihak, terutama kepada kepentingan pemiliknya.Dikemukakan Rivers dkk., kebebasan pers yang berlaku di dunia sebenarnya adalah “kebebasanpemilik pers” (freedom for media owner).
“Pemilik masih bisa menempatkan berita yang penting untuknya –meskipun tidak terlalu penting untuk umum—di halaman pertama atau pada jam tayang utama (prime time). Sebaliknya, berita tertentu bisa saja ditahan atau batal dimuat. Ini membuktikan, pemilik masih berkuasa,” (William L. Rivers dkk., 2003).
Dengan demikian, idealisme wartawan –kebebasan pers & independensi– akan “terpasung” begitu menjadi karyawan sebuah media.
Idealisme, ideologi, atau sikap politik wartawan media mana pun wajib “menyelaraskan” pemberitaannya dengan visi, misi, dan kebijakan redaksi (editorial policy) yang pasti berpihak pada pemilik atau pemodal.
Sastrawan dan jurnalis senior, Goenawan Mohamad, juga pernah menegaskan: media dalam pemberitaannya tidak harus netral. “Hal terpenting, pemberitaan media tidak untuk memfitnah,”katanya. (Tempo).
Baca Juga: Netralitas dan Independensi Media Dikendalikan Pemilik
Konsep Netralitas Media Massa
Konsep netralitas media terkandung dalam etika pemberitaan atau kode etik jurnalistik (untuk Media di Indonesia) dan Elemen Jurnalisme (berlaku global).
Kode etik dan elemen jurnalisme menyatakan pentingnya media mengindahkan keberimbangan (balance), ketidakberpihakan (impartiality), keadilan atau kejujuran (fairness), dan objektivitas (objectivity).
1. Keberimbangan
Berimbang dalam menyajikan berita artinya memberikan kesempatan kepada semua pihak (covering both sides) untuk memberikan keterangan, penjelasa, klarifikasi, atau menyuarakan sudut pandangnya.
Berita yang berimbang menampilkan semua sisi, semua pihak, dan semua pendapat, pro dan konta.
Kode etik jurnalistik menyebutkan:
- Pasal I: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
- Pasal III: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber Dewan Pers, asas keberimbangan disebutkan dalam Verifikasi dan Keberimbangan Berita:
Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
2. Ketidakberpihakan (impartiality)
Ketidakberpihakan (impartiality) adalah media harus memberikan tempat yang sama pada pandangan yang berbeda. Media tidak mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
3. Keadilan (Fairness)
Fairness Doctrine (doktrin keadilan) dikeluarkan Komisi Komunikasi Federal (Federal Communications Commission/FCC) Amerika Serikat.
Doktrin ini menegaskan media penyiaran radio & televisi harus menyajikan beragam sudut pandang dalam sebuah isu kontroversial yang penting bagi masyarakat (to present contrasting viewpoints on controversial issues of public importance).
4. Objektivitas (objectivity)
Objektif secara bahasa artinya “mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi” (KBBI).
Media harus memberitakan peristiwa “apa adanya”, menyajikan fakta atau data saja, tanpa memasukkan opini pribadi wartawan.
Objektivitas pemberitaan dirumuskan dalam prinsip kesesuaian dengan kenyataan (factuality), yaitu benar atau akurat.
Pentingnya Netralitas Media
Dalam konsep demokrasi dan politik, media dianggap sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) untuk melengkapi istilah Trias Politica dari Montesquieu –eksekutif (pemerintah), yudikatif (kejaksaan/kehakiman/penegak hukum), dan legislatif (parlemen).
Netralitas media –berimbang dan objektif– menjadi andalan publik dalam pelaksanaan pengawasan lembaga Trias Politica.
Media secara ideal berperan menjadi “anjing penjaga” (watch dog) agar pemerintah, parlemen, dan penegak hukum melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Media yang pro-pemerintah dan tidak mengekspos kebusukan pemerintah lebih tepat disebut media propaganda pemerintah ketimbang media jurnalistik.
Media corong pemerintah akan menggiring opini publik bahwa pemerintahan berjalan baik dan berhasil serta mengabaikan kebusukan atau hal-hal buruk tentang pemerintahan.
Media massa secara prinsipil memegang amanat sebagai anjing penjaga (watchdog) yakni pemantau independen terhadap kekuasaan dan penyambung lidah yang tertindas. (Elemen Jurnalisme).
Media yang dikendalikan politisi, apalalagi politisi pro-penguasa, tidak bisa diharapkan menjadi watchdog, tapi akan menjadi propagandis penguasa –dan petahana dalam konteks pemilu– serta menyudutkan kubu oposisi atau penantang.
Demikian ulasan tentang pengertian netralitas media. Wasalam. (www.romeltea.com).*