Bagaimana teknik kampanye pemilu efektif? Apa bedanya dengan kampanye politik? Bisakah kampanye mengubah sikap “keras kepala” pemilih yang umumnya sudah menentukan pilihan?
MASSA pemilih (voters) memiliki karakter “keras kepala” (obstinate). Itulah “adagium” yang biasa berlaku pasa musim kampanye pemilu.
Pada dasarnya, rakyat sudah memiliki pilihan, setidaknya kecenderungan memilih parpol tertentu, dan sulit berubah sampai hari H pemilihan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kampanye hanyalah upaya mengubah karakter itu atau hanya memperkuat kecenderungan yang sudah ada. Karenanya, diperlukan teknik kampanye pemilu yang efektif dan efisien.
Kalangan parpol memang harus memiliki “pedoman pahit” seperti itu agar tidak terlalu percaya diri atau berlenggang-kangkung menghadapi pemilu mendatang.
Sudah pasti, kalangan parpol menyiapkan sejumlah jurus, strategi, atau teknik kampanye pemilu yang dianggap paling efektif meraih dukungan rakyat.
Teknik Kampanye Pemilu versi UU
Mengacu kepada Pasal 72 UU Pemilu Legislatif, kampanye bisa dilakukan melalui berbagai cara, yakni
- Pertemuan terbatas.
- Tatap muka.
- Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik.
- Penyiaran melalui radio dan/atau televisi.
- Penyebaran bahan kampanye kepada umum.
- Pemasangan alat peraga di tempat umum.
- Rapat Umum.
- Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Pasal 11 Keputusan KPU juga menetapkan hal yang sama, ditambah satu poin: “(2) Kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, b, e, f, g, dan h, diberi tahukan secara tertulis kepada POLRI selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan kampanye”.
Kampanye Rapat Umum: Pengerahan Massa
Kampanye model g (rapat umum) biasanya masih menjadi pilihan utama parpol.
Rapat umum di suatu tempat biasanya dibarengi dengan pengerahan massa, plus aksi konvoi di jalan raya. Kesan “show of force” tidak bisa dihindarkan.
Konvoi sendiri mengandung pesan kuat kepada publik: sedikit-banyak peserta konvoi dianggap menggambarkan besar-tidaknya dukungan publik.
Pengerahan massa inilah yang mengandung potensi bentrokan massa, seperti pengalaman-pengalaman masa lalu. Pasalnya, siapa bisa menjamin ketertiban sikap atau sopan-santun massa yang jumlahnya banyak itu? Apakah mereka “dibekali” serta memahami dan bisa dijamin mematuhi “etika kampanye” yang diatur UU dan KPU?
Lagi pula, pengerahan massa dinilai sejumlah pengamat komunikasi dan politik cenderung menonjolkan sisi hura-hura dan pamer kekuatan, namun sangat miskin kandungan pendidikan politiknya.
Pengerahan massa sering kali memicu terjadinya konflik horisontal antarpendukung parpol. Tidak ada jaminan antara massa yang terkumpul dalam sebuah kampanye dengan perolehan suara karena yang terjadi adalah pengerahan massa, bukan atas inisiatif massa sendiri untuk menghadiri kampanye.
Masih sangat jarang parpol memanfaatkan momen kampanye untuk pendidikan politik yang sehat. Mereka sekadar mengerahkan massa, lalu menghibur sebelumnya mengajak massa untuk mencoblos parpol tertentu.
Karena terlalu memfokuskan pengerahan massa, maka mau tidak mau dalam kampanye selama ini unsur hiburan harus ada di dalamnya.
Kampanye Dialogis
Kampanye dialogis adalah modus baru kampanye yang diperkenalkan pada pemilu tahun 1997.
Disebut kampanye dialogis karena ada dialog antara jurukampanye dengan audiens, kendati sebagian besar atau seluruh hadirin adalah kader, anggota, atau simpatisan parpol yang tengah berkampanye.
Menurut Prof. Dr. Deddy Mulyana (1999:81), dialog mengisyaratkan kemampuan memahami bahasa mitra dialog, bukan saja bahasa sebagai medium komunikasi, namun juga bahasa dengan makna yang lebih dalam lagi, yakni keinginan, aspirasi, harapan, kepentingan, cita-cita, ketakutan, kekhawatiran yang dirasakan mitra dialog.
Dalam konteks pemilu, mitra dialog adalah rakyat, bukan pengurus atau kader OPP tandingan. Kampanye dialogis bermakna bahwa pihak yang berkampanye berusaha melibatkan diri secara intim dalam dunia sosial rakyat pemilih, memasuki perspektif dan pengamalan batin mereka.
Dalam kampanye dialogis, rakyat diperlakukan sebagai mitra, setara dengan mereka yang mengajak dialog (jurukampanye).
OPP tidak memaksakan “kebenaran” dan pendapatnya sendiri, dan tidak sekadar melakukan pengeloaan kesan (impression management) lewat pemberian janji-janji muluk, penampilan, dan taktik-taktik kampanye lainnya untuk meningkatkan citra diri (self image).
Kampanye di Media (Mass Media Campaigns)
Seperti halnya iklan produk barang atau jasa, parpol atau kandidat harus dipromosikan kepada publik untuk “dibeli”.
Sarana atau media promosinya bisa berupa media massa seperti suratkabar, radio, atau televisi (dikenal dengan media lini atas atau above the line), bisa juga berupa brosur atau leaflet, stiker, pamflet, atau spanduk (media lini bawah atau below the line).
Bisa pula menggunakan direct mail ataun surat langsung ke rumah-rumah, namun bentuknya dirancang sedemikian rupa agar menarik atau enak dilihat dan dibaca.
Dalam hal “media lini bawah”, sejauh ini sejumlah parpol mengembangkan kreativitasnya dalam melakukan kampanye.
Berbagai jurus mereka lakukan untuk memikat calon pemilih, seperti memproduksi permen berlogo partai, air mineral berlogo partai, dan sebagainya.
Media massa merupakan sarana paling efektif menjangkau pemilih, termasuk memberikan kesadaran akan pentingnya memilih.
Sudah menjadi “rumus baku”, media massa mampu membuat publik lebih dari sekadar berpikir (to think), tapi juga “memikirkan” (think about), sebagaimana makna teori “Agenda Setting”.
Media massa diyakini dapat mempengaruhi massa pemilih untuk menentukan pilihannya pada hari H pencoblosan di TPS-TPS. Namun demikian, “kenyataan pahit” ini perlu diperhitungkan kalangan parpol.
Kalangan parpol memerlukan manajer kampanye media yang mengerti seluk-beluk media massa, karakteristik bahasa jurnalistik (languange of mass communication) yang spesifik dan komunikatif, desain grafis yang menarik, atau piawai dalam menemukan jargon-jargon dan ungkapan yang mudah dicerna dan diingat publik.
Teknik Kampanye di TV
Kampanye di televisi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pakar di bidang ini, Brian McNair dari Skotlandia, merumuskan sejumlah teknik iklan politik di TV yang bisa digunakan kalangan parpol atau kandidat.
1. Talking Heads
iklan politik yang dirancang untuk menyoroti isu dan menyampaikan citra bahwa parpol/kandidat mampu menangani isu tersebut dan melakukan pekerjaannya kelak.
Misalnya, mengangkat isu pengangguran, didramatisir, dan berusaha meyakinkan publik bahwa parpol/kandidat yang diangkat akan mampu mengatasi masalah krusial tersebut.
2. Negative Ads.
Iklan negatif, yakni dengan menyerang kebijakan parpol atau kandidat lain seperti lazim dilakukan di Amerika Serikat.
Bisa saja, nanti ada parpol yang menyerang parpol lain dengan mengatakan parpol lain penuh caleg bermasalah (politisi busuk), sedangkan parpolnya hanya mencalonkan caleg bersih dan berkualitas.
Teknik yang langsung menyentuh program partai adalah iklan konsep, yakni mengemukakan ide-ide besar parpol/kandidat, misalnya tentang supremasi hukum atau pemberantasan korupsi.
3. Cinema-verite
Teknik kampanye ini menggambarkan situasi informal dan alami. Misalnya, menayangkan situasi di mana kandidat atau kader parpol membantu korban bencana, berbicara hangat dengan rakyat bawah, atau menggambarkan kehidupan pribadi petinggi parpol/kandidat yang sederhana, jujur, dan harmonis dengan keluarga dan tetangganya.
4. Reporter netral.
Kampanye di TV berupa news atau siaran berita tentang parpol/kandidat seolah-olah murni liputan langsung reporter TV tentang profil atau aktivitas parpol.
5. Testimonial.
Kampanye berupa Kesaksian, misalnya menayangkan suara rakyat biasa tentang kebaikan parpol/kandidat, atau komentar sejumlah tokoh kharismatis dan berintegritas tentang kehebatan parpol/kandidat.
Teknik Kampanye di Radio
Kampanye di media radio siaran (Broadcasting Radio) memiliki keunikan dan keuntungan tersendiri.
Lewat radio, jurukampanye atau kandidat bisa berkomunikasi langsung dengan publik dari berbagai kalangan secara akrab. Publik bisa mendengarkan materi kampanye tanpa harus meninggalkan aktivitas lain. Radio dapat didengarkan sambil memasak, menyetir mobil, atau aktivitas lainnya.
Karena kekuatannya dalam mempengaruhi massa —meliputi daya langsung, daya tembus, dan daya tarik (musik, kata-kata, efek suara) sehingga dijuluki “The Fifth Estate” (Kekuatan Kelima), media radio sudah teruji sebagai media efektif dan efisien untuk mempengaruhi massa, atau sekadar melakukan komunikasi dengan massa pendengar dari berbagai kalangan.
Lewat pembicaraan di radio, citra-diri kandidat atau parpol dapat dibangun karena “radio makes pictures’, mencipta figur dalam imajinasi pendengar.
Melalui radio, seorang jurukampanye atau kandidat biasa melakukan komunikasi secara hangat, akrab, dan dekat, layaknya teman baik. Demikian pula jurkam atau kandidat.
Dari sisi pendanaan, sebagaimana dikatakan Dan Patlak dalam tulisannya, “How to Get on the Radio: A Big Earned Media Campaign Opportunity” (Campaigns & Elections, USA, June 2001), kampanye lewat radio merupakan cara murah kampanye media sekaligus menjangkau akar rumput.
Patlak mencatat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh seorang kandidat dengan melakukan kampanye lewat radio, antara lain:
- Kandidat akan dapat berhubungan dengan para pemilih secara pribadi dengan cara mengemukakan ide-idenya secara langsung kepada pemilih.
- Secara live, format talk show, posisi kandidat dapat ditampilkan secara utuh, pembicaraan disampaikan secara penuh, bukan sound bites (kutipan ucapan narasumber yang biasa disiarkan dalam progam berita).
- Kandidat dapat berinteraksi dengan pendengar (jika formatnya call-in show, dialog interaktif dengan pendengar) dan mendemonstrasikan kemampuannya dalam berempati terhadap pendapat dan masalah-masalah lainnya.
- Fakta menunjukkan, penampilan di radio akan meningkatkan popularitas kandidat dan memberikan legitimasi kampanyenya. (Jika media meliput Anda, lalu publik berpikir bahwa Anda seorang nominator atau calon).
- Seorang kandidat dapat menggunakan penampilannya untuk meraih dukungan kalangan akar-rumput.
- Fungsi kampanye seperti penggalangan dana dapat dilakukan ketika sedang mengudara.
- Kampanye di radio cukup hemat waktu. Sekalipun Anda berkampanye di sebuah stasiun radio kecil, namun pendengarnya bisa mencapai ratusan. Bandingkan dengan jika Anda menyalami orang di stasiun kereta api selama satu jam, atau berbicara kepada 20 orang di kedai kopi.
Selain melaui televisi, radio, suratkabar, tabloid, atau majalah, manajer kampanye bisa melakukan kampanye dengan membuat buletin yang biayanya relatif murah.
Kampanye Rumah ke Rumah (Door to Door Campaigns)
Kampanye dari pintu ke pintu, rumah ke rumah, atau tatap muka langsung dengan individu pemilih ini merupakan teknik kampanye “klasik” yang memiliki efektifitasnya tinggi.
Sebagai perbandingan, menurut hasil studi di Amerika Serikat yang dilansir majalah Campaigns & Elections (2002), kampanye “door to door” yang merupakan “face-to- face voter mobilization campaigns” (kampanye mobilisasi pemilih secara tatap muka) memiliki efektifitas tinggi untuk menstimulasi pemilih di semua kelompok usia.
Kampanye tatap muka dan bentuk lain kampanye arus bawah juga dapat meningkatkan perolehan suara dari kalangan anak muda, khususnya usia 18-29 tahun.
Kampanye door to door memiliki citra buruk karena bisa dicurigai cenderung melalukan praktik “politik uang” (money politic). Ini terjadi pada masa lalu, ketika kader parpol melakukan “Serangan Fajar”, mengetuk pintu rumah-rumah penduduk dan membujuknya supaya memilih parpol tertentu sebelum mereka berangkat ke TPS-TPS.
Kampanye via SMS (SMS Campaigns)
Kampanye melalui SMS (Short Message Services) atau Layanan Pesan Singkat merupakan salah satu cara efektif dan cepat untuk berkomunikasi dengan publik atau pemilih.
Hanya saja, manajemen kampanye akan menemukan kesulitan untuk mendapatkan nomor-nomor sekitar 11 juta pengguna ponsel saat ini di Indonesia. Kampanye SMS bisa dilakukan 24 jam sehari, tanpa terikat ruang dan waktu.
Kampanye SMS secara tidak langsung sejauh ini yang terlihat oleh publik adalah polling yang diadakan sejumlah stasiun TV tentang capres. Parpol yang kader-kadernya solid atau kompak bisa mengunggulkan capresnya atas kandidat lain.
Kampanye via Email (Email Campaigns)
Kampanye lewat surat elektronik (E-mail Campaigns) bisa menjadi alternatif pada era multimedia sekarang ini. Kampanye jenis ini biayanya murah, namun efektif dan pesannya cepat sampai ke publik.
Menurut Mary Clare Jalonick dalam artikelnya, “E-mail Newsletter: Getting Your Campaign Message Out – Fast and Cheap” (Campaigns & Elections, June 2001), jika dilakukan dengan baik dan benar, E-mail Campaigns bisa memiliki efek atau pengaruh sebaik surat langsung (direct mail), surat penggalangan dana, kampanye door-to-door terhadap kalangan bawah (grass root), dan iklan televisi.
Di Amerika Serikat, E-mail Campaigns bukan hal baru. Kampanye pemilihan presiden dan anggota kongres tahun 2000 lalu yang menggunakan e-mail (newsletter e-mail) lebih baik daripada kampanye bentuk lain. Kampanye e-mail harus sederhana dan jangan terlalu panjang, selain harus informal.
Kampanye Negatif (Negative Campaigns)
Kampanye negatif merujuk pada teknik kampanye yang memburukkan citra lawan politik. Dalam jagat politik kita, istilahnya “menghujat” parpol atau politisi lain yang menjadi kompetitor. Mengacu kepada pengalaman yang lalu, pikan “parpol oposisi” biasanya menyerang dan memburukkan parpol yang sedang berkuasa.
Di Amerika Serikat, menyerang ide, perilaku, atau mengungkap keburukan lawan politik merupakan hal biasa dalam kampanye. Penelitian di University of Georgia, USA, menemukan fakta, iklan kampanye negatif bertahan bahkan meningkat dari waktu ke waktu (www.uga.edu).
Hasil riset yang dipublikasukan dengan judul “The Sleeper Effect and Negative Political Advertising” itu menunjukkan, serangan ke lawan politik bukan saja efektif, tapi juga dampaknya meningkat terus. Bahkan jika pihak penyerang terlihat buruk di mata publik, serangan itu masih memiliki dampak terhadap preferensi publik.
Teknik Baru
Pada Pemilu 2009 muncul teknik kampanye baru berupa baligo atau spanduk berisi foto caleg, plus logo parpol.
Banyak juga caleg yang tampak “kurang percaya diri” sehingga “nebeng” popularitas kepada ketua umum parpolnya. Misalnya, sang caleg memasang foto Prabowo, Jokowi, Megawati, SBY, atau tokoh politik populer lainnya di samping atau di belakang foto dirinya.
Demikian ulasan tentang teknik kampanye pemilu. Wasalam (www.romeltea.com).*