Bahasa Inggris Lebih Keren

Mungkin mereka pikir bahasa Inggris lebih keren ketimbang bahasa Indonesia. Makanya, banyak perumahan, produk, atau nama lembaga menggunakan bahasa Inggris. 

Reklame atau iklan Pemda DKI tentang imbauan tidak merokok pernah diprotes masyarakat. Pasalnya, menurut sang pemrotes, iklan tersebut tidak memberi contoh yang baik soal penggunaan bahasa Indonesia karena kalimat imbauannya dicampuri bahasa Inggris. Iklan berupa reklame tersebut berbunyi “Mau Denda 50 Juta atau Kurungan Penjara 6 Bulan? STOP SMOKING NOW!!”.

Sang pemrotes tentu warga bangsa Indonesia yang sangat mencintai bahasa Indonesia sebagai “bahasa persatuan” dan identitas bangsa. Kita juga, secara sadar atau tidak sadar, sering melakukan “kesalahan” yang sama dengan Pemda DKI tersebut, yakni mencampuri bahasa Indonesia yang kita gunakan dengan bahasa asing. Mari kita renungkan, berapa kali dalam sehari kita menggunakan kata “OK” (okay) dalam percakapan telepon, saat mengobrol dengan teman, waktu mengirimkan pesan singkat (SMS), chating, dan sebagainya?

Ada ungkapan, bahasa cermin budaya bangsa atau bahasa merupakan cermin jati diri bangsa. Merujuk pada ungkapan tersebut, dapat dikatakan, pencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing (Inggris) merupakan cermin budaya dan jati diri kita (bangsa Indonesia) yang kurang bahkan tidak percaya diri sebagai bangsa Indonesia. Kita masih merasa “inferior”, rendah diri, dibanding dengan bangsa Inggris. Kita merasa, menggunakan bahasa Inggris lebih “gagah”, hebat, atau keren?

Read More

Faktanya memang demikian. Sebuah produk pun jika menggunakan nama Indonesia biasanya tidak laku, berbeda dengan produk berlabel asing meskipun sebenarnya produk bangsa sendiri (dalam negeri). Lihat saja, sebagai contoh, produk rokok, makanan, minuman, bahkan grup band/musik, dan sebagainya. Ketimbang memilih nama “Lima Menit”, mereka lebih memilih nama “Five Minut”; Sheila on Seven, The Titans, The Groove, dan banyak lagi.

Lagi-lagi, perilaku konsumen (kita?) yang lebih tertarik pada produk bernama asing ketimbang bernama Indonesia itu merupakan cermin budaya dan jati diri kita yang masih merasa hal berbau asing itu hebat. Ada yang berpendapat, inilah mentalitas bangsa terjajah.

Seingat saya, pemerintah pernah mengimbau (atau memerintahkan?) perubahan nama-nama produk asing ke dalam bahasa Indonesia. Holland Bakery, misalnya, pun berubah menjadi “Bakeri Holan”; BRI Tower = Menara BRI, Indomart = Indomaret, dan sebagainya.

Tapi lihatlah sekarang, banyak mal atau pusat perbelanjaan menggunakan nama asing: Bandung Trade Mall, Bandung Supermall, Bandung Electronik Center, dan banyak lagi. Bandingkan dengan nama Indonesianya: Mal Pedagangan Bandung, Mal Super Bandung, Pusat Elektronik Bandung! Ah, kurang keren ya?

Tahun 2006 ada kabar, para pelaku usaha harus siap-siap saja untuk mengganti nama merek dagangnya jika menggunakan bahasa asing. Kabarnya, pemerintah akan melarang penggunaan bahasa asing di ruangpublik, baik nama kompleks perumahan, iklan, nama gedung, bangunan, petunjuk penggunaan barang, merek dagang, dan lain-lain. Pelarangan ini tertuang dalam draf RUU Bahasa. Ada yang tahu, bagaimana perkembangannya kini?

Budaya asing memang masih menggempur bangsa ini, utamanya melalui acara-acara di televisi. Saya kira, mayoritas acara televisi kita produk asing (luar negeri). Wajar jika invasi dan infiltasi budaya asing terus melanda bangsa Indonesia. Alih-alih memperkuat budaya nasional, acara-acara televisi kita malah menggerus identitas budaya kita sendiri.

Saya akui, secara pribadi saya juga masih suka menggunakan ungkapan asing. Blog saya, romeltea.com, saya namai Romeltea Magazine, bukan Majalah Romeltea. Tagline blog ini pun “Just Another Romeltea’s Blog”, bukan “Hanya Bloh Romeltea yang Lain”. Alasannya, memang terkesan lebih keren, tapi alasan paling utama karena lebih ringkas dan enak dibaca.

Wah, pihak berwenang soal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar makin berat nih. Selain harus menertibkan penggunaan kata/istilah baku, mereka juga harus berjuang keras menumbuhkan budaya “bangga berbahasa Indonesia”. Kita tunggu saja gebrakannya! Toh mereka digaji negara untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bukan? Ayo, bekerja! Wasalam. (www.romeltea.com)

Related posts