Bahasa jurnalistik itu egaliter, yakni memperlakukan semua orang sama. Pejabat atau rakyat biasa sama-sama disebut atau ditulis namanya saja, misalnya Jokowi yang Gubernur DKI dengan Kardiman yang rakyat biasa sama-sama ditulis namanya: Jokowi, Kardiman.
SELAMA sekitar tujuh tahun (2000-2007) saya dipercaya menjadi “editor informal” –atau sebut saja “ghost editor”– sebuah tabloid internal badan usaha milik negara. Disebut “informal” karena nama saya tidak tampil di Box Redaksi.
Para wartawan tabloid tersebut adalah karyawan, utamanya di bagian humas, di seluruh Indonesia.
Dalam naskahnya, mereka menuliskan nama disertai kata sandang “Pak” atau “Bu”, sering juga “Pak Direktur” atau “Bapak/Ibu Anu”.
Maklum, yang jadi objek berita kebanyakan atasan atau bos mereka. Ada perasaan ‘gak enak atau dianggap tidak sopan jika hanya menulis namanya.
Misalnya, “…acara tersebut dihadiri Direktur Utama Ahmad Fulan. Dalam sambutannya, Pak Ahmad mengatakan… Selain itu, Pak Ahmad yang juga didamping Manajer Humas Pak Anu…”
Untuk media internal, penggunaan kata sandang tadi sah dalam perspektif jurnalistik. Alasannya, media tersebut untuk dikonsumsi kalangan internal. Namun, penggunaan kata sandang di media untuk konsumsi umum (komersil) tidak berlaku.
Mungkin, bagi sebagian wartawan, ada perasaan “tidak enak” atau “merasa tidak sopan” kalo hanya menulis nama, misalnya aktivis Muhammadiyah ngerasa kurang “sreg” jika harus nulis Menurut Din Syamsudin, Muhummadiyah harus… “Kita harus berani,” kata dia. Tapi itulah aturannya.
Bahasa jurnalistik itu egaliter; memperlakukan semua orang sama, sederajat, memandang semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum sehingga tidak boleh diperlakukan berbeda.
Bahasa jurnalistik “tidak mengenal” tingkatan, kasta, pangkat, atau seperti “undak-usuk basa” dalam bahasa Sunda atau Jawa.
Jadi, yang berlaku adalah penulisan nama saja, kecuali dalam konteks akademis, dan kata gantinya “dia” atau “ia”, bukan “beliau” –kecuali untuk nama Nabi dan huruf kapital “Ia” atau “Dia” untuk kata ganti Allah Swt/Tuhan.
Demikian juga dalam hal gelar akademis. Wartawan sedapat mungkin menghindari penulisan gelar, cukup menuliskan nama, kecuali konteks beritanya akademis atau berkaitan dengan dunia pendidikan/ilmiah.
Nah, sekarang paham ya, jadi jangan menganggap wartawan ‘gak sopan kalo nulis nama doang ketika memberitakan KH. Miftah Faridl –misalnya “Miftah mengatakan, MUI kota Bandung … “Insya Allah,” kata Miftah; atau berita tentang Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir dengan “Menurut Nanat, UIN Bandung…. “Mahasiswa harus kreatif,” jelas Nanat. Demikianlah, bahasa jurnalistik itu egaliter –pendapat lain menyebutnya “demokratis”. Wasalam. (www.romeltea.com).*