Bagaimana dunia tanpa jurnalistik? Bagaimana kehidupan kita tanpa kehadiran wartawan dan media massa? Jelas, kita akan kesulitan mendapatkan informasi atau berita yang akurat dan benar (faktual).
Berita palsu (fake news) atau hoaks (hoax) akan merajalela. Demikian pula propaganda dan “kicauan” para buzzer (terutama buzzerp) atau influencer.
Kita tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekitar kita dan di luar sana.
Federico Guerrini pernah menulis: “Bayangkan sebuah dunia tanpa jurnalis. Bagaimana orang bisa mendapatkan berita jika tidak melalui media?”
Facebook baru ada atau didirikan tahun 2004; Twitter beberapa tahun kemudian: kekuatan media sosial belum muncul. “Sekarang, tidak adanya jurnalis profesional,” – jelas Paul Lewis, reporter pemenang penghargaan Guardian— “tentu saja akan menyebabkan masalah dan gangguan besar, tetapi informasi masih dapat menemukan cara untuk mengalir dan mencapai audiens”.
Apakah ini berarti kita harus menyiapkan skenario “Berita tanpa jurnalis”?
Ruang bagi Jurnalis
Saat ini, di era internet, kita kebanjiran informasi, terutama di media sosial. Semua orang bisa memproduksi dan menyebarkan informasi. Namun, warganet yang menjalankan “netizen journalism” tidak terikat kode etik jurnalistik yang berintikan disiplin verifikasi atau prinsip jurnalistik.
Jadi, meski saat ini informasi terkini mudah didapat di media sosial, masih ada ruang bagi para jurnalis profesional, selama mereka mampu menafsirkan peran mereka dengan cara-cara baru yang memanfaatkan alat-alat baru yang tersedia, serta tetap menaati kode etik profesi jurnalis.
Wartawan dan warganet kini saling melengkapi dalam menyampaikan informasi. Jika wartawan “menutupi” fakta tertentu karena kode etik atau “tekanan”, maka fakta itu akan dibuka oleh warganet di akun media sosialnya.
Contohnya kasus kematian misterius penjual surat kabar Inggris, Ian Tomlinson, selama protes KTT G-20 2009. Setelah kejadian itu, sebagian besar pers “menempel” pada akun polisi bahwa Tomlinson meninggal karena serangan jantung saat berjalan pulang dari kantor.
Tetapi dengan bantuan media sosial, gambar yang dirilis di Flickr dan saksi yang ditemukan berkat Twitter, kebenaran lain mulai muncul. Salah satu saksi juga menyerahkan video kepada Lewis, yang kemudian diterbitkan oleh Guardian di You Tube. Itu menunjukkan seorang petugas polisi memukuli penjual berita dengan tongkat.
Hal serupa terjadi dengan kematian Jimmy Mubenga, seorang tahanan Angola yang meninggal saat dideportasi dari Heathrow pada 12 Oktober 2010.
Dalam kasus ini juga, versi resminya tidak begitu jelas. Jadi, tim Guardian melacak beberapa penumpang dalam penerbangan Mubenga, meminta bantuan mereka melalui Twitter, menggunakan kata kunci dan tagar untuk memudahkan menemukan artikel yang dipublikasikan di situs web surat kabar kepada siapa saja yang mungkin terlibat.
Seperti kematian Tomlinson, narasi alternatif pun muncul, terutama setelah seseorang melaporkan melihat polisi secara paksa menahan Mubenga di kursinya dan pria itu memohon bantuan.
Baik kasus Tomlinson dan Mubenga adalah contoh investigasi yang dibantu warga. Kekuatan media sosial tidak perlu dipertanyakan lagi, tetapi reporter masih memainkan peran mendasar.
Pertemuan langsung dengan orang-orang yang menyediakan rekaman dan gambar-gambar yang diposting di Internet dan kontennya diverifikasi dan dikontekstualisasikan oleh para jurnalis –verifikasi.
Baca Juga: Fungsi Media Massa
Jadi, bisa bayangkan bagaimana dunia tanpa jurnalistik atau tanpa wartawan? Dunia masih memerlukan wartawan profesional yang menaati kode etik jurnalistik dan berpihak pada warga dan fakta –sebagaimana dalam sembilan elemen jurnalisme.
Referensi: World Without Journalists