MUI akhirnya memfatwakan golongan putih (golput) haram hukumnya. Artinya, umat Islam wajib menggunakan hak pilihnya atau wajib menjadi golongan hitam –lawan golongan putih. Dengan kata lain, golput haram = golongan hitam wajib/halal?
Saat wacana fatwa haram golput menggelinding, saya menulis artikel “Wah, Golput Haram!”, ungkapan “keberatan” dengan fatwa haram bagi golput.
Alasannya, sistem pemilu dan sistem politik kita secara keseluruhan bukan sistem politik Islam. Jadi, kalo tidak menggunakan sistem politik Islam, mengapa harus ada halal-haram segala?
Lagi pula, sistem demokrasi Barat yang berlaku sekarang, hukumnya gimana? Halal? Bukankah dalam Islam “kedaulatan berada di tangan Allah atau hukum syara’”? Bukan di tangan rakyat!
Wah, pak kyai, padahal mah tahan dulu tuh fatwa atau ada fatwa pelengkapnya, yakni wajib memilih caleg Islam yang komitmen terhadap Islam dan buat anggota parlemen Islam wajib memperjuangkan penerapan syariat Islam!
Kalo cuma fatwa golput haram, kesannya para ulama di MUI itu “dimanfaatkan” deh oleh politisi yang sangat takut banget golput!
Fatwa lainnya, harusnya MUI wajibkan parpol memilih caleg menurut kriteria Islam, seperti komitmen memperjuangan tegaknya syariah, atau meminjam ungkapan alm. Moh. Natsir: “agar Islam mewarnai kebijakan negara”.
MUI juga perlu menjelaskan secara rinci, sebagai panduan bagi umat, yakni bagian kalimat “jika ada calon yang layak dipilih” dalam fatwa itu. Nah, yang “calon yang layak dipilih” tuh yang gimana, Pak Kyai?
Muslim, paham Quran-Sunnah, berakhlak mulia, panutan di jamaahnya, tergolong pemimpin di kelompoknya seperti pemimpin kaum Muhajirin dan Anshar dulu! Begitu ‘kan, Pak Kyai? Itu lebih penting menurut saya ketimbang hanya memvonis haram golput. Fatwa yang aneh…
Berani ‘gak MUI memfatwa haram hukumnya memilih parpol sekuler –ingat lho, MUI sudah memfatwa haram sekulerime, liberalisme, dan pluralisme!
Bagaimana hukumnya memilih caleg dari parpol sekuler alias tidak berasas Islam? Yang berasas Islam pun, sudahkah kinerja dan mekanisme penetapan calegnya sesuai dengan kriteria syar’i? Pasti berani lah… kan ulama itu “hanya takut kepada Allah”. Innamaa yakhsyallaaha min ‘ibadihil ‘ulama-u…
Fatwa yang Aneh
Soal merokok, MUI memfatwa haram merokok secara terbatas, yaitu haram hukumnya merokok bagi ibu-ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, serta bagi pengurus MUI layak untuk diikuti dengan sanksi hukum.
Pak Kyai, Saya bukan ibu-ibu hamil, bukan anak-anak, bukan pula, pengurus MUI, dan tidak merokok di tempat umum, berarti saya boleh alias halal dong merokok?
Ah, Pak Kyai ini ada-ada saja, fatwa hukum kok terbatas begitu, ragu-ragu ya? Kalau haram, ya buat semua dong haram, demikian juga kalo mubah, makruh, dll. Kayaknya sih, yang bagus “makruh tahrim” aja, makruh cenderung haram, dan berlaku buat semuanya.
Tapi, bener juga sih, hukum Islam itu fleksibel, luwes, dan luas. Ok deh kalo soal rokok, saya setuju… Tapi soal fatwa haram golput? Hmm… fatwa yang aneh… Maaf Pak Kyai, saya hanya bertanya kok, bukan menggugat. Wasalam. (www.romeltea.com).*