Jurnalistik Radio: Peluang Karier Scriptwriter

jurnalistik radioMencari scriptwriter (penulis naskah) lebih sulit ketimbang cari penyiar. Pasalnya, umumnya penyiar tidak mendalami jurnalistik radio. Lembaga kursus penyiar pun jarang yang memberikan materi jurnalistik radio.

“KANG, susah ya cari scriptwriter, ada yang bisa direkomendasikan?” Begitu kira-kira “curhat” seorang manajer radio di Bandung, saat radionya membutuhkan seorang scriptwriter dan membuka lowongan, namun tak satu pun pelamar lolos seleksi.

Lagi pula, pelamar kebanyakan justru mengincar posisi penyiar.

Scriptwriter (penulis naskah) adalah satu “radio job”, posisi penting di divisi program.

Bekerja di bawah koordinasi Program Director (PD) atau Manajer Program, scriptwriter bertugas menulis naskah siaran untuk disampaikan oleh para penyiar, seperti tips, info ringan, bahkan iklan baca (adlibs) –yaitu iklan yang disuarakan langsung oleh penyiar di sela-sela siarannya– juga sering dikerjakan oleh scriptwriter atas permintaan bagian iklan.

Biasanya, scriptwriter sekadar menulis ulang (rewriting) naskah yang dikutipnya dari berbagai sumber –suratkabar, majalah, tabloid, media online, termasuk rilis pers (press release).

Read More

Tugas itu sebenarnya simpel, mudah, yakni “hanya” mengubah gaya bahasa tulisan menjadi bahasa lisan atau bahasa tutur (conversational langguange); mengubah kata-katanya menjadi kata-kata yang biasa diucapkan sehari-hari (spoken words), selain mengoreksi tata bahasanya menjadi lebih logis, singkat, sederhana, dan mudah dimengerti.

Dengan demikian, seorang scriptwriter mestilah menguasai kaidah tata bahasa, bahasa baku, dan bahasa jurnalistik (bahasa media yang berkarakter hemat kata, singkat, logis, mudah dimengerti, dan lain-lain).

Tentu, selain terampil secara teknis, scriptwriter juga harus berwawasan luas, rajin baca, karena ia juga menjalankan peran sebagai editor yang harus paham benar substansi atau materi yang ia susun.

Scriptwriter hanyalah satu dari sekian “radio job” yang bisa diisi oleh lulusan jurusan jurnalistik. Di jurusan ini, lazimnya ada mata kuliah jurnalistik radio (radio journalism).

Dengan mata kuliah ini, minimal mahasiswa mampu memahami dan menguasai teknik jurnalistik radio, seperti penulisan naskah siaran, utamanya naskah siaran berita, “siap pakai” menjadi reporter radio, penyaji berita (news presenter), pembaca berita (news reader), bahkan jangkar berita (news anchor).

Ilmu dan teknik jurnalistik radio juga merupakan modal utama bagi Direktur Pemberitaan (News Director) ataupun Editor Berita (News Editor) dan jajaran di bawahnya.

Penyiar pun idealnya menguasai ilmu jurnalistik radio agar saat menyampaikan informasi/berita, dia patuh pada kode etik jurnalistik dan kaidah pemberitaan (code of conduct).

Sayangnya, ada kesan, minimal kesan yang saya punya, para penyiar merasa tidak atau kurang tertarik belajar jurnalistik. Anggapannya, jurnalistik mah, cenah, ilmu wartawan, bukan ilmu penyiar.

Sebuah anggapan yang keliru. Pasalnya, penyiar juga sering memerankan wartawan, khususnya saat ia menjadi penyiar program berita, baca adlibs, atau sekadar menyampaikan tips di sela-sela siarannya.

Tidak jarang penyiar siaran pagi (program berita) melanggar kode etik jurnalistik, misalnya saat menyampaikan berita ia “recoki” dengan opini.

Beruntunglah, Komisi Penyiaran pun tampaknya “masih tidur” sehingga tidak memantau siaran berita radio yang banyak melanggar kode etik jurnalistik atau kode etik penyiaran; atau official KPI-nya sendiri tidak paham jurnalistik? Wallahu a’lam.

Peminat jurnalistik radio, juga peminat profesi penyiar dan scripwriter, dapat membaca buku saya, Broadcast Journalism: Panduan Menjadi Penyiar, Reporter, dan Scriptwriter, Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung, SMS Markerting: 0818 638 038. Hehe… UUP, Ujung-Ujungnya Promosi! Bae we atuh….! Wasalam. (www.romeltea.com).*

 

Related posts