Penyalahgunaan Profesi Wartawan harus dilaporkan. Wartawan profesional akan menaati kode etik, tidak menerima suap, apalagi memeras.
“Ini dengan Kang Romel?”
“Ya, betul, Pak…Punten, siapa ini..?”
“Assalamu’alaikum, Kang… saya A dari SD B… Begini, Kang, ini ada yang mengaku wartawan, pake ngancam segala… Saya harus bagaimana…?”
“Ngancamnya bagaimana, Pak?”
“Katanya, kita ketemu di pengadilan…”
“Hmm… pastinya oknum atau bahkan wartawan palsu tuh, Pak. Layani aja, Pak, bilang saja, ‘ok siap, kita bertemu di pengadilan’, jangan takut, Pak, itu wartawan palsu atau wartawan gadungan tuh…Tenang aja, Pak, kalangan wartawan profesional di belakang Bapak…”
Itulah “transkrip” perbincangan singkat saya via telepon dengan seorang kepala sekolah di Kota Bandung. Saya lupa menyarankan agar sang kepala sekolah tersebut segera mengadukan “oknum” tadi kepada polisi atas dakwaan pemerasan.
Dua hari sebelumnya, saya menjadi pemateri Diklat Pers & Hukum bagi sejumlah kepala sekolah SD di Kota Bandung. Saya membahas peran pers dan karakteristik wartawan.
Saya katakan, wartawan profesional atau wartawan beneran akan menaati kode etik, tidak menerima suap, apalagi memeras. Wartawan profesional selalu menggunakan cara-cara etis dalam mencari informasi.
Penyalahgunaan Profesi Wartawan takkan terjadi di kalangan wartawan profesional.
Yang selama ini mengganggu para kepala sekolah, minta duit, bahkan mengancam jika tidak dipenuhi, saya pastikan, mereka wartawan gadungan, bukan wartawan profesional, dan saya sarankan adukan saja perusak citra dunia pers itu ke Dewan Pers dan aparat hukum.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah meminta masyarakat melaporkan penyalahgunaan profesi wartawan kepada aparat hukum.
AJI juga mengutuk orang yang menyalahkan profesi wartawan untuk keuntungan pribadi.
Aliansi ini meminta masyarakat segera melaporkan kepada aparat jika ada wartawan yang melakukan tindak pidana atau melakukan pemerasan kepada nara sumber. Kepada aparat penegak hukum, Aliansi ini meminta tidak segan menindak penyalahgunaan profesi tersebut.
KITA akui, ada mitos, wartawan adalah “sosok menakutkan”, khususnya bagi mereka yang bermasalah. Akibatnya, banyak oknum wartawan, wartawan bo’ongan atau gadungan, atau WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar) bergentayangan mencari mangsa yang UUD (Ujung-Ujungnya Duit).
Artinya, banyak sekali kasus penyalahgunaan profesi wartawan yang mencoreng citra dunia wartawan.
Mitos “wartawan sosok menakutkan” kian mendekati kenyataan ketika era kebebasan pers hadir, khususnya ketika banyak muncul kasus penyalahgunaan profesi wartawan.
Dewan Pers –lembaga independen pengawal kemerdekaan pers dan pengawas kinerja wartawan agar sesuai kode etik– dalam sebuah artikelnya pada www.dewanpers.or.id menyebutkan, akhir-akhir ini banyak muncul “pers liar” yang terbit tanpa identitas jelas. Ia menjadi tempat bersarangnya orang-orang yang mencoba mencari keuntungan dengan mengatasnamakan wartawan.
Dewan Pers juga mencatat kemunculan penerbitan pers yang tidak bertanggungjawab, yaitu menggaji wartawan secara tidak memadai, bahkan tidak menggajinya sama sekali, dan membiarkan serta mendorong wartawannya menggunakan kartu pers untuk mencari uang dan fasilitas.
Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja bercerita –seraya mengecam– sebuah penerbitan pers di Medan yang tidak menggaji wartawannya. Pimpinannya hanya memberikan kartu pers dan mewajibkan wartawan mencari gaji sendiri dengan kartu pers itu, bahkan sebagian harus disetor ke perusahaan! Astaghfirullah nau’dzubillahi min dzalik…
Prinsip Kerja Kewartawanan
Dewan Pers dalam artikel di atas, juga menyampaikan beberapa hal yang dapat dijadikan pegagangan bagi masyarakat dan komunitas pers, berkaitan dengan prinsip kerja kewartawanan, di antaranya:
1. Wartawan dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya selalu berdasar pada prinsip-prinsip etika. Wartawan Indonesia telah memiliki Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menjadi acuan bagi seluruh wartawan di Indonesia.
2. Wartawan tidak boleh menggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta tidak meminta imbalan dalam mencari informasi.
3. Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktek penyalahgunaan profesi wartawan, dengan malaporkan aktivitas-aktivitas tidak profesional –yang mengatasnamakan sebagai wartawan– kepada kepolisian.
4. Kepada anggota masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah diharapkan agar cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran serrta status media tempatnya bekerja. Wartawan profesional selalu menggunakan cara-cara etis dalam mencari informasi.
5. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (uang amplop) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput. Kode Etik Wartawan Indoensia (KEWI) dengan jelas menyatakan, wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Pada bagian akhir artikelnya, Dewan Pers menegaskan, dengan tidak memberikan “uang amplop” berarti masyarakat turut membantu upaya penegakkan etika wartawan, serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.
Nah! Ayo, laporkan penyalahgunaan profesi wartawan kepada Dewan Pers atau ke aparat hukum! Wasalam. (www.romeltea.com).*