MEDIA massa (pers) harusnya mengawal dengan kritis jalannya pemerintahan.
Namun, alih-alih menjadi “watchdog” penguasa, media –dalam hal ini media arus utama (mainstream)– justru sudah menjadi bagian dari rezim Jokowi-JK. Akibatnya, daya kritis publik pun tumpul terhadap pemerintahan.
Demikian dikemukakan Pengamat Politik dari Universias Indonesia (UI) Panji Anugrah.
Ia mengatakan, dua kelompok masyarakat, yaitu media dan masyarakat kelas menengah, bertanggungjawab atas tumpulnya daya kritis publik saat ini .
Karena media menjadi corong pemerintah, maka tidak heran sikap kritis media dan kelas menengah menjadi tumpul meski kondisi saat ini dalam berbagai aspek sudah sangat memprihatinkan.
“Ada banyak perbedaan sikap publik terhadap rezim yang sekarang dan rezim sebelumnya. Contoh saja rezim SBY. Kalau di era SBY, media dan kelas menengah itu sangat kritis, dan sikap oposisionalnya sangat jelas. Sementara di era saat ini justru media dan kelas menengah menjadi pendukung rezim. Inilah yang menjadi penyebab meski kondisi lebih buruk, tapi tidak kelihatan kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang masif. Dan ini sangat tidak sehat untuk bangsa maupun kehidupan demokrasi,” ujar Panji seperti dikutip Tribunnews.
Saya sepakat dengan pandangan di atas. Di berbagai forum saya sering mengatakan media adalah “natural enemy” (musuh alami) penguasa, sebagaimana dikemukakan editor buku Pers Tak Terbelenggu (USIS Jakarta 1997):
“Pers dan pemerintah adalah musuh alami dengan fungsi berbeda dan harus saling menghormati peran masing-masing”.
UU No. 40/1999 tentang Pers juga menegaskan 4 fungsi pers:
“Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial” (Pasal 3 ayat 1).
Dari “gosip” dan “rumor” yang beredar, kalangan media saat ini sudah dikendalikan penguasa yang ditopang penyandang dana besar, termasuk dana untuk “membungkam” dan mengendalikan pemberitaan media.
Rupanya, “proyek pencitraan” tidak berlalu, tapi terus berlanjut. Agenda Setting media yang sudah “terbeli” oleh penguasa itu adalah membentuk citra positif demi mempertahankan kekuasaan rezim.
Media kita pun tidak kritis. Wartawan kehilangan daya kritis, bahkan idealismenya “tergadaikan”. Kebebasan, kemerdekaan, atau independensi pers tidak mati, namun pers arus utama kini “berpihak pada penguasa”.
Media (pers) selama ini dikenal sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) dalam struktur kenegaraan, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pers juga dikenal sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy).
Menurut Bagir Manan dalam Pers, Hukum, dan HAM (eBook Dewan Pers), fungsi esensial pers sebagai kekuatan keempat adalah untuk mengontrol dan sekaligus menjaga keseimbangan antar cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Selain itu, pers sebagai cabang kekuasaan keempat memfungsikan secara nyata pengawasan dan kendali publik terhadap kekuasaan.
Pers adalah perwujudan publicsouvereignty terhadap kekuasaan. Fungsi kontrol pers meliputi mengeritik, menilai dan menyampaikan kepada publik untuk menjamin agar semua kegiatan berbagai cabang kekuasaan sesuai dengan kehendak dan harapan publik.
Jika kekuatan keempat ini ditundukkan penguasa, maka wajar jika media menjadi “corong pemerintah” dengan menjalankan jurnalisme pemerintahan (government journalism). (Baca juga: Sisi Gelap Jurnalistik).
Media disebut kekuatan keempat karena dapat membentuk opini publik (public opinion). Opini publik dapat berkembang menjadi agenda publik (public agenda) dan menjadi kekuatan aspirasi masyarakat untuk menjadi kebijakan publik (public policy).
Kekuatan opini publik digambarkan Perdana Menteri Britania Raya pada Perang Dunia II, Winston Churchill (1874-1965), sebagai lebih tajam ketimbang pedang: “Pena lebih tajam daripada pedang”.
Sebagai watchdog –atau kontrol sosial dalam istilah UU Pers– media berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Media Harusnya Kritisi Pemerintah.
Namun, fungsi media seperti itu terasa lemah sekali di era pemerintahan saat ini. Beruntung kini publik memiliki media sosial dan blog yang bisa mengimbangi berita-berita bias media mainstream.
Faktor utama lenyapnya daya kritis media adalah terlibatnya para pemilik media (owner) ke dunia politik praktis. Otomatis, karena pada praktiknya media mengabdi pada kepentingan pemilik, maka pemberitaan pun mengacu kepada kepentingan politik sang pemilik dan “koalisinya”. Wasalam. (www.romeltea.com).*