Panduan Menulis di Media dari Rosihan Anwar

Panduan Menulis di Media dari (alm) H. Rosihan Anwar ini berjudul asli Beberapa Patokan dalam Menulis. Tips dari wartawan senior menjadi bacaan wajib para wartawan dan penulis di media massa.

Panduan menulis di media ini fokus pada gaya bahasa atau penggunaan kata/kalimat sehingga tepat jika disebut panduan praktis bahasa jurnalistik.

Berikut ini kutipan lengkap ulasan H. Rosihan Anwar sebagaimana tersebar di berbagai media:

Beberapa Patokan dalam MenulisPanduan Menulis di Media

Oleh H. Rosihan Anwar

Pada awalnya sudah kita katakan bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik.

Dalam hubungan itu, marilah kita tetapkan beberapa patokan dalam menggunakan bahasa jurnalistik.

Read More

Pengarang Amerika Ernest Hemingway yang memenangkan Hadiah Pulitzer dan Hadiah Nobel di waktu mudanya menjadi wartawan surat kabar Kansas City Star.

Panduan Menulis di Media

Di situ dia sambil bekerja diberi pelajaran tentang prinsip-prinsip penulisan berita. Pelajaran itu baik sekali dijadikan pedoman oleh wartawan Indonesia, apakah dia bekerja pada kantor berita, surat kabar, majalah, atau pada radio dan televisi. Prinsip yang diajarkan kepada Hemingway ialah sebagai berikut.

Gunakan kalimat-kalimat pendek.

Bahasa ialah alat bagi menyampaikan cipta dan informasi. Bahasa diperlukan untuk komunikasi. Wartawan perlu ingat supaya apa yang disampaikannya kepada khalayak (audience) betul-betul dapat dimengerti orang. Kalau tidak demikian, maka gagallah wartawan itu karena dia tidak komunikatif namanya.

Salah satu cara, dia harus berusaha menjauhi penggunaan kata-kata teknik ilmiah atau kalau terpaksa juga, dia harus menjelaskan terlebih dahulu apakah arti kata-kata tersebut.

Dia harus menjauhi kata-kata bahasa asing. Kalau maksud tercapai dengan memakai perkataan “ikut-sertanya”, “keikutsertaan”, maka baiklah diurungkan niat menuliskan perkataan yang lebih sulit, yaitu “partisipasi”.

Maka prinsip Panduan Menulis di Media yang dipegang ialah:

Gunakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang.

Khalayak media massa, yaitu pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula.

Mencapai khalayak yang beraneka ragam dengan berhasil merupakan masalah yang berat bagi wartawan. Bagaimanakah caranya supaya sedapat mungkin bertemu? Injo Beng Goat, pemimpin redaksi harian “KengPo” di Jakarta tahun 1950-an mempunyai semacam rumus.

Dia berkata kalau dia hendak menulis tajuk rencana, maka yang dibayangkan di depan matanya ialah pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamat SMP. Dengan patokan demikian dia berusaha menulis sesederhana dan sejernih mungkin.

Maka prinsip yang dipegang ialah:

Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya.

Kalimat bahasa Indonesia bersahaja sifatnya. Ia terdiri dari kata pokok atau subjek (S), kata sebutan atau predikat (P), dan kata tujuan atau objek (O). Misalnya, kalimat “Si Amat (S) pergi ke pasar (P) membeli sebuah pena”.

Kalimat demikian sudah lengkap berdiri sendiri. Karena terpengaruh oleh jalan bahasa Belanda atau bahasa Inggris, ada orang Indonesia yang biasa pula menulis kalimat yang panjang, berbentuk “compound sentence”, kalimat majemuk dengan induknya dan anaknya yang dihubungkan dengan kata sambung.

Misalnya, dia menulis, “Si Amat pergi ke pasar beli sebuah pena yang mana merupakan pemborosan tenaga oleh karena telah dikatakan kepadanya bahwa pena itu dapat juga dibeli di toko seberang rumahnya sehingga segala sesuatu lebih mudah jadinya”.

Dengan menggunakan kalimat majemuk, pengutaraan pikiran kita mudah terpeleset menjadi berbelit-belit dan bertele-tele. Sebaiknya, wartawan menjauhkan diri dari kesukaan memakai kalimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi “woolly” alias tidak terang.

Maka prinsip yang dipegang ialah:

Gunakan bahasa tanpa kalimat majemuk.

Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut dari wartawan. Berita demikian lebih menarik dibaca. Bandingkanlah, misalnya, kalimat yang berbunyi, “Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan” dengan kalimat yang berbunyi, “Si Polan memukul si Amat babak belur”.

Tidakkah terasa kalimat yang kedua jauh lebih hidup bergaya? Kecuali tentunya jika fokus hendak dijuruskan pada si Amat yang membuat kalimat pertama dapat dipertanggungjawabkan, maka umumnya cara menulis dengan kalimat kedua, yaitu dalam bentuk aktif lebih disukai dalam dunia jurnalistik. Kalimat pasif jarang dipakai, walaupun ada kalanya dia dapat menimbulkan kesan kuat.

Bagaimanapun juga, usahakanlah melaksanakan prinsip:

Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif.

Wartawan muda sering kali suka terhanyut menulis dengan mengulangi makna yang sama dalam berbagai kata. Ini dapat dipahami, apalagi jika dia hendak berkecimpung dalam dunia lirik dan puisi.

Dia mengira dengan demikian tulisannya menjadi lebih indah. Misalnya, dia menulis kalimat berikut, “Siapa nyana, siapa kira, siapa sangka hati Bobby hancur-luluh, runtuh-berderai karena gadis jelita elok rupawan si manis Yatie”.

Bahasa jurnalistik tidak menghajatkan hal demikian karena kata-kata yang dipakai harus efisien dan seperlunya saja. Kembang-kembang bahasa harus dihindarkan. Bahasa jurnalistik harus hemat dengan kata-kata.

Maka prinsip yang harus diingat:

Panduan Menulis di Media: Gunakan bahasa padat dan kuat.

Kembali kepada pengarang Ernest Hemingway, ia mengemukakan sebuah prinsip lain dalam penulisan berita. Kita bisa menulis umpamanya kalimat berikut, “Wartawan Sondang Meliala tidak menghendaki penataran wartawan olahraga”.

Kalimat ini secara teknis dinamakan berbentuk negatif (lihat perkataan “tidak menghendaki”). Akan tetapi, dengan arti yang persis sama, kita bisa pula menulis, “Wartawan Sondang Meliala menolak penataran wartawan olahraga”.

Kalimat ini dinamakan berbentuk positif (perkataan “menolak” positif sifatnya dibandingkan dengan perkataan “tidak menghendaki” yang mengandung perkataan “tidak” dan karena itu bersifat negatif. Manakala di antara kedua kalimat tadi yang kita pilih? Hemingway menasihatkan supaya sedapat-dapatnya kita menulis dalam bentuk kalimat positif.

Maka prinsip yang dipegang ialah:

Gunakan bahasa positif, bukan bahasa negatif.

Demikianlah secara selayang pandang diberikan tadi suatu gambaranikhtisar atau “overview” tentang bahasa jurnalistik Indonesia.

  • Definisinya diberikan, sifat-sifat khasnya dicirikan, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik.
  • Pendasarannya diunjukkan, yaitu harus berdasar bahasa baku.
  • Pokok-pokok aturan tata bahasa Indonesia tidak boleh diabaikannya.
  • Ejaan baru ditaatinya.

Dalam pertumbuhan kosa kata, dia mengikuti dan mencerminkan perkembangan masyarakat.

Demikian Panduan Menulis di Media dari Rosihan Anwar. Wasalam.(www.romeltea.com).*

Sumber: Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi karya H. Rosihan Anwar. Penerbit Media Abadi, Yogyakarta 2005.

Related posts