GELAR Lulusan Pasca Sarjana atau Program Magister (S2) adalah syarat mutlak menjadi dosen atau pengajar di kampus perguruan tinggi.
Kompetensi bisa jadi nomor sekian. Meski tidak kompeten, asalkan minimal bergelar S2, Anda bisa berkarier di dunia akademis (kampus) atau berprofesi sebagai dosen.
Syarat jadi dosen minimal S2 tercantum dalam dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 46 Ayat (2) UU Guru dan Dosen menegaskan, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister (S2) untuk (pengajar) program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
Namun, dalam ayat berikutnya disebutkan, setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.
Belakangan, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, menegaskan, syarat jadi dosen atau pengajar di perguruan tinggi bukanlah gelar master atau sarjana S2, melainkan kompetensi.
Karenanya, Kemenristekdikti membuat terobosan kebijakan mengenai syarat seorang pengajar atau dosen di perguruan tinggi.
Jika selama ini syarat seorang dosen harus bergelar ijazah S2, maka ke depan sudah tak menjadi syarat utama lagi.
Menurut Nasir, seseorang yang tak memiliki gelar, tapi kompetensinya sangat baik, juga harus diberi kesempatan untuk mengajar di hadapan para mahasiswa.
“Yang tadinya dosen harus S2, nanti S1 atau D4 juga boleh,” kata Nasir di Semarang, Senin, 5 Desember 2016, seperti dikutip Tempo.
Nasir memberi catatan orang yang kompeten tersebut harus mengantongi kualifikasi dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Kualifikasi KKNI ada jenjang atau level mulai dari 1 hingga 9. Level 5 setara dengan diploma, level 6 setera dengan sarjana, level 7 setara profesi, level 8 setara dengan S-2, dan level 9 setara dengan gelar doktor.
Nasir menyatakan seseorang yang ingin mengajar tapi tak punya gelar akademik, harus memenuhi syarat KKNI minimal level 8.
Nasir menilai, banyak sekali orang yang memiliki kompetensi tapi tak bergelar. Potensi ini harus dimanfaatkan di dunia kampus. Tujuannya agar dunia kampus semakin memiliki dinamika yang lebih baik.
“Sehingga orang tak harus berburu mencari ijazah. Sebaliknya, kompetensi menjadi sangat penting sekali,” kata Nasir.
Nasir menambahkan, perguruan tinggi juga bisa memberikan gelar doktor honoris causa terhadap orang yang tak memiliki gelar S1.
Nasir menyatakan, saat ini bangsa Indonesia harus melihat kondisi riil di dunia. Banyak orang yang memiliki keahlian tapi tak memenuhi syarat akademik. Padahal, kompetensi orang tersebut sangat berpengalaman dalam bidang tertentu.
Pernyataan Menristek Nasir menuai pro-kontra. Yang pro menyebut Pak Menteri berpikiran maju dan tidak kaku. Yang kontra menuding Pak Menteri berpikiran mundur.
Saya kutip beberapa komentar di laman berita Tempo:
- Ini baru terobosan. Klo ingin cari kualitas ya harus yg kompeten bukan ijazah. Skarang ini ada tendesni mencari gelar dg berbagai cara melalui lembaga penerbit ijazah S2 dan bahkan S3, tp bernuansa bisnis.
- Sudah agak melèk rupanya Menristèk kita ini, sejak thn 70an para Dr/Prof Asing saya antar unt belajar (m.buat penelitian) banyak dari ibu2 para “baul jamu” dsb , Chef Istana Ker.Blanda belajar beberapa macam masakan dari mbok2 di Solo.
Jenis-Jenis Dosen
Dosen itu juga ada jenisnya, yakni Dosen Tetap, Dosen Tidak Tetap, dan Dosen Honorer.
Di situs kopertis12 disebutkan, Dosen Tetap adalah dosen dosen yang bekerja penuh waktu, berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu, serta mendapat pengakuan dari Dikti dengan pemberian NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional), seperti PNS dan Dosen Tetap Yayasan yang diangkat di Perguruan Tinggi Swasta.
Dosen Tidak Tetap adalah dosen kontrak yang diangkat Pimpinan PT/Yayasan selama jangka waktu tertentu, mereka berhomebase di PT yang kontrak mereka, bekerja penuh atau tidak penuh waktu, padanya diberi NUPN (Nomor Urut Pengajar Nasional)
Yang termasuk kelompok Dosen Tidak Tetap a.l. dosen kontrak yang tidak memenuhi SALAH SATU persyaratan Permendikbud No. 84 Tahun 2013, misalnya kualifikasi belum S2.
Dosen Honorer adalah dosen yang mengajar di Perguruan Tinggi tanpa ada ikatan kerja (tidak dikontrak), mereka tidak memiliki homebase, tidak didata dalam pdpt sehingga tidak memiliki NUPN
Yang termasuk kelompok Dosen Honorer adalah Dosen Pengganti, Dosen Tamu, dan Dosen Luar Biasa.
Saya Dosen Honorer
Saya menjadi dosen honorer sejak 1999 di sejumlah perguruan tinggi di Kota Bandung. Saya mengajarkan mata kuliah komunikasi, media, jurnalistik, public speaking, radio broadcasting, ilmu politik, bahkan pernah mengajarkan mata kuliah agama (Islam).
Saya pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom), LP3I, Univeritas Kebangsaan, Univeritas Al-Ghiffari (Unfari), dan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung.
Paling lama mengajar di UIN Bandung, yaitu sejak 2003, alias sudah 14 tahun (hingga 2017).
Sejak 2010, saya putuskan hanya mengajar di UIN karena jaraknya dekat dengan rumah. Tawaran mengajar di kampus lain saya tolak dengan alasan “males kalo jauh mah”.
Dipecat karena Bukan S2
Namun, sejak semester genap 2017, saya “dipecat” sebagai dosen honorer di UIN Bandung. Alasannya, saya bukan master (S2), hanya S1. (Kasian yah sayah? :)
Pengabdian atau dedikasi selama 14 tahun, loyalitas, kompetensi, plus “pertemanan” dengan sejumlah petinggi kampus “tidak ada artinya” karena kalah dengan Syarat Mutlak Dosen S2.
Di UIN Bandung saya menjadi dosen honorer di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
Saya mengampu Mata Kuliah Jurnalistik Radio dan Jurnalistik Online. Saya juga sudah menulis bukunya.
Pernah lama juga mengampu mata kuliah lain, seperti Manajemen Program Siaran Radio dan Perbandingan Pers.
Kini, profesi dosen bagi saya tinggal kenangan. Saya bangga pernah jadi dosen, meskipun cuma dosen honorer. Wasalam. (www.romeltea.com).*