Antara PLTSa, KPK, GBLA, dan Persib Bandung

PLTSa_Gelora BLA
Gambar bangunan PLTSa yang berdiri tepat di samping Gelora BLA.

PENAHANAN Wali Kota Bandung Dada Rosada oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak otomatis memadamkan isu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) alias pabrik sampah.

Semula, banyak pihak mengira, penahanan Dada akan menghentikan rencana pembangunan PLTSa di kawasan Gedebage, tepat berdampingan dengan Gelanggang Olahraga Bandung Lautan Api (Gelora BLA) atau Stadion GBLA.

Mayoritas anggota DPRD Kota Bandung tampak masih “bersemangat” dan “meneruskan kengototan” Dada Rosada untuk membangun pabrik yang sejak semula ditentang warga sekitar dan para aktivis lingkungan hidup.

DPRD memang membatalkan rapat paripurna pengesahan Raperda Persetujuan DPDR tentang PLTSa Kamis (29/8/2013), sehingga penandatanganan kerja sama pembangunan PLTSa antara Pemkot Bandung dan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) yang awalnya dijadwalkan akan berlangsung pada 3 September 2013 kemungkinan besar akan diundur. Namun, itu tidak berarti rencana PLTSa dibatalkan.

Seperti diberitakan “PR Online” (29/8/2013), Ketua DPRD Kota Bandung Erwan Setiawan menegaskan, pembangunan PLTSa sudah ditetapkan melalui rapat paripurna sebelumnya sebagai keputusan tertinggi dan tidak bisa ditawar lagi.

Menurut dia, pembatalan paripurna tersebut tidak berhubungan langsung dengan pembangunan PLTSa. “Tidak akan dibatalkan pembangunannya (PLTSa, red.), karena semua proses sudah dan sedang berjalan,” ujarnya.

Read More

DPRD dan Pemerintah Kota Bandung terkesan “tetap akan menyegerakan” pengesahan rencana pembangunan PLTSa sebelum pelantikan Wali Kota Bandung yang baru, Ridwan Kamil, pada 16 September 2013. Ridwan Kamil sejauh ini mengisyaratkan ketidaksetujuannya atas pembangunan PLTSa.

Lima Isu PLTSa

Setidaknya, ada lima isu yang selama ini mewarnai perjalanan rencana pembangunan pabrik sampah PLTSa yang rencananya tepat dibangun berdampingan dengan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (BLA) di kawasan Gedebage itu.

Pertama, isu lingkungan. Mayoritas pakar lingkungan, antara lain disuarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, menentang PLTSa karena pabrik sampah ini berpotensi merusak lingkungan dan mengancam nyawa warga Bandung, terutama warga sekitar lokasi pabrik.

Mereka berpendapat, PLTSa berpotensi menyebarkan racun yang akan merusak sistem saraf warga Bandung. Racun hasil pembakaran sampah itu (dioksin) akan menyebar ke seluruh warga Kota Bandung dan sekitarnya.

Kekhawatiran tersebut diperkuat dengan tidak adanya jaminan keselamatan, baik dari Pemkot, DPRD, maupun PT BRIL sebagai pemenang tender proyek. Apalagi, tersiar kabar di kalangan masyarakat, PLTSa di Gedebage nanti tidak akan secanggih PLTSa di China ataupun Singapura.

Diibaratkan hotel, jika di China dan Singapura PLTSa-nya sekelas hotel bintang empat atau lima, maka PLTSa Gedebage “hanya” sekelas hotel melati bahkan penginapan. Dalam istilah Wali Kota Bandung Dada Rosada, jika PLTSa di China sekelas rumah sakit, maka PLTSa Gedebage hanya sekelas Puskesmas.

Kedua, isu penolakan warga sekitar. Gencarnya sejumlah aktivis lingkungan hidup tentang bahaya PLTSa, menjadi alasan utama 100% warga sekitar lokasi menentang PLTSa.

Sejak isu PLTSa muncul, warga kompeks Griya Cempaka Arum (GCA) dan sekitarnya, berkali-kali melakukan aksi unjuk rasa yang didukung oleh para aktivis lingkungan hidup.

Penolakan semakin keras ketika hasil studi banding sejumlah warga bersama Wali Kota Bandung Dada Rosada dan Ketua DPRD Kota Bandung (saat itu) Husni Muttaqin ke Singapura, 7 Desember 2008.

  • PLTSa Singapura (IUT Singapore PTE Ltd, di 99 Tuas Bay Drive Singapore dan Senoko Incineration Plant) jauh dari permukiman penduduk (jarak antara PLTSa dengan permukiman terdekat sekitar 4-5 km)
  • Gas berbahaya hasil pembakaran relatif aman setelah disaring dan dibuang ke udara melalui cerobong asap yang cukup tinggi (sekitar 150 meter)
  • Berada di kawasan khusus industri di bagian barat Singapura, dekat pantai
  • Jauh dari pusat kota Singapura –butuh waktu sekitar 2-3 jam perjalanan darat dari pusat kota.

Berbeda dengan PLTSa Singapura yang ada di area khusus idustri, pinggir pantai, dan jauh dari permukiman penduduk, PLTSa Gedebage hanya berjarak puluhan meter dari Kompleks Perumahan GCA dan warga sekitar lainnya.

Jika terjadi kebocoran, maka gas beracun (dioksin) akan menyebar ke seluruh Kota Bandung mengingat kondisi Bandung yang berupa “cekungan”.

Ketiga, isu baru berupa ancaman bagi Stadion GBLA. Menurut rencana, PLTSa akan tepat berdampingan dengan stadion baru yang akan menjadi kandang baru tim sepabola kesayangan Bandung dan Jawa Barat, Persib Bandung.

Bisa dibayangkan, bagaimana reaksi bobotoh jika mengetahui stadion itu sewaktu-waktu tercemar gas beracun PLTSa. Lagi pula, stadion yang disebut-sebut bertaraf internasional itu, bisa-bisa tidak bisa digunakan untuk pertandingan internasional karena dilarang FIFA –dengan alasan keselamatan dan kesehatan.

Paling tidak, jika PLTSa jadi dibangun berdampingan dengan Stadion GBLA, maka bobotoh dari seluruh Jabar yang selama ini setia mendukung Persib akan “akrab” dengan bau sampah dari PLTSa, bahkan terancam gas beracun dan polusi udara.

Selain itu, citra Stadion GBLA sebagai markas Persib ini pun akan tercemar karena secanggih-canggihnya PLTSa tetap saja ia “pabrik sampah”.

Keempat, isu anggaran. PLTSa disebut-sebut tidak lebih dari pabrik yang akan membakar uang APBD Kota Bandung. Setidaknya, pendapat itu dikemukakan Walhi Jabar dalam sebuah siaran persnya (18/8). Selain memasalahkan kejanggalan dalam tender atau mekanisme lelang, penolakan warga, dampak lingkungan hidup dan pengalaman buruk di negara lain, Walhi juga menyoroti soal biaya pembangunan dan beban tipping fee.

Pembangunan PLTSa yang mencapai Rp 562 milyar dinilai hanya akan membebani dana publik. Beban biaya jasa pengolahan (tipping fee) di luar biaya pengangkutan sampah yang akan dibebankan kepada warga juga sangat besar. Tipping fee PLTSa mencapai Rp 350.000 per ton per hari.

Jika sampah yang diangkut sebesar 700-1000 ton per hari, maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp245-350 juta per hari atau Rp89,5 hingga 127,8 milyar per bulan di luar biaya pengangkutan, biaya bottom ash-fly ash ke TPA.

Kelima, muncul dugaan adanya kolusi dalam proyek PLTSa. Setidaknya, dugaan itu dikemukakan anggota Pansus V DPRD Kota Bandung, Ega Megantari.

Seperti dikutp “PR Online” (28/8/2013), Ega menuding ada beberapa pasal perjanjian yang berpotensi kolusi. Misalnya pasal 7 terkait penggunaan tanah, disebutkan bahwa pihak kedua dilarang menggunakan lahan konsesi selain untuk kepentingan proyek, kecuali atas persetujuan pihak pertama.

Selain itu, ia juga mengemukakan kejanggalan jika Wali Kota Bandung Dada Rosada menandatangani perjanjian kerja sama tersebut dari dalam rutan.

Dalam rencana perjanjian kerja sama pasal 5 disyaratkan pihak pertama (Wali Kota Bandung) dan pihak kedua (PT BRIL) tidak sedang dikenakan denda atau terlibat dalam suatu tindakan atau proses penyelidikan kriminal, atau tidak melakukan tindakan suap atau gratifikasi dalam memperoleh hak konsesi PLTSa, itu perlu dikonfirmasi ke kejaksaan, pengadilan, dan KPK.

Kecurigaan “kongkalikong” tersebut bisa menjadi bahan awal bagi warga Bandung untuk meminta KPK menurunkan tim investigasi soal proyek PLTSa ini.

Penolakan Warga

Isu-isu penting seputar PLTSa itu tampaknya “tidak dicermati” oleh mayoritas anggota DPRD dan Pemkot Bandung saat ini. Itu juga menimbulkan kecurigaan, apakah karena tidak tahu, tidak mengerti, ataukah ada “kepentingan lain” terkait deal dengan PT BRIL.

Sekali lagi, kecurigaan atau dugaan adanya “kongkalikong” tersebut bisa menjadi bahan awal bagi warga Bandung untuk meminta KPK menurunkan tim investigasi soal proyek PLTSa ini.

Jika Pemkot Bandung tetap melanjutkan proyek PLTSa Gedebage, dengan memperhatikan isu-isu penting di atas, maka warga sekitar akan tetap menentangnya.

Lambat-laun, seluruh warga Kota Bandung bahkan warga Jabar pun, jika sudah memahami bahaya PLTSa, juga akan menentangnya, karena ternyata bukan hanya warga sekitar yang terancam bahaya, tapi juga warga Bandung secara keseluruhan dan Stadion GBLA sebagai markas tim kebanggaan warga Jabar, Persib Bandung.

Bisa jadi, Persib Bandung dan tim-tim sepakbola lain tidak merasa nyaman dan menolak bertanding di tengah ancaman bahaya gas beracun akibat kebocoran PLTSa. Wasalam.*

 

Related posts