“Breaking news: Journalism is dead!” tulis Diary of Crisis Mapper, lima tahun lalu.
Alasannya, jurnalis (wartawan) kini tidak lagi memegang peran sebagai “penjaga pintu gerbang” (gatekeepers) informasi. “Journalists are the gatekeepers of information. No they are aren’t anymore.”
Kini kita bisa membaca begitu banyak informasi, baik tentang peristiwa aktual maupun data lama (sejarah), di media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Informasi bahkan lebih cepat ada dan menyebar di media sosial. Beberapa detik setelah race MotoGP berlangsung, misalnya, kita sudah bisa tahu hasil balapan itu di Twitter, lengkap dengan catatan waktu, foto, dan video.
Dulu, jurnalis menjadi satu-satunya pihak yang punya akses informasi sebelum orang lain. Kini tidak lagi. Semua orang bisa mempraktikkan jurnalisme melalui media sosialnya.
“Today eyewitnesses get information out before they even talk to a journalist: they tweet it, they facebook it, they blog it, they text it. For this same reason the meaning of “Breaking News” is becoming blurry and definitely not part of the “journalist” jargon anymore.”
Fakta di atas diperparah dengan gaya jurnalisme online yang terkesan seenaknya menulis judul berita.
Banyak media online (situs berita) yang sudah tidak peduli lagi dengan cara menulis judul berita yang baik.
Kini jurnalis online sudah terjangkiti penyakit “jurnalisme kuning” versi baru, yakni “jurnalisme umpan klik” (clickbait journalism).
Judul-judul yang berusaha memancing rasa penasaran pembaca, dengan maksud linknya diklik, sudah menjadi fenomena jurnalisme masa kini di internet.
Judul Umpan Klik adalah modus media online menarik minat pembaca dan meningkatkan trafik situsnya.
Wartawan online gak usah lama-lama mikirin judul berita. Cukup bikin judul kayak bikin status di media sosial: “Ini komentar Djanur tentang Kritikan Bobotoh” atau “Ini Kata Umuh tentang Essien, Merinding Bacanya!”
Segitu dulu. Masih perlu belajar jurnalistik? Wasalam. (www.romeltea.com).*