SEBENARNYA sudah sejak lama saya ingin memposting tulisan ini, tepatnya sejak gencarnya pemberitaan tentang gempa bumi di Sumatra Barat (Sumbar).
Saya ingin mengoreksi penulisan kata “Sumatra”, bukan “Sumatera”.
Mayoritas media massa menulis “Sumatera”, hanya sebagian kecil media yang menuliskannya dengan benar, “Sumatra”, sesuai dengan kaidah EYD tentang penulisan kata-kata baku dan tidak baku.
Yang kian mendorong saya mem-posting tulisan ini yaitu ketika menerima naskah koreksian sebuah tabloid.
Dalam tabloid itu, isu gempa Sumatra menjadi topik utama dan banyak dibahas di rubrik lain. Redaksi tabloid tersebut menulis “Sumatera”, lalu saya edit, saya koreksi, menjadi “Sumatra”.
Lucunya, setelah dikirim balik, editor tabloid tersebut mencoret hasil koreksi saya dan menuliskan kembali kata “Sumatera”.
Ketika saya mengecek kata “Sumatera” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keluar ini:
Su.ma.te.ra /sumatêra/
→ Sumatra
Kita diarahkan untuk klik kata “Sumatra” dan muncul pengertian kata Sumatra berikut ini:
Su.ma.tra
bentuk tidak baku: Sumatera
n pulau di wilayah barat Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di sebelah timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia
Kata “Sumatra” juga bisa ditemukan misalnya ketika kita mengetikkan kata “pulau”:
pu·lau n tanah (daratan) yg dikelilingi air (di laut, di sungai, atau di danau);
berlayar di — kapuk, cak tidur; — sudah lenyap, daratan sudah tenggelam, pb sudah tidak ada harapan lagi (gagal sama sekali); berlayar menentang (mengadang, menuju) — , pb setiap usaha harus ada tujuannya: berlayar sampai ke — , berjalan sampai ke batas, pb segala usaha hendaklah diselesaikan sampai tercapai maksudnya;
— Dewata, Pulau Bali; — harapan, (biasanya yg dimaksud ialah) Sumatra; — es pulau yg terjadi dr es; — Langerhans Dok kelompok sel endoktrin pd pankreas yg menghasilkan hormon insulin; — perca Pulau Sumatra;
me·mu·lau·kan v mengasingkan; memboikot: kaum buruh pelabuhan dan pengangkutan akan ~ kapal itu;
pe·mu·lau·an n proses, cara, perbuatan memulaukan; pengasingan; pemboikotan;
ke·pu·lau·an n gugusan beberapa buah pulau; kumpulan pulau: ~ Nusantara, ~ Riau
Pengetahuan soal kata-kata baku dan tidak baku rupanya masih menjadi salah satu masalah di redaksi media.
Saya yakin, kesalahan penulisan itu semata-mata karena ketidaktahuan dan salah kaprah, yakni kesalahan yang berulang-ulang terjadi tanpa ada yang mengoreksi sehingga merasa benar.
Saya tidak tahu, apa yang dilakukan lembaga-lembaga bahasa yang bertanggung jawab mengawal tata bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), saat mereka melihat begitu banyak kesalahan menulis kata baku.
Mestinya mereka bertindak, mengirimkan surat koreksi, bahkan teguran, sekaligus sosialisasi kata baku (EYD).
Anehnya, saya kok suka merasa risih, terganggu, jika melihat ada kesalahan penulisan kata atau kalimat di media massa atau di reklame.
Misalnya, saya masih sering melihat penulisan kata “pun” yang disatukan dengan kata yang diikutinya, seperti “apapun”, “siapapun”, “dimanapun”, “akupun”, “diapun”, dan sebagainya.
Mestinya, partikel pun yang artinya juga atau sebagai penegasan, ditulis terpisah dengan kata yang diikutinya. (Baca: Partikel Pun Tulis Terpisah!)
Jadi, penulisan yang benar adalah “apa pun”, “siapa pun “, “di mana pun”, “aku pun,” dan “dia pun”.
Penulisan “pun” hanya disatukan dalam kata yang memang merupakan satu-kesatuan, seperti meskipun, walaupun, adapun, dan kalaupun.
Contoh lain adalah penulisan sifat Allah “maha”. Yang benar, jika kata dasar yang digunakan, maka penulisannya disatukan, misalnya:
- “Mahakuasa”, “Mahakaya”, “Mahakasih”, “Mahabijaksana”
- Bukan “Maha Kuasa”, “Maha Kaya”, “Maha Bijaksana”, kecuali “Maha Esa” yang sudah “telanjur” masuk dalam Pancasila.
Jika bukan kata dasar, penulisannya dipisah, seperti “Maha Mengetahui”, “Maha Berkehendak”, “Maha Pemberi”, “Maha Pengampung”, “Maha Pengasih”, dan “Maha Penyayang”.
Di blog ini saya sudah posting daftar kata baku dan tidak baku yang mestinya disosialisasikan oleh lembaga bahasa yang sudah digaji dan didanai oleh negara! Uh, payah…! Ke mana lembaga bahasa neeh…? Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).*