Wartawan Amplop adalah julukan bagi wartawan tidak profesional atau wartawan abal-abal yang memburu uang dari narasumber atau panitia. Mereka bahkan tidak layak disebut wartawan.
Baru saja masuk ruang kantor, belum sempat simpan jaket dan duduk, ada panggilan telefon.
“Kang, saya mau ngobrol, ini ada wartawan, maksa mau wawancara, saya tidak mau…”
“Dari media mana…?”
“Itu dia, Kang, makanya saya tolak, gak jelas medianya!”
“Ya sudah, tolak baik-baik, Pak, dengan halus.”
“Maksa terus, Kang!”
“Layani saja kalo begitu, dia mau wawancara apa?”
“Bukan begitu, Kang, ujung-ujungnya minta duit!”
“Waduh, bukan wartawan tu pak, pengemis berkedok wartawan!”
Kita garis bawahi “medianya ‘gak jelas”. Mungkin, bukan gak jelas, tapi medianya kategori “periferal”, media pinggiran, bukan media mainstream.
Saya berani jamin, kalo media mainstream, katakanlah Republika, Kompas, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, atau Media Indonesia, wartawannya tidak mungkin berkelakuan menyebalkan atau maksa-maksa untuk wawancara, apalagi “wawancara plus”, plus minta duit!
Wartawan dengan “media tidak jelas” cenderung menjadi wartawan amplop, wartawan bodrex, bahkan wartawan gadungan.
Medianya kadang terbit, kadang tidak. Ia tidak digaji oleh medianya, tapi “menggaji sendiri”, dengan modal “kartu pers”. Datang ke sebuah acara, ke seorang pejabat, lalu “pura-pura” wawancara, bikin berita, ditutup dengan doa, eh… dengan minta duit!
Wartawan yang kelakuannya mencoreng nama baik profesi mulia wartawan itu masih saja gentayangan, cari mangsa. Ampun deh, gimana menertibkannya ya…?
Hmmh… kayaknya Dewan Pers bahkan polisi, bila perlu Densus 88 –karena “wartawan pemeras” itu juga teroris tuh– harus turun tangan, mengganyang wartawan model begitu!
Jelas, wartawan yang minta duit, menerima atau meminta imbalan kepada narasumber, apalagi maksa, melanggar kode etik jurnalistik.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) menegaskan: wartawan Indonesia dilarang menyalahgunakan profesi!
Entah berapa kali saya menerima “pengaduan” seorang kepala sekolah, staf humas instansi, yang mengeluhkan kelakuan wartawan bodrex yang minta duit atau bahkan “main ancam”. Saya selalu bilang, lawan! Kalo memaksa, apalagi memeras, laporkan ke polisi!
Kepala sekolah, seperti yang nelfon saya di atas, sering menjadi bulan-bulanan “wartawan bodrex”.
Saya bilang, kalo ada wartawan cari informasi, wawancara, layani dengan baik. Kasih minum dan makanan layaknya sama tamu, boleh dan sah, bahkan harus.
Tapi kalo ujung-ujungnya minta duit, dengan alasan uang transport, bilang saja: wartawan ‘kan tugasnya cari info, bukan nyari duit. Yang harus nyari duit tuh bagian iklan, bagian marketing!
Kepala sekolah atau siapa pun yang merasa dirugikan oleh ulah wartawan, mengadu saja kepada Pemimpin Redaksinya atau langsung kepada Dewan Pers. Form pengaduan ada di www.dewanpers.org.
Wartawan bukan sosok menakutkan atau harus ditakuti. Wartawan profesional pasti menaati kode etik, antara lain tidak menerima apalagi meminta dan memaksa “uang transport”.
Di belahan dunia mana pun, wartawan itu bukan pengemis, sekali lagi, bukan pengemis atau pemeras layaknya preman!
Saya jadi wartawan sejak 1993, belum pernah sekalipun menerima apalagi minta duit kepada narasumber.
Menerima atau meminta imbalan duit kepada narasumber, selain melanggar kode etik jurnalistik, juga merendahkan dan menjatuhkan “sejatuh-jatuhnya” harkat-martabat wartawan. Ayo, ganyang wartawan amplop! Wasalam. (www.romeltea.com).*