Jumlah media massa di Indonesia sekitar 47.000, terbanyak di dunia. Dari jumlah tersebut, 43.000 di antaranya atau mayoritas berupa media online (media siber). Yang layak disebut media profesional baru mencapai 0,04 persen.
Demikian dikemukakan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
“Jumlah itu (43.300) merupakan hasil perjalanan selama empat tahun (sejak Februari 2013) menjadi anggota dewan pers,” katanya dalam Konvensi Nasional Media Massa – Hari Pers Nasional (HPN) di Padang, Kamis (8/2/2018).
Diungkapkan, media-media online itu ada yang betul ingin menjadikan media profesional, tetapi lebih banyak lagi yang hanya memanfaatkan untuk semata mencari uang.
Modus media yang hanya cari uang, menurut Yosep, antara lain menuntut kerjasama dan bantuan dan APBD. Kalau keinginan tak dipenuhi, maka akan muncul berita negatif yang memojokkan.
“Dengan ledakan media online itu munculah ‘wartawan tiban’ yang sama sekali tak memiliki pengetahuan tentang jurnalistik dan pemahaman soal kode etik jurnalistik,” katanya.
Merujuk pada proses pendataan yang pernah dilakukan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Data Pers 2015, media online yang memenuhi syarat disebut perusahaan pers dan profesional berjumlah 168 perusahaan.
“Artinya hanya 0,04 persen media online yang layak disebut profesional,” ungkapnya dikutip Merdeka.
Pengertian Media Profesional
Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan “media profesional”. Yang jelas, Dewan Pers selama ini merujuk pada ketentuan, sebuah media layak disebut media pers jika berbadan hukum perusahaan (PT) yang bergerak di bidang media atau pers.
Pasal 9 Ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan: “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia”.
Sejak diberlakukannya UU Pers, setiap warga negara berhak mendirikan penerbitan pers (Pasal 9 ayat 1). Namun, itu tadi, harus berbadan hukum.
Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tidak lagi berlaku. Artinya, mendirikan media saat ini tidak memerlukan SIUPP, hanya harus berbadan hukum. Pencabutan SIUPP atau “breidel” juga sudah menjadi masa lalu.
Ketentuan pers/media harus berbadan hukum diperkuat Surat Edaran Dewan Pers tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers:
- Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia (UU Pers). Sesuai Standar Perusahaan Pers, badan hukum Indonesia yang dimaksud di atas berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau badan-badan hukum lainnya yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan hukum lainnya yaitu yayasan atau koperasi.
- Sesuai Pasal 1 angka 2 UU Pers, badan hukum untuk penyelenggaraan usaha pers adalah badan hukum yang “secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi“. Dengan demikian, bentuk badan hukum untuk usaha pers tidak dapat dicampur dengan usaha lain selain di bidang pers.”
Menurut Dewan Pers, ketentuan badan hukum ini merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap jurnalis (wartawan) dalam menjalankan pekerjaannya untuk mendapat kepastian hukum.
Kini dunia memasuki era digital, era internet, atau era media online. Situs-situs berita bermunculan, baik yang mengarah ke “media jurnalistik” maupun yang menjadi “media propaganda”. (Baca: Media Jurnalistik vs Media Propaganda).
Media online bisa diterbitkan oleh siapa saja, perseorangan sekalipun. Bahkan, banyak pula media online yang pengelola, redaksi, atau manajemennya “anonim” alias tanpa identitas, juga tanpa nama lembaga dan alamat.
Blog pun bisa berubah menjadi media online dalam pengertian situs berita, jika kontennya berupa karya jurnalistik (berita, feature, opini) dan multi-kategori.
Badan Hukum Saja Tidak Cukup
Untuk menjadi media profesional, badan hukum saja tidak cukup. Sebuah media harus dikelola kalangan profesional, terutama bagian redaksi, mulai dari Pemimpin Redaksi hingga Koresponden.
Wartawan adakah sebuah profesi. Karenanya, ia wajib bekerja secara profesional, yaitu:
- Memiliki keahlian khusus (jurnalistik)
- Menaati kode etik profesi (kode etik jurnalistik)
Keahlian khusus, yakni jurnalistik, meliputi teknik reportase, teknik menulis berita (news writing) atau menyajikan berita (news presenter), minimal menulis berita dengan baik dan benar (sesuai dengan kaidah jurnalistik).
Kode Etik Jurnalistik adalah acuan wartawan dalam bekerja, seperti tidak menerima suap (sogok), tidak menyalahgunakan profesi (misalnya memeras), berimbang dalam pemberitaan, disiplin verifikasi, dan tidak mencampurkan fakta dan opini dalam penulisan/penyampaian berita.
Yang dimaksud media tidak profesional, selain tidak berbadan hukum, juga wartawannya tidak memiliki keahlian jurnalistik yang memadai dan tidak menaati kode etik jurnalistik. Wasalam. (www.romeltea.com).*