Stop Budaya Amplop buat Wartawan!

wartawan-amplopSUATU pagi, dua orang anggota panitia sebuah seminar berunding soal kalangan media massa yang akan diundang.

Fokus pembicaraan adalah soal wartawan media mana saja yang akan diundang. Tema itu tidaklah mengusik perhatian saya karena itu hal biasa.

Konsentrasi saya –saat itu tengah menyusun soal UTS– terusik ketika kedua orang itu menyoal jumlah uang yang akan dimasukkan ke dalam amplop bagi masing-masing wartawan.

“Kenapa harus dikasih uang?” tanya saya. “Ah si Akang, kayak bukan wartawan aja…” jawab salah seorang dari mereka, datar.

“Tidak, ‘gak usah itu!” sergah saya. “Tidak dikasih uang pun mereka insya Allah datang dan membuat beritanya, apalagi pembicara yang akan hadir itu orang-orang kategori newsmaker, pembuat berita!”.

Tidak digubris. Keduanya malah ngeloyor pergi.

Read More

Panitia seminar tadi hanya satu kasus yang menjadi faktor penumbuhkembangan “budaya amplop” di kalangan wartawan. Itulah kebiasaan buruk. Eksesnya, wartawan jadi “ketagihan” sehingga memasalahkannya jika dalam sebuah acara tidak ada “amplop”.

Kita sangat “angkat topi” bagi sejumlah media massa yang mengharamkan wartawannya menerima amplop, karena memang itu tidak perlu.

Isi amplop hanya akan membebani sang wartawan untuk menurunkan berita, padahal dimuat-tidaknya sebuah berita bukan wewenangnya, melainkan wewenang redaktur yang menjadi atasannya.

Lain soal jika sang redaktur “kecipratan” dan turut punya beban moral.

“Budaya amplop” juga mengurangi profesionalisme para wartawan, termasuk bobot berita.

Berita adalah laporan peristiwa. Namun tidak semua peristiwa layak dilaporkan (dijadikan berita). Sebuah peristiwa layak dibertakan (fit to print) hanya jika mengandung nilai-nilai jurnalistik atau news value, seperti aktual, faktual, penting, dan menarik.

Sebuah amplop dapat membuat wartawan menjalankan tugasnya secara tidak fair, berat sebelah, biased, hanya menguntungkan satu pihak.

Wartawan profesional menulis berita secara seimbang (balance), cover both side, memegang teguh Fairness Doctrine (doktrin kejujuran).

Jika demikian, pembaca atau masyarakat yang dirugikan karena tidak mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang.

Entah siapa yang memulai, wartawan yang minta duit ataukah panitia yang menyuap wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu.

Yang jelas, kebiasaan buruk itu harus segera dihentikan sekarang juga. Toh jika ada acara bagus dan layak diberitakan, wartawan akan datang dengan sendirinya, bahkan tidak diundang sekalipun.

Panitia acara cukup mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran pers (press realease).

Memang, “budaya amplop” merupakan salah satu ciri jurnalistik negara berkembang.

Menurut Albert L. Hester dalam Handbook for Third World Journalist (sudah diterjemahkan dengan judul Pedoman untuk Wartawan, USIS, 1987), fenomena itu muncul karena kurangnya permodalan industri pers sehingga pers belum mampu memberikan imbalan yang laiak bagi wartawannya.

Yang memprihatinkan, akibat “budaya” itu, bermunculan wartawan gadungan, wartawan tanpa suratkabar (WTS), atau “wartawan pemeras” yang merugikan citra wartawan dan menjengkelkan masyarakat.

Jika kebiasaan panitia acara, para humas instansi atau perusahaan, atau pihak mana pun memberi “amplop” kepada wartawan tidak dihentikan, maka jangan harap “budaya” itu sirna.

Dalam sebuah acara di Jakarta, sebagaimana dipublikasikan laman Dewan Pers, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia, (waktu itu) Didik Supriyanto, mengusulkan agar kalangan kehumasan tidak mengorganisir wartawan, seperti yang dilakukan berbagai institusi dan perusahaan, sehingga tidak akan ada lagi istilah “wartawan Polda”, “wartawan Pertamina”, “wartawan Kejaksaan Agung”, dan sebagainya.

Langkah tersebut diperlukan untuk menekan penyalahgunaan profesi wartawan untuk mencari uang dari sumber berita.

Didik juga menyayangkan tindakan pejabat humas di kalangan BUMN yang menyediakan “amplop” bagi wartawan. “Yang mereka bagi-bagikan itu ‘kan uang rakyat. Ini praktek korupsi yang harus dihentikan,” katanya.

Pada acara yang sama, Ketua Dewan Pers Atmakusumah mengakui, sejak era reformasi persoalan “amplop” kian parah.

Penyebabnya, jumlah wartawan legal dan ilegal yang makin banyak dan tidak terkendali. Karena itu, Atmakusumah mengusulkan agar masyarakat pers segera menentukan kriteria umum mengenai organisasi pers yang kini jumlahnya sudah lebih dari 50 buah.

Semoga saja para wartawan kita sadar, bahwa bidang pekerjaannya adalah sebuah pekerjaan profesional yang terikat kode etik. Kode Etik Wartawan Indonesia menyebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”.

Kita akui, “godaan uang” sering membuat wartawan lupa diri akan tugas dan kewajibannya. Tidak heran jika M.L. Sten dalam buku Bagaimana Menjadi Wartawan (Juni 1993) mengatakan:

“Jika Anda ingin kaya, janganlah bekerja di bidang pers, kecuali Anda mempunyai perusahaan sendiri atau Anda seorang penulis terkemuka dalam beberapa perusahaan pers. Jurnalistik bukanlah pekerjaan mudah, tetapi ia dapat membuat seorang wartawan merasa lebih penting dari seorang pengurus bank. Uang adalah penting, tetapi ia bukan merupakan pendorong bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam bidang persuratkabaran.”

Wartawan Muslim tentu sadar betul, amplop bisa masuk kategori suap yang diharamkan, atau setidaknya syubhat. Allah SWT melaknat pemberi dan penerima suap. Wallahu a’lam. Wasalam. (www.romeltea.com).*

 

Related posts