Selamat Hari Radio Nasional 11 September. Hari Radio Nasoinal adalah hari jadi, hari lahir, atau Hari Ulang Tahun Radio Republik Indonesia (HUT RRI).
Wajar jika mayoritas penyiar radio kurang peduli atau banyak yang “tidak ngeh” dengan hari radio nasional.
Saat aktif menjadi penyiar radio (2000-2014), di Radio Antassalam FM dan Radio Shinta FM Bandung, pun saya jarang sekali ngeh dengan keberadaan Hari Radio Nasional.
Pasalnya, Hari Radio Nasional merupakan peringatan hari lahir Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945.
Jadi, “Radio Nasional” yang dimaksud adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang bernama RRI itu.
Wajar saja jika penyiar radio swasta (Lembaga Penyiaran Komersial/LPK) seperti saya tidak merasa memiliki Hari Radio Nasional itu. Wong saya bukan penyiar RRI.
Sejarah Hari Radio Nasional
Menurut catatan sejarah, sejarah RRI bermula ketika kekalahan Jepang dari Sekutu sudah diperhitungkan pemimpin-pemimpin dan angkatan muda Indonesia yang selalu mendengarkan radio luar negeri sejak akhir Juli 1945.
Pada 14 Agustus 1945, BBC menyiarkan secara pasti pernyataan penyerahan Jepang tanpa syarat oleh Tenno Heika. Namun, pemerintah Jepang di Jakarta masih menutup-nutupi peristiwa tersebut.
Di stasiun radio milik pemerintah pendudukan Jepang, orang-orang Jepang menjadi curiga terhadap masyarakat Indonesia dan menyensor lebih keras naskah dan bahan siaran yang hendak disiarkan di setiap Hoso Kyoko, stasiun radio Jepang saat itu.
Akhirnya, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, semua kegiatan Hoso Kyoku dihentikan mulai 19 Agustus.
RRI secara resmi didirikan pada 11 September 1945 oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di enam kota.
Rapat utusan enam radio di rumah Adang Kadarusman di Jalan Menteng Dalam Jakarta menghasilkan keputusan mendirikan RRI. Selain itu, memilih Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum pertama RRI.
Pada 13 September 1945, R. Maladi, yang kelak menjadi Menteri Penerangan (1959-1962), mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin bagian Solo Hoso Kyoku untuk menyampaikan keputusan rapat pada 11 September di Jakarta.
Kemudian Kepala Hoso Kyoku Yasaki dan Kepala Siaran Yamamoto diberitahukan hasil konferensi radio di Jakarta, kecuali mengenai penyerahan pemancar yang masih dirahasiakan.
Mereka tidak keberatan diadakan pertemuan dengan semua pegawai radio untuk mendengarkan keterangan Maladi tentang berdirinya RRI.
Demikian kisahnya sehingga 11 September menjadi Hari Radio Nasional yang “hanya” diperingati oleh RRI, meski RRI itu hakikatnya milik seluruh rakyat Indonesia karena ia milik negara dan beroperasi dengan dana negara (APBN).
Seingat saya, terakhir kali mendengarkan siaran RRI (sebelum menulis posting ini) adalah pada Senin, 28 Agustus 2017, mulai Pkl 13:30 WIB, yaitu saat pertandingan Persipura Jayapura vs Persib Bandung di Stadion Mandala.
Saya dan bobotoh lain “terpaksa” mendengarkan RRI karena laga tersebut tidak disiarkan langsung tvOne, melainkan siaran tunda malam harinya.
RRI memang menjadi “pelarian” bagi bobotoh seperti saya jika pertandingan Persib tidak disiarkan langsung di televisi.
Meski telat, saya sampaikan ucapan Selamat Hari Radio Nasional! Sekali di udara tetap di udara! Wasalam. (www.romeltea.com).*