Hoax, Media Abal-Abal, dan Ancaman Pidana UU ITE.
“Sebar Hoax, Pimpred Media Abal-Abal Ditangkap Polisi,” demikian dikabarkan Liputan6.
Koreksi dulu ah. Bukan Pimred (Pimpinan Redaksi) kelessss, tapi Pemred (Pemimpin Redaksi)!
Disebutkan, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri membekuk pelaku penyebar hoax bernama Zaenal Arifin.
Ia diduga telah menerbitkan berita bohong (hoax) lewat media abal-abal tentang anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Mulyadi, hingga berujung pada pencemaran nama baik.
“Terlebih dahulu kami koordinasi dengan Dewan Pers, dan ternyata medianya tidak terdaftar. Oleh sebab itu, kami melakukan penangkapan pada Kamis malam,” kata Kanit III Subdit II Bagian Penindakan Siber Bareskrim Polri, AKBP Irwansyah, di kantor Siber Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Jumat, 5 Januari 2018.
Zaenal mengaku sebagai pimred atau pimpinan redaksi sebuah media yang berpusat di daerah Pati, Jawa Tengah. Namun, belakangan ketahuan bahwa media tersebut tidak resmi.
Lewat portal beritanya, Zaenal menuding Mulyadi telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Hasil pemeriksaan, yang bersangkutan memang mengakui bahwa yang bersangkutan ini adalah sebagai admin media tersebut. Dia (Zaenal) mengakui waktu itu memalsukan berita tersebut karena pada saat itu viral,” ucap Irwamsyah.
Atas perbuatanya, Zaenal disangkakan Pasal 45 ayat 3 Juncto 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukum 4 tahun penjara.
Pelajaran
Ada tiga kata kunci yang menjadi pelajaran dalam kasus di atas. Saya ulas secara ringkas:
- Hoax
- Media abal-abal
- UU ITE
Hoax
Hoax menggejala di tanah air belakangan ini. Kebanyakan hoax soal politik. Seingat saya, hoax menjamur sejak menjelang Pilpres 2014 akibat banyaknya political buzzer yang dibayar dan “relawan”.
Pupuk suburnya hoax adalah kian populernya media sosial. Dalam survei, medsos menjadi sumber utama sekaligus penyebar awal hoax.
Wartawan profesional tidak mungkin membuat dan menyebarkan hoax. Jurnalis pro akan taat kode etik –yang melarang berita dusta– dan patuh pada disiplin verifikasi –untuk cek-ricek atau konfirmasi.
Wartawan pro juga akan berimbang (balance) dalam menulis berita, tidak hanya merujuk pada satu sumber, tapi kedua pihak diwawancari.
Media abal-abal
Setahu saya, media abal-abal itu istilah dari Dewan Pers yang merujuk pada media yang tidak resmi –tidak bebadan hukum dan tidak terdaftar di Dewan Pers.
“Media profesional adalah yang berbadan hukum. Kalau enggak, ya udah pasti abal-abal,” kata Dewa Pers.
Secara bahasa, abal-abal artinya palsu, murahan, rendahan, tidak terpercaya, ilegal (KBBI).
Baca: Kriteria Media Profesional dan Abal-Abal
Setahu saya, media abal-abal itu –dalam hal ini dalam format media online– kebanyakan dibuat dengan platform Blog (Blogspot atau WordPress) sehingga lebih tepat disebut blog saja, tidak termasuk media pers (media siber).
Bisa juga sih situs web media resmi itu berbasis blogger atau WP, namun harus berbadan hukum sehingga alamat kantor dan redaksinya jelas.
Jadi, agar situs berita atau media online Anda tidak disebut media abal-abal, maka minimal penuhi syarat berbadan hukum dan terdaftar di Dewan Pers.
Jika menjadi media resmi, saat ada kasus hukum, polisi pun takkan langsung menciduk Anda, tapi koordinasi dulu dengan Dewan Pers.
Simak kembalin kata polisi dalam kasus di atas: “Terlebih dahulu kami koordinasi dengan Dewan Pers, dan ternyata medianya tidak terdaftar. Oleh sebab itu, kami melakukan penangkapan pada Kamis malam”.
Artinya, bagi media abal-abal, tidak ada pembelaan atau minimal pendampingan dari Dewan Pers.
UU ITE
Produksi dan penyebaran Hoax dijerat dengan Pasal 45 ayat 3 Juncto 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Bunyi pasal itu:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Nah, itu dia. Mengerikan ya?
Kalo romeltea.com ini media abal-abal bukan? Bukan. Romeltea.com mah bukan media berita, tapi BLOG atau situs web pribadi, dengan identitas sangat jelas. Wasalam. (www.romeltea.com).*