Radio Antassalam 103,9 FM Bandung dijual kepada Dahlia Group. Format siaran pun berubah dari yang tadinya Islami (radio dakwah bermoto “Bandung Muslim Station) menjadi “sekuler” –menjadi Hits Radio 103,9 FM Bandung dengan tagline “Semua Hits Ada di Sini”.
Format musiknya memutarkan lagu-lagu hits dengan presentasi 90% Hits Indonesia dan 10% Hits Barat. Tidak ada lagi lagu-lagu Sunda apalagi Nasyid/Lagu Islami.
Tidak lama kemudian, per Agustus 2012, Radio Shinta 97,2 FM Bandung juga dijual kepada Tigaswara Radio Group Indonesia.
Namanya pun “akan” berubah menjadi Radio New Shinta 97,2 FM Bandung dan format siaran yang tadinya “keluarga dan religi” menjadi “full musik dan berita” (news radio) dengan tagline “more than just music and information”.
Yang dikhawatirkan Dirjen Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lima tahun lalu kini menjadi kenyataan.
Tahun 2007, kedua lembaga itu bersepakat untuk “mewaspadai kemungkinan praktik jual beli perizinan frekuensi radio dan lembaga penyiaran”.
Nyatanya, praktik jual-beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran itu terus terjadi, seperti pada kasus kedua radio di atas.
Menjual Frekuensi Radio Melanggar Hukum
Pada Oktober 2011, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) mengajukan permohonan uji materi atas UU No. 32/20o2 tentang penyiaran. Hingga kini Mahkamah Konstitusi (MK) belum memutuskan uji materi UU No. 32 Tahun 2012 tentang Penyiaran yang diajukan oleh KIDP itu.
KIDP mensinyalir adanya penafsiran sepihak oleh badan hukum/perseorangan terhadap Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, demi kepentingan dan keuntungan sekelompok pemodal atau orang tertentu saja.
Akibat penafsiran sepihak dua pasal tersebut, telah muncul masalah pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran televisi dan radio di tangan segelintir pengusaha dan praktek jual-beli izin prinsipal penyiaran termasuk frekuensi penyiaran dengan dalih perpindahan atau penjualan saham usaha penyiaran.
Mengapa pemilik radio atau pemegang izin frekwensi tampak bisa seenaknya saja menjual radionya kepada pihak lain?
Bukankah frekuensi itu milik publik (negara/rakyat) yang tidak mestinya tidak bisa “dipermainkan” begitu saja?
Mestinya, jika sebuah stasiun radio “bangkrut”, frekuensi dikembalikan kepada negara, bukannya dijual begitu saja dan pihak pembeli bisa seenaknya mengubah format siaran. Bukankah sebelum izin siaran diberikan ada prosedur KPID seperti uji siaran dan uji publik?
KPI/KPID tampak tidak bisa berbuat apa-apa. Publik (masyarakat) juga tidak menyadari bahwa mereka pemilik frekuensi.
Sejumlah saksi ahli dalam sidang uji materi di MK menegaskan, pemindahtanganan izin penyelenggara siaran atau frekuensi ke pihak lain melanggar hukum.
Pemilik industri penyiaran yang melanggar bisa dipidana dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. (kpi.go.id).
Izin penyelenggara penyiaran dilarang dipindahtangankan dengan cara apa pun, entah itu dialihkan, dijual dalam badan apapun dan dalam tingkatan mana pun.
Jika izin penyiaran tidak bisa dilanjutkan (tidak bisa beroperasi lagi, Red), maka dengan alasan apa pun frekuensi itu harus dikembalikan ke negara. PP No 50 Tahun 2005 yang mengatur pembatasan kepemilikan frekuensi dan melarang pemindahtanganan.
Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU Penyiaran dengan tegas membatasi kepemilikan frekuensi dan dilarang dipindahtangankan. Hal itu diperkuat dalam PP No 50 Tahun 2005 yang mengatur pembatasan kepemilikan frekuensi dan melarang pemindahtanganan.
Tidak Boleh Monopoli
Para ahli juga menjelaskan, Pasal 18 Ayat 1 harus ditafsirkan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh dimiliki secara monopoli oleh satu orang atau satu badan hukum. Begitu pun dikuatkan pada Pasal 34 Ayat 4, bahwa pemindahtangan frekuensi ke pihak lain melanggar hukum. (indowarta.co).
Atas kasus Radio Antassalam dan Shinta di atas, KPID Jawa Barat pun “diam”. “Pengaduan personal” saya kepada Ketua KPID Jabar pun ditanggapi dengan statemen “KPI/KPID tidak mengeluarkan kebijakan” alias “tidak bisa berbuat apa-apa”.
Padahal, jual-beli frekuensi, setidaknya menurut para saksi ahli di MK, melanggar hukum.
Korban juga sudah berjatuhan: kru lama tersingkirkan dan publik sebagai pemilik spektrum frekwensi diabaikan. Demokratisasi penyiaran pun hanya isapan jempol belaka.
Dengan demikian, MK harus segera mengeluarkan putusan dan DPR pun segera merevisi UU itu agar penyiaran lebih demokratis dan berpihak kepada publik.
Yang tidak kalah pentingnya, eksistensi dan kinerja KPI/KPID pun harus lebih didorong bukan semata ngurus perizinan dan program, tapi juga keberpihakan kepada penyiar (kru radio) yang selama ini sering dizhalimi pemilik radio. Wasalam. (www.romeltea.com).*