Radio Dakwah itu radio yang semua program siarannya bernuansa dakwah (syiar Islam) sedangkan Dakwah Radio itu aktivitas dakwah di media radio. Jadi, yang pertama media dakwah dan yang kedua aktivitas dakwah.
Posting ini akan menguraikan jawaban tersebut, sekaligus memberi masukan –lebih tepatnya, menyampaikan pendapat saya — bagi kalangan pegiat radio dakwah atau dakwah di radio.
Radio Dakwah adalah radio yang diformat atau diprogram untuk syiar Islam. Semua programnya bermuatan atau bernuansa syiar Islam. Lagu-lagu yang diputarnya lagu-lagu religi (nasyid dan pop religi), tidak ada lagu lain selain yang bernuansa religius. Termasuk dalam kategori radio dakwah adalah Radio MQ FM Bandung yang dibina KH Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym. Jangan harap Anda dapat mendengarkan atau bisa request lagu, misalnya, “Suara” (Hijau Daun), “Mandi Madu” (Dangdut), “Mawar Bodas” (Pop Sunda), dan lagu non-religi lainnya di MQ FM.
MQ FM dan radio sejenis tergolong “ekstrem” –jika bukan “kaku”– dalam hal format radio dakwah. Konsekuensinya, segmentasinya pun terbatas. Pendengarnya biasanya “hanya” kalangan yang “sudah Islami” atau “sudah memiliki kesadaran keislaman”, utamanya jamaah atau santri Daarut Tauhiid.
Ada yang lebih “ekstrem” lagi, setahu saya, yakni Fajri FM Bogor. Nyaris tidak ada suara musik/lagu di radio ini. Setahu saya, dua tahun lalu –mungkin sekarang sudah berubah format?—radio ini “full dakwah”, seperti pengajian, ceramah, talkshow dan monolog keislaman, layaknya ustadz tengah mengajar para santrinya di pesantren atau madrasah. Konsekuensinya, pendengarnya tidak akan banyak, terbatas, kalangan tertentu, dan mad’u (objek dakwah) pun tidak bisa meluas kepada mereka yang “sekuler” atau “awam” tentang Islam. Bagi saya, mohon maaf jika tidak berkenan, radio jenis ini “menyalahi khittah radio” yang identik dengan musik. Radio is music! Radio itu “gudang” lagu.
Radio dakwah yang tergolong “moderat” –ini favorit saya—adalah Radio Antassalam Bandung. Visi-misi radio ini dakwah, bahkan pernah menyandang moto atau tagline “The Real Moslem Station”. Uniknya, kecuali lagu Barat, hampir semua jenis lagu ada di sini –Pop Indonesia, Dangdut, Pop Sunda, Pop Religi. Ketika saya bergabung dengan radio ini tahun 1999, sebagai “penyiar tamu”,saya merintis acara nasyid dan memperkaya koleksi nasyidnya. Saya pun mengasuh acaranya, KPI (Kawih Penyejuk Iman) selama tujuh tahun (2000-2007). Tahun 2004 s.d. 2007 saya bahkan menjadi Program Director di radio ini, dengan “prestasi” membawanya ke peringkat kedua radio terbanyak pendengarnya di Kota Bandung (284.000 pendengar/all segmen/data ACNielsen).
Keunikannya, lagu-lagu yang diputar diseleksi ketat. Tidak boleh ada yang bernuansa cabul, SARA, apalagi “tidak Islami”. Sebagai contoh, lagu dangdut “Goyang Dombret” dan sejenisnya tidak diputar di Antassalam. Bahkan, lagu “Mungkin hanya Tuhan… yang tahu segalanya…” (apa judulnya tuh? Ute yang nyanyi, Ruth Sahanaya) “dicekal” di Antassalam. Pasalnya, lagu itu “tidak Islami”, utamanya karena lirik awalnya “mungkin hanya Tuhan…”. Mestinya, “Pasti hanya Tuhan yang tahu segalanya…” atau –seperti versi Siti Nurhaliza jika ia menyanyikan lagu ini– “Yakin hanya Tuhan…”.
Bahkan, semasa saya menjadi PD, lagu pop yang mengandung lirik bahasa Inggris juga kena cekal. Saat itu, misalnya, lagu Acha-Irwansyah… “My Heart”. Itu lho lagu yang ada lirik begini… “If you love somebody should be this strong… (salah ya?).
Format siarannya sarat nuansa Islam, mulai dari basmalah, salam, hamdalah, dan kalimah thayibah lainnya. Bahkan, saya pernah memberi panduan ungkapan-ungkapan doa ringkas bagi penyiar. Misalnya, jika ada pendengar sakit, penyiar harus mengucapkan doa “Syafakallah…” Jika ada yang sedang berbahagia, dapet rezeki atau nikah misalnya, ucapkan “alhamdulillah, barakallah…”. Satu lagi: semua penyiar wanita wajib berjilbab! Minimal selama siaran dan berada di studio. Di luar studio, ada juga yang lepas jilbab (hehe… prihatin ya?).
Nah, model Antassalam ini yang saya suka –sayang, saya tidak bersama mereka lagi (hik!). Dengan model radio dakwah “moderat” ini, objek dakwah meluas. Pendengar pun tidak merasakan sedang “didakwahi”, padahal “injeksi” nilai Islam terus disuntikkan kepada mereka di semua acara (ingat “Bullet Theory” dan “Hypodermic Needle Model” dalam studi Komunikasi Massa). Ya seeh, ada kesan “campur aduk hak dan batil”, tapi saya menilainya sebagai strategi dakwah di radio.
Segitu dulu deh bahasan tentang radio dakwah. Harus ada workshop jika pingin tuntas tas…!
Dakwah di Radio
Dakwah di radio bagian dari dakwah bil lisan. Mr. Enjang AS, Ketua Jurusan Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Bandung, menyebutnya “I’lam”, dakwah melalui siaran radio/TV. Radionya tidak mesti radio dakwah saja, radio “sekuler” pun dapat menyiarkan dakwah atau menjadi tempat siaran dakwah, bisanya ba’da Subuh atau jelang Magrib (cermah dan dialog).
Jenis program dakwah di radio, selain ceramah dan dialog Islam (talkshow), versi saya, antara lain “insert” renungan tiap jam atau tiap setengah jam. Durasi maksimal satu menit, berupa paket “voicer” layaknya spot iklan. Materinya terjemah hadits, Quran, atau ungkapan sahabat. Jadi, di tengah keasyikan pendenga menikmati, misalnya, lagu-lagu pop Indonesia, mereka “didakwahi” secara “tidak sadar”.
Bagaimana format dan kiat dakwah di radio yang baik dan efektif? Bagaimana kualifikasi penyiar,narasumber, musik, teknis siarannya, dan hal lain? Insya Allah, lain waktu saya kupas di blog ini. Stay Tuned… eh, keep visiting this site, oke?
Closing: “Romeltea pamit mundur, terima kasih atas kebersamaan dan partisipasi Anda, mohon maaf jika ada hal yang tidak berkenan selama saya menemani Anda di acara ini. Sampai jumpa… Romeltea… OFF. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barokaatuh…” (www.romelrea.com).*