BERITA harus berimbang (balance). Wartawan harus menulis berita secara berimbang. Ini kode etik jurnalistik. Bahkan, keharusan berita berimbang ini dicantumkan dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers:
Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsirannya, “Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.”
Contoh berita tidak berimbang, misalnya muncul dalam kasus “perseteruan” Ustadz Solmed dengan organisasi pengajian TKI Hong Kong Thoriqul Jannah yang kini lagi jadi “trending topic” di kalangan TKI Hong Kong dan Infotainmen di TV Indonesia.
Seperti diberitakan Kapan Lagi dengan judul “Ustaz Solmed Dinilai Sebagai Da’i ‘Matre’, sebuah surat kabar lokal Hong Kong berbahasa Indonesia, menurunkan berita yang intinya: Ust. Solmed membatalkan sepihak jadwal ceramah di Hong Kong, minta kenaikan tarif ceramah dari Rp6 juta jadi Rp10 juta, minta bagian hasil penjualan tikek dan “surban keliling”, serta minta penginapan berbintang dan mobil jemputan pribadi selama berada di Hong Kong.
Berita tersebut tidak berimbang karena hanya memuat suara satu pihak. Tidak ada bantahan, klarifikasi, atau komentar apa pun yang dimuat dalam berita tersebut dari pihak Ust. Solmed.
Baru pada berita berikutnya, berjudul “Ustad Solmed Angkat Bicara…“, beritanya berimbang, memenuhi kode etik jurnalistik.
Berita suratkabar lokal Hong Kong yang dikutip Kapan Lagi, jika memang tidak memuat klarifikasi dari Ust. Solmed, termasuk berita yang tidak berimbang dan melanggar kode etik jurnalistik.
Akibat berita yang tidak berimbang itu, media-media di Indonesia mewawancara Ust. Solmed. Lagi-lagi, memunculkan berita yang tidak berimbang. Banyak media yang hanya memuat pernyataan Ust. Solmed, tanpa menyertakan suara dari pihak TKI Hong Kong.
Ust. Solmed mengatakan TKI Hong Kong membisniskan pengajian atau ceramahnya, mengaku tidak meminta bayaran, mengaku membayar sendiri makan-minum di Hong Kong, dan sebagainya.
Kasus berkembang ketika Ust. Solmed berkicau di akun twitternya. Ia mencurigai organisasi TKI Hong Kong yang mengundangnya itu bagian dari komunis yang hendak mengadu-domba ustadz-ustadz di Indonesia. Ia juga menyatakan kasus Hong Kong “selesai” dan enggan berkomentar lagi soal itu.
MASALAH UTAMA MEDIA ONLINE
Berita berimbang harus dibuat terutama dalam pemberitaan yang menyangkut konflik atau polemik yang melibatkan dua pihak atau lebih, seperti kasus Ust. Solmed vs TKI Hong Kong di atas. Keberimbangan ini juga demi “safety” sang wartawan dan media yang memuatnya.
Berita berimbang memerlukan verifikasi, konfirmasi, dan klarifikasi alias tabayyun. Jika klarifikasi gagal, sebutkan saja, “Ketika dimintai tanggapannya, pihak XXX enggan berkomentar atau tidak bisa dihubungi” untuk menunjukkan bahwa penulis berita sudah berusaha menulis berita secara berimbang.
Menurut Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Agus Sudibyo, berita tidak berimbang merupakan masalah utama media siber (media online).
Media siber (portal berita online) yang memprioritaskan kecepatan dinilai cenderung tidak berimbang dalam menyajikan laporannya. “Pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media online ini paling banyak di kategori ketidakberimbangan sebanyak 30 kasus,” kata Agus Sudibyo seperti dimuat Berita Satu (23/2).
Pelanggaran kode etik jurnalistik ini, menurut Agus, tidak hanya dalam ketidakberimbangan, tetapi juga dalam hal tidak menguji informasi, tidak akurat, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila, mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, tidak jelas narasumbernya, serta berprasangka SARA.
Dalam sebuah workshop kode etik jurnalistik yang diadakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) terungkap, wartawan sering membuat berita tidak berimbang.
Disebutkan, berita yang tidak berimbang dalam memuat pernyataan dari pihak yang diberitakan menjadi salah satu pelanggaran kode etik jurnalistik yang paling sering dilakukan wartawan. Pelanggaran lain yang sering muncul seperti tidak ada verifikasi, menghakimi, dan mencampurkan fakta dengan opini.
Menurut Agus Sudibyo dalam workshop itu, ada wartawan yang tidak bisa memilah antara berita yang memerlukan konfirmasi dan yang tidak memerlukan konfirmasi. “Berita yang sudah menilai seseorang, jelas membutuhkan konfirmasi dari pihak yang dinilai,” kata Agus. Wasalam. (www.romeltea.com).*