LAMAN Deutsche Welle (DW) menyajikan tulisan tentang jenuhnya pasar media online. Dalam tulisan menarik itu disebutkan, masa depan media online masih belum menentu.
Publisher media online (situs berita, koran online, news portal) masih belum menemukan model bisnis yang bisa memberi arah bagi keberlanjutan usaha mereka.
Bahkan, masa depan media online bisa dikatakan suram, mengingat kebutuhan informasi sudah dipenuhi media sosial dan aplikasi mobile. Hanya media massa, termasuk media online (situs berita), yang menjaga kualitas, integritas, dan kredibilitas yang akan bertahan.
Banyak (bahkan kebanyakan?) media online kehilangan kredibilitas dan kualitas akibat gampang terjebak pada isu-isu sensasional, hanya demi mengejar jumlah pengunjung. Judul-judul berita pun dibuat dengan kalimat yang sembrono, bahkan mengecoh.
Sebelum tulisan di DW itu muncul, laman New York Times juga menurunkan laporan yang isinya hampir sama, yakni ketidakpastian masa depan media online.
Laporan NYT menyebutkan sejumlah situs berita (news online) mulai merumahkan karyawan/wartawan dan memangkas anggaran, bahkan banyak yang tidak terbit lagi.
Laporan NYT dan laporan lainnya tentang ketidakpastian masa depan media online dirangkum dalam Future of News Online.
Sebelum kemunculan laporan NYT dan analisis di DW itu, saya sudah mendengar “ramalan” Gurubesar Ilmu Komunikasi UIN Bandung Prof. Dr. Asep S. Muhtadi, MA aka Samuh dalam sebuah diskusi tentang media online di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Bandung.
Kebetulan, saya jadi pematerinya dengan tema “Jurnalisme Umpan Klik – Clickbait Journalism“. Profesor Samuh dalam diskusi itu mengatakan, orang akan jenuh dengan situs berita (media online) akibat “banjir informasi” dan sajian media online yang tidak berkualitas.
Baca:
Rupanya, fenomena kejenuhan atas media online mula terjadi. Bukan saja karena kualitas informasi media online yang rendah, kredibilitas yang payah, tapi juga akibat gempuran konten media sosial dan aplikasi mobile sehingga orang mulai meninggalkan situs berita karena informasi yang dibutukan sudah didapat di media lain, plus WhatsApps.
Kesimpulan saya, masa depan media online suram disebabkan dua hal:
- Kekuatan media sosial dan aplikasi mobile yang sudah memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.
- Kualitas berita media online akibat cenderung menganut “jurnalisme umpan klik” yang tak lain adalah versi baru jurnalisme kuning atau koran kuning (yellow papers).
Saya sudah sering posting soal jurnalisme umpan klik yang kini dianut hampir semua media online. Judul-judul berita situs berita umpan klik antara lain:
- Menyembunyikan substansi informasi dengan kata ganti “Ini”, “Inilah”, “Begini”, “Ini Reaksi”, “Ini Jawaban”, dan sejenisnya. Judul berita demikian bukan karya jurnalistik, melainkan “iklan berita” –karena bertujuan agar audiens mengklik judul tersebut.
- Menggunakan kata-kata “sensasi” yang alay bin lebay, seperti “Menakjubkan!”, “Terungkap:, “Wajib Baca”, “Wow”, “Menyedihkan”, “Keren”, dan sebagainya. Seharusnya pembaca yang mengatakan demikian setelah baca berita, ini mah eh… malah wartawannya yang “teriak-teriak” di judul berita!
Akhirulkalam, kualitas rendah, kredibilitas payah, jurnalisme umpan klik yang menipu dan menjengkelkan pembaca, ditambah serangan media sosial dan aplikasi mobile, membuat masa depan media online diliputi ketidakpastian.
Belum lagi tidak jarang ada hoax alias berita bohong yang begitu mudah disebarkan di media online.
Maka, bisa saja, publik kembali menjadikan media cetak dan radio sebagai andalan sumber informasi terpercaya. Informasi media online akan dianggap “informasi awal saja”. Konfirmasinya atau berita terpercayanya ada di media cetak. Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).*
VIDEO: SOCIAL MEDIA REVOLUTION