MEDIA Internet atau Media Online adalah media yang dipublikasikan di internet dan merupakan produk jurnalistik online. Jurnalistik online –disebut juga cyber journalisme– didefinisikan sebagai “pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet” (wikipedia).
Hampir semua media konvensional, seperti surat kabar dan majalah, bahkan media televisi dan radio, juga menerbitkan “edisi online” sebagai “outlet sekunder” (secondary outlet). Perkembangan media online kian pesat dengan adanya fasilitas blog atau weblog, baik sebagai “online diary” (buku harian online) maupun sebagai medium ekspresi.
Sebagai media massa, media internet (harus) menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam sistem kerja mereka, termasuk dalam penggunaan bahasa jurnalistik dan kaidah bahasa Indonesia. Tidak ada perbedaan antara bahasa jurnalistik cetak dan jurnalistik internet karena sama-sama “komunikasi tulisan” atau “bahasa tulis”.
Dengan demikian, karakteristik dan prinsip penulisan bahasa jurnalistik cetak (suratkabar, majalah, buletin, dan lain-lain), antara lain hemat kata, ringkas, padat, jelas, logis, kalimatnya pendek-pendek, sederhana dan mudah dipahami, juga berlaku di media internet. Perbedaannya hanyalah soal tampilan atau mediumnya. Jurnalistik atau media internet bersifat virtual sedangkan sajian jurnalistik/media cetak itu tercetak (printed media).
Tata Bahasa: Kesalahan Penulisan
Dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, media internet bisa dikatakan paling banyak melakukan pelanggaran. Hal itu utamanya dikarenakan penulisan berita di media internet dilakukan tergesa-gesa agar segera online (kejar tayang), apalagi jika wartawan yang menulisnya kurang atau tidak menguasai tata bahasa dengan baik dan benar.
Salah satu kesalahan penulisan yang banyak terjadi yaitu penulisan kata penghubung “dan”, yakni menulis kata “dan” di awal kalimat. Penulisan demikian jelas salah atau menyalahi kaidah tata bahasa. Pasalnya, kata penghubung harus digunakan untuk menghubungkan dua hal atau kalimat, bukan untuk mengawali sebuah kalimat.
Kesalahan penulisan itu terjadi, utamanya di kalangan wartawan/media, kemungkinan karena salah satu dari dua hal ini: kemalasan atau kebodohan. Sang wartawan malas mengecek ejaan atau penulisan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah ahasa; atau memang ia (maaf) bodoh, tidak well educated, sehingga menulis semaunya. Kalau karena malas, tidak bisa dimaafkan. Jika karena bodoh, dapat dimaafkan, karena bisa diatasi dengan belajar atau diajari.
Sama halnya dengan wartawan/media yang masih saja menggunakan “kata-kata mubazir” dan “kata-kata jenuh” dalam penulisan berita, seperti penggunaan kata “sementara itu”, “dalam rangka”, “perlu diketahui”, “seperti kita ketahui”, “dapat ditambahkan”, “selanjutnya”, dan sebagainya. Hal itu karena dua hal tadi, malas atau bodoh.
Bukan hanya itu, kesalahan penulisan “dan” juga sering terjadi dalam cara penulisan “dan” ketika menghubungkan lebih dari dua hal/benda, misalnya: “di kamar itu ada kursi, meja dan tempat tidur” (tanpa koma). Mestinya, menurut Ejaan Yang Disempuranakan (EYD), harus menggunakan koma sebelum kata “dan”: “di kamar itu ada kursi, meja, dan tempat tidur”.
Ada juga kesalahan penulisan “sehingga” di awal kalimat. Contoh: “…melakukan aksi perlawanan. Sehingga, polisi menggunakan….”. Mestinya, “…melakukan perlawanan sehingga polisi menggunakan…”; atau “…melakukan perlawanan. Akibatnya, polisi menggunakan….”.
Pedoman penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar membahas juga soal kata-kata penghubung lain yang harus dihindari. Untuk menghubungkan dua klausa tidak sederajat, bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk “di mana” (padanan dalam bahasa Inggris adalah “who”, “whom”, “which”, atau “where”) atau variasinya (”dalam mana”, dengan mana”, “hal mana”, “dalam pada itu”, “yang mana” dan sebagainya).
Wartawan kita juga sering membuat judul dengan awal angka/bilangan. Misalnya, “12 Orang Tewas Tertimbun Longsor”. Mestinya, “Dua Belas Orang Tewas…” atau “Belasan Orang Tewas Tertimbun Longsor”. Lambang bilangan pada awal kalimat harus ditulis degan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat lagi pada awal kalimat. Misalnya, “Longsor Tewaskan 12 Orang”.
Media: Guru Bahasa
Masih banyak kesalahan penulisan lainnya di media internet juga di media cetak. Artinya, kesadaran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih belum “membudaya” di kalangan media/wartawan. Padahal, disadari atau tidak, media atau wartawan adalah “guru bahasa” bagi publik, bahkan lebih berpengaruh ketimbang guru bahsa di sekolah-sekolah atau kampus-kampus.
Bahasa di media menjadi rujukan (referensi) sekaligus “panutan” bagi masyarakat pembaca. Kata, istilah, dan kalimat dan tata cara penulisannya di media akan menjadi perhatian, bahkan menjadi trend-setter dalam hal penggunaan bahasa Indonesia. Penulisan kata, kalimat, ungkapan, atau istilah yang muncul di media akan dianggap benar oleh publik.
Contoh paling menonjol dalam hal akronim. Masyarakat tidak menemukan, misalnya, istilah “minah” dalam kamus bahasa Indonesia. Mereka menemukannya dalam pemberitaan media. “Minah” adalah singkatan dari “minyak tanah” demi efisiensi atau penghematan kata (economy of word). Demikan halnya “tilang” (bukti pelanggaran), “curas” (pencurian disertai kekerasan), “curanmor” (pencurin kendaraan bermotor), dan banyak lagi.
Salah satu fungsi media (pers) adalah mendidik masyarakat (to educate) masyarakat agar melakukan sesuatu, bertindak benar, mematuhi aturan, bersikap baik, dan sebagainya. “Pers adalah guru bagi masyarakat,” kata Wilbur Schramm (1973), selain sebagai pengamat (watcher) dan forum dikusi (forum). Karenanya, insan pers harus benar-benar menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pakar media dari Lembaga Pers Dr. Soetomo, Maskun Iskandar, menegaskan, bahasa jurnalistik, yakni bahasa pers, bahasa koran, atau bahasa media massa, hanyalah salah satu variasi bahasa. Demikian pula bahasa jurnalistik, katanya, adalah salah satu variasi bahasa yang tetap berinduk pada bahasa Indonesia. ”Tetap terikat pada sifat, adat, dan kaidah bahasa baku, baik tata bahasanya, istilah, maupun ejaan bahasa Indonesia,” katanya (kapanlagi.com). “Setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa pers membentuk variasi tersendiri, yaitu karena fungsi media massa, karakteristik cara kerja pers, dan keadaan media,” katanya.
“Lewat pers kita mengenal anjuran untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar, namun pers sendiri tidak memedulikan bahasa yang baik dan benar,” kata Maskun. Pers sering menyimpang dari kaidah bahasa yang sudah ditetapkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Media massa juga sering mengekor memakai istilah yang salah kaprah.”
Para pakar dan pemerhati bahasa Indonesia merasa prihatin tentang pemakaian bahasa di media massa, seperti dikemukakan Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono. Ia menyatakan, pemakaian bahasa Indonesia di media massa “memprihatinkan”. Salah satu contoh yang sering dikemukakan adalah penggunaan bahasa ”gado-gado”, yaitu pencampuradukan bahasa Indoensia dengan bahasa asing, terutama Inggris.
“Bahasa di media massa selalu menjadi bahan pergunjingan orang, hal itu mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang membaca atau mendengarnya. Boleh jadi karena mereka menggaggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita dalam berbahasa,” katanya.
Gaya Bahasa Blog
Masih terjadi perdebatan apakah blog termasuk jurnalistik atau bukan. Yang jelas, para blogger menulis di web log atau blog sebagai medium komunikasi massa internet. Menurut catatan wikipedia, kalangan wartawan tradisional menilai bloger tidak dapat disebut wartawan atau jurnalis.
Umumnya, blog merupakan “online diary” yang berisi catatan atau komentar blogger tentang berbagai masalah, baik isu-isu aktual (current issues) maupun fokus pada bidang tertentu, seperti makanan, fashion, dan lainnya. Pada Mei 2007, mesin pencari blog, Technorati, berhasil menjejak lebih dari 71 juta blog di seluruh dunia.
Apakah blog termasuk jurnalistik? Jika mengacu kepada makna dasar jurnalistik, yakni “catatan harian” atau “laporan harian”, yakni laporan tentang peristiwa sehari-hari, maka blogger yang “merekam pertiwa sehari-hari” (a record of the day) pun bisa disebut sebagai jurnalis dan blognya pun masuk dalam kategori “karya jurnalistik”.
Namun, tentu tidak bisa begitu saja seorang blogger disebut sebagai jurnalistik. Yang paling bisa diterima semua kalangan, blog adalah “jurnalistik amatir” (amateur journalism) dengan blogger sebagai “jurnalis amatir”-nya.
Kaitannya dengan bahasa jurnalistik, sebenarnya bahasa jurnalistik “tidak wajib” diberlakukan untuk blog atau situs pribadi. Pasalnya, blog hakikatnya merupakan medium komunikasi bersifat privat (pribadi), seperti buku harian (diary), yang lazim menggunakan bahasa tutur dengan gaya komunikasi antarpribadi (interpersonal communication).
Namun demikian, setidaknya para blogger atau gaya komunikasi antarpribadi pun tetap sedapat mungkin menaati kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, minimal dalam penulisan kata baku (sesuai dengan EYD).
Hasil penelusuran terhadap banyak blog atau media internet menunjukkan, masih sangat banyak penulisan kata yang salah atau tidak baku, seperti “himbau” (seharusnya: “imbau”), handal (andal), kongkrit (konkret), memperhatikan (memerhatikan), mempedulikan (memedulikan), anda (Anda), hapal (hafal), faham (paham), azas (asas), ijin (izin), apapun (apa pun), dimanapun (di mana pun), dan sebagainya.
Pihak berwenang dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar hendaknya segera “melakukan sesuatu” untuk “menertibkan” penggunaan bahasa Indonesia di media massa, termasuk media internet atau blog. Langkah itu misalnya dengan menyosialisasikan kaidah-kaidah ata tata bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada kalangan wartawan/media melalui pendidikan dan pelatihan atau sekadar memberikan imbauan dilampiri “juklak dan juknis” tentang tata bahasa.
Mari, sedapat mungkin, kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukankah bahasa cermin kepribadian bangsa? Bukankah disiplin berbahasa cermin disiplin berpikir? Wasalam. (www.romeltea.com).*
Catatan:
1. Sebagian besar materi posting ini diambil dari buku saya, “Bahasa Media: Panduan Praktis Bahasa Jurnalistik” (Penerbit: Baticpress Bandung, 2009).
2. Sangat terbuka kemungkinan, posting saya di atas pun belum memenuhi kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mohon dikoreksi. Terima kasih.*