Hakikat menulis itu berkomunikasi, menyampaikan pesan (ide, informasi, imbauan) kepada orang lain secara tertulis. Berbeda dengan komunikasi lisan, komunikasi tulisan “terikat” kaidah tata bahasa yang baik dan benar sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Masalahnya, ketika kita menulis kata atau kalimat sesuai dengan kaidah tata bahasa (bahasa baku dan EYD), keuntungannya cuma tulisan kita jari ringkas, hemat kata, dan efektif menyampaikan pesan.
Kalaupun menulis kata/kalimat tidak sesuai dengan tata bahasa, jika pembaca mengerti, ya…. Tidak jadi masalah. Maka…. kata mereka yang merasa “ribet” dengan aturan tata bahasa: persetan dengan kaidah tata bahasa, yang penting pembaca mengerti! EYD pun menjadi Ejaan Yang Dicuekin!
Ada benarnya, tidak ada yang memaksa kita, penulis, untuk menggunakan bahasa baku dan “logika bahasa”. Tidak ada ceritanya orang diciduk dan dimejahijaukan gara-gara mengabaikan kaidah tata bahasa! Artinya, menulis tanpa menaati kaidah tata bahasa bukanlah kejahatan! Bukan tindak pidana layaknya korupsi yang koruptornya banyak yang bebas!
Jadi, silakan saja rusak tu bahasa Indonesia. Toh, selama ini pihak berwenang, seperti orang-orang yang digaji negara di Pusat Bahasa atau Lembaga Bahasa, diam saja ketika kaidah bahasa, bahasa baku, dan “logika bahasa” dibaikan oleh para penulis, wartawan, sastrawan, cerpenis, novelis, bloger, kolomnis, dan sebagainya.
Bahkan, ketika bahasa baku dan tata bahasa itu dirusak separah-parahnya oleh para facebooker, gak ada yang memasalahkan, tidak ada keluh-kesah dari Presiden, tidak ada kritik dari menteri atau anggota DPR.
Maka, ketika di dunia facebook dan twitter kata “ya” berubah jadi “ea”; ungkapan tertawa “ha ha ha” atau “he he he” berubah menjadi “xixixixi….”, “wkwkwkwk”, atau “gkgkgkgk”; kata “semangat” jadi “cemangadh”; dunia aman-aman saja tuh! Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga tetap terjaga!
Apalagi kalau hanya menulis “disini” dan “disana” (EYD: di sini, di sana), “iapun” (ia pun), “sekedar” (sekadar), “handal” (andal), “himbau” (imbau), “hutang” (utang), atau “ekstrim (ekstrem), “kongkrit” (konkret), “resiko” (risiko); cuma salah dikit, soal spasi dan beda satu-dua huruf doang! Gak masalah deh, yang penting orang ngerti!
Masih banyak tuh wartawan yang menulis kata “sementara itu”, “adapun”, “selanjutnya”, “dan juga”, tapi gak kena pidana, aman-aman saja, Pusat Bahasa juga diem saja! Alaaaaa….. nyang penting orang ngerti! Lagian keutuhan NKRI masih terjaga kok!
Jadi, biarlah anak-anak sekolah dan mahasiswa saja yang rajin ngapalin kata baku dan tidak baku, jelang ujian atau nyusun tugas makalah dan skripsi! Setelah itu? Au ah!
Anda yang sedang belajar nulis, gak usah merasa ribet soal aturan tata bahasa. Nulis saja! Masa bodoh soal tata bahasa, yang penting orang ngerti! Lagi pula, toh ada editor atau korektor jika tulisan itu dimuat di media massa atau diterbitkan jadi buku!
Tapi, jika ada yang mau menjadi WNI yang baik –meski banyak (atau kebanyakan?) pejabat dan PNS di negeri ini “gemar” korupsi dan mengkhianati rakyat— dengan menaati kaidah tata bahasa saat menulis, silakan baca deh buku saya, Bahasa Media: Panduan Praktis Bahasa Jurnalistik, terbitan BATIC Press. Kwkwkwkwk….! Ujung-ujungnya promosi euy! Bae lah! Wasalam. (www.romeltea.com).*